Bab 5. Ada apa dengan Kaiden?

1217 Kata
Aku kembali ke pantry, sambil menunggu Pak Kaiden pulang. Aku membuat mie rebus untuk mengganjal perutku yang sudah lapar. Bau harum mie rebus memenuhi ruangan pantry, membuatku merasa sedikit lega. Aku menunggu dengan sabar, berharap Pak Kaiden segera pulang sehingga aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dan pulang. Aku meniup mie agar tidak terlalu panas, saat akan memasukkan mie ke dalam mulut, terdengar suara gebrakan di depan pintu membuatku hampir tersedak. Aku terkejut begitu melihat pria tidak punya hati itu memandangku dengan tatapan tajam. "Mau apa kamu!" pekikku takut, berusaha untuk menutupi rasa gugup. Pria itu hanya diam, tapi masih menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan. Pak Kaiden melangkah masuk, dan tak kusangka dia mengambil mangkok di depanku. "Makan mie sendirian saja, aku juga lapar," katanya sambil melahap mieku. Aku merasa kaget dan kesal, "Hei, itu milikku!" protesku, tapi Pak Kaiden tidak menghiraukanku. Dia terus makan mieku dengan lahap, seolah-olah tidak ada yang salah. Aku memandanginya dengan mata kesal, merasa tidak percaya dengan kelakuan pria itu. "Jangan pelit! Kamu bisa buat lagi, nanti aku ganti satu truk mie biar kamu bisa makan sepuasnya," ucapnya sambil memasukkan mie ke dalam mulut. Aku menyipitkan mata dengan kesal, dia pikir dengan mengganti mie satu truk bisa mengganti kenikmatan saat aku sedang lapar. Aku merasa marah dan frustrasi, "Itu bukan soal pelit, tapi soal prinsip," kataku dengan nada tinggi. Pak Kaiden hanya tersenyum, seolah-olah tidak peduli dengan perasaan aku. "Prinsip apa? Prinsip lapar?" tanyanya dengan nada yang santai seolah mengejek. Aku menggelengkan kepala, merasa tidak percaya dengan pria itu. "Kamu tidak akan pernah mengerti rasanya kelaparan. Bagiku, satu kuah mie di saat kita lapar itu sudah nikmat sekali," kataku dengan nada dingin, mencoba menegaskan perbedaan pengalaman hidup antara kami. Pria itu memandangku dengan tatapan yang tidak mengerti, seolah-aku berbicara dalam bahasa yang tidak dia pahami. Aku merasa frustrasi karena dia tidak bisa memahami betapa berharganya makanan sederhana ketika kita benar-benar lapar. Dia hanya tertawa, lalu melanjutkan makan mieku. Aku memandangnya dengan mata benci, merasa tidak sabar dengan kelakuan pria itu. "Aah, ternyata enak juga mie buatan kamu. Nanti kalau aku lapar, buatkan mie sama seperti ini lagi," katanya sembari mengelap bibirnya. Aku duduk dengan melipat tangan di d**a, napasku naik turun. Rasa lapar seketika hilang, digantikan oleh rasa kesal yang semakin memuncak. Aku memandangnya dengan mata tajam, "Baiklah, Pak. Saya akan buatkan mie lagi kalau Bapak lapar," kataku dengan nada datar, mencoba menahan emosi. Pak Kaiden tersenyum puas dengan jawaban aku. Aku hanya mengangguk, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. "Nah, gitu dong. Hem, sepertinya kamu harus menjadi Office girl pribadiku agar saat aku membutuhkan, kamu bisa membuatkan mie buatku kapan pun," katanya, ekspresinya terlihat seperti orang sedang berpikir. Aku rasa ide itu tidak masuk akal. "Tidak perlu, Pak. Aku hanya ingin bekerja normal melakukan tugasku di kantor ini saja," jawabku menolaknya dengan nada sopan. Pak Kaiden tertawa lebar tidak peduli dengan jawabanku. "Kamu tidak akan bisa menolak, aku akan memberimu gaji yang lebih tinggi," katanya dengan nada yakin. ku menggelengkan kepala, dan tidak ingin terlibat dalam diskusi yang tidak penting. "Saya tidak tertarik, Pak. Saya hanya ingin melakukan pekerjaan saya dengan sewajarnya," kataku dengan tegas. Aku tersentak saat lampu pantry tiba-tiba mati, semuanya menjadi gelap. Tidak lama, terdengar suara seperti sesuatu terjatuh. "Aaargh!" pekik Pak Kaiden. Aku tidak bisa melihat apa pun, semuanya benar-benar gelap. "Pak Kaiden, Bapak tidak apa-apa?" tanyaku sambil meraba-raba, mencoba mencari jalan keluar dari kegelapan. Aku bergerak pelan, berusaha menemukan Pak Kaiden. "Pak Kaiden?" panggilku lagi, kali ini lebih keras. Tiba-tiba, aku merasakan tangan Pak Kaiden memegang lenganku. "Aku baik-baik saja," katanya dengan nada yang sedikit tergesa-gesa. Aku merasa sedikit lega, tapi masih penasaran apa yang terjadi. "Apa yang jatuh, Pak?" tanyaku, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. "Aku yang jatuh dari kursi," jawabnya, terdengar tidak suka. Pria itu masih memegang tanganku dengan erat, aku merasakan tangannya sangat dingin. Apa dia takut kegelapan? Aku merasa sedikit heran, tidak menyangka bahwa pria yang terlihat kuat dan tangguh itu bisa takut akan kegelapan. Aku mencoba menarik tanganku, tapi Pak Kaiden tidak melepaskannya. "Pak Kaiden, aku rasa lampu akan segera menyala lagi," kataku, mencoba menenangkannya. Pak Kaiden tidak menjawab, malah menarik tanganku membuat tubuhku tidak seimbang dan aku terjatuh. "Aaaw," pekiknya lagi. Aku terkejut, karena aku merasa tubuhku jatuh di atas tubuhnya. Aku berusaha untuk bangun, tapi Pak Kaiden tidak melepaskan tanganku. Aku terjepit di antara tubuhnya dan lantai, membuatku merasa sedikit panik. "Pak Kaiden, tolong lepaskan," kataku dengan takut. Tapi Pak Kaiden tidak menjawab, hanya menarikku lebih dekat ke dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang cepat, dan aku mulai merasa tidak nyaman dengan situasi ini. "Rania, tolong jangan pergi sampai lampu ini menyala," katanya tepat di telingaku. Aku menghela napas panjang, ternyata benar dia takut kegelapan. Pria itu semakin memelukku dengan erat, dengan tubuh menggigil seperti anak kecil yang sedang ketakutan, hanya terdengar suara napasnya yang tidak teratur. Kegelapan membuatku bisa merasakan kehangatan tubuh Pak Kaiden yang menempel erat pada tubuhku. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang cepat, dan aku mulai merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi ini. Kantor yang biasanya terang benderang dengan lampu neon kini menjadi gelap gulita, hanya terdengar suara-suara kecil yang tidak jelas asalnya. Aku mencoba untuk menenangkannya, "Pak Kaiden, tidak apa-apa. Lampu akan pasti akan menyala," kataku dengan nada lembut. Tapi Pak Kaiden tidak menjawab, hanya terus memelukku dengan erat, seolah-olah aku adalah satu-satunya orang yang bisa melindunginya dari kegelapan. Tiba-tiba, lampu menyala kembali. Aku terkejut dengan posisi Pak Kaiden yang meringkuk memeluk pinggangku. Kami berdua terduduk di lantai, tubuhnya bergetar hebat. Apa setakut itu dia dengan gelap? Suara langkah kaki terdengar mendekat, aku berusaha melepaskan pelukannya. Aku takut nanti orang yang datang mengira kami habis melakukan sesuatu. Tapi, tangan Kaiden begitu erat memelukku. "Pak Kaiden, Mbak Rania. Kalian sedang apa?" tanya petugas keamanan kantor, tersentak melihatku dengan Aiden sedang berpelukan. "Pak, tolong. Sepertinya Pak Kaiden sedang sakit," kataku berusaha mengalihkan perhatian tentang aku yang dengan pria tidak punya hati ini. "Oh, iya, Mbak." Petugas keamanan itu membantuku mengangkat tubuh Aiden yang tinggi tegap, menuju ke ruangannya. "Mbak, aku minta maaf tadi lampu mati karena ada konsleting listriknya, tapi sudah diperbaiki," lanjut petugas keamanan terlihat menyesal. "Iya, Pak. Tapi, tolong bantu saya membawa Pak Kaiden ke ruangannya," kataku dengan nada yang sopan. "Baik, Mbak," jawab Pak satpam dengan senyum ramah. Pak satpam membantuku menggotong pria itu yang terlihat lemas kembali ke ruangannya. Kami berjalan perlahan-lahan, memastikan Pak Kaiden tidak terjatuh. Setelah sampai di ruangan, kami berdua berhati-hati meletakkan Pak Kaiden di atas sofa. "Terima kasih, Pak," kataku. Pak satpam mengangguk dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Mbak. Semoga Pak Kaiden cepat pulih, saya tinggal ke depan untuk berjaga." katanya sebelum meninggalkan ruangan. Aku melihat pria itu membuka matanya, menatap sekeliling dengan pandangan masih bingung. "Lampunya sudah menyala," gumamnya dengan suara yang masih lemah. Aku penasaran, apa yang terjadi dengan pria itu. "Apa saat jatuh Pak Kaiden terbentur kepalanya?" tanyaku, mencoba memahami apa yang terjadi. Pria itu langsung terbangun, lalu duduk dengan gerakan yang cepat. "Aku tidak apa-apa, inget jangan cerita siapa-siapa kejadian ini," katanya dengan nada mengancam, membuatku sedikit curiga. Apa dia malu memiliki phobia akan gelap? Aku menyipitkan mata, mencoba memahami reaksinya. "Ok, aku akan tutup mulut tapi ada syaratnya," kataku dengan senyum kecil, mencoba menantangnya. Dia saja tadi pagi menghinaku, sekarang giliran aku balas dendam. "Cepat katakan," ucapnya dengan tidak sabar, membuatku tersenyum lebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN