Bab 11. Bibir Yang Menggoda

1290 Kata
Dalam keadaan kepala masih pusing dan mata sedikit kabur akibat champagne, aku tidak terlalu memperdulikan wanita cantik itu yang sedang terlibat obrolan dengan Pak Kaiden. Wanita yang dipanggil Yasmin itu terus mengejekku dengan kata-kata pedas, tapi aku tidak berminat membalasnya. Aku lebih memilih untuk fokus pada Pak Kaiden dan menjaga peranku sebagai pacar pura-puranya. "Rania, ayo kita pergi dari sini," ajak Pak Kaiden sambil merangkul pinggangku dengan mesra. Aku membalas dengan bergelayut manja di lengan kekarnya, berusaha menunjukkan kedekatan kami di depan Yasmin. Aku melakukan semua ini agar Yasmin percaya bahwa aku benar-benar pacar Pak Kaiden, tidak peduli betapa kerasnya dia menghinaku dengan kata-katanya. Dengan senyum manis, aku membiarkan Pak Kaiden menuntunku pergi dari tempat itu, meninggalkan Yasmin dengan kekecewaannya sendiri. Aku harus berhasil memainkan perananku dengan baik, dan itu yang terpenting saat ini. Pak Kaiden membantuku masuk ke dalam mobilnya, rasa pusing makin terasa dan membuat aku tidak bisa mengontrol tubuhku. Dalam keadaan antara sadar dan tidak, aku menarik leher kokoh Pak Kaiden lalu aku membenamkan bibirku ke bibirnya. Rasa panas di dalam tubuhku harus aku salurkan, aku tidak bisa menahan diri lagi. Tiba-tiba, Pak Kaiden terkejut dan menarik diri sejenak, matanya melebar dengan campuran antara keterkejutan dan kekhawatiran. "Rania, ini di parkiran restoran," katanya dengan suara lembut, sambil mendorong pelan tubuhku dan memasang sabuk pengaman untukku dengan hati-hati. "Pak Kaiden, kamu tampan sekali," lirihku sambil memegang wajahnya. "Lebih baik sekarang kamu istirahat, nanti kalau sudah sampai aku bangunkan," imbuhnya. Dalam keadaan setengah sadar aku melihat senyum kecil terlihat dari bibirnya yang sensual. Aku mengangguk lemah, meskipun pikiranku masih kabur. "Sebenarnya itu minuman apa?" tanyaku lagi dengan suara lirih, tubuhku semakin kepanasan dan pusingku makin hebat. Pak Kaiden menatapku dengan khawatir, tapi juga dengan senyum lembut. "Jangan khawatir, aku akan menjelaskan semuanya nanti. Sekarang, fokuslah untuk istirahat," katanya, suaranya yang menenangkan membuatku merasa sedikit lebih tenang. Aku merasa tubuhku semakin lelah, dan tanpa sadar, aku sudah terlelap tidur di dalam mobil. Aku membuka mataku, dan aroma masakan yang sangat wangi memenuhi hidungku. Aku terlonjak dari tidurku begitu menyadari aku sudah berada di sebuah kamar yang mewah dan elegan. "Aku ada di mana?" gumamku sambil mengedarkan pandangan ke penjuru kamar, mencari petunjuk atau sesuatu yang familiar. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tapi ingatanku masih kabur. Aku teringat saat terakhir makan siang bersama Pak Kaiden, lalu kembali ingatan muncul saat di parkiran aku mencium Pak Kaiden. Rasa malu dan takut bercampur dalam benakku. Aku menggeleng kepala, rasanya malu sekali Pak Kaiden pasti berpikiran tidak-tidak karena aku memaksakan diri menciumnya. Aku tidak siap kalau harus bertemu dengannya saat ini. "Mau ditaruh di mana mukaku," Batinku sambil menutup wajah ini dengan bantal merasakan rasa malu yang sangat mendalam. Namun, kepanikan segera mengambil alih pikiranku. Bagaimana aku bisa berakhir di sini? Apakah mungkin aku dan Pak Kaiden menghabiskan malam yang panas di ranjang ini? Mengingat saat di parkiran restoran aku memaksa menciumnya. Seketika jantungku berdebar kencang, aku gegas membuka selimut yang menutupi tubuhku. Detik itu juga, aku menarik napas lega ketika melihat pakaianku masih utuh, aku memakai baju tidur lengkap dan tidak ada tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang terjadi di luar kesadaranku. Aku memandangi sekeliling kamar dengan saksama. Kamar ini begitu mewah dan rapi, dengan perabotan yang elegan dan hiasan yang indah. Dindingnya dicat dengan warna krem yang lembut, dan lantai kayu yang mengkilap menambah kesan mewah. Ada sebuah meja rias antik di sudut kamar, dengan cermin besar yang memantulkan gambaranku yang kusut. Aku melihat ke arah jendela, dan cahaya matahari pagi yang masuk melalui tirai tipis memberi tahu bahwa waktunya sudah pagi. Dengan hati yang berdebar, aku memutuskan untuk turun dari tempat tidur dengan hati-hati, mencoba untuk tidak membuat suara berisik. Aku berjalan menuju pintu kamar, berharap bisa menemukan jawaban atau setidaknya tahu di mana aku berada. Aku membuka pintu dengan perlahan, dan melihat sekeliling untuk mencari petunjuk atau seseorang yang bisa membantu aku. Aku mendengar suara dari arah dapur, dengan langkah pelan aku mendekati dapur siapa tahu bisa meminta bantuannya. Begitu kaki sampai di ambang pintu dapur, aku melihat Pak Kaiden dengan apronnya sedang sibuk di depan kompor yang sedang menyala. Keringat yang membanjiri wajahnya, dan ditambah pantulan dari matahari pagi yang menyinari wajahnya membuatnya semakin tampan dan seksi. Dapur ini begitu mewah dan modern, dengan peralatan masak yang canggih dan desain yang minimalis. Aku melihat ke arah meja dapur yang terbuat dari granit hitam, dengan beberapa bahan makanan yang sudah disiapkan. Bau harum makanan yang sedang dimasak membuatku merasa lapar. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari Pak Kaiden yang sedang memasak. Wajahnya yang tegas dan tampan, dengan mata yang tajam dan hidung yang mancung, membuatnya terlihat sangat menarik. Tanpa sadar aku mengagumi Pak Kaiden, tidak hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena kemampuan memasaknya yang terlihat sangat mahir. Aku berdiri di sana, menatap Pak Kaiden dengan kagum, tanpa sadar aku tersenyum melihatnya. Aku merasa seperti sedang menonton acara memasak di televisi, Pak Kaiden adalah kokinya yang sangat tampan. Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di sana, tapi aku baru sadar ketika Pak Kaiden menoleh ke arahku dan tersenyum. "Selamat pagi, Rania," sapanya sambil menaruh mangkok berisi masakan yang baru saja dia masak. Seketika wajahku memanas dan membuatku salah tingkah, apa Pak Kaiden tahu sejak tadi aku memperhatikannya. "Sini, kita sarapan, pasti kamu lapar," imbuhnya mengajakku sarapan pagi. Aku melihat ke arah mangkok yang berisi masakan yang lezat, sepertinya Pak Kaiden telah memasak sarapan pagi yang istimewa. Ada steak salmon panggang dengan saus lemon yang menggugah selera, serta kentang goreng yang renyah dan sayuran panggang yang berwarna-warni. Bau harum makanan yang lezat membuatku merasa lapar dan ingin segera mencicipinya. Pak Kaiden telah menambahkan sentuhan cantik pada penyajian masakannya, dengan taburan daun parsley segar di atas steak salmon dan saus yang disajikan terpisah. Pak Kaiden tersenyum dan mengajakku duduk di meja makan. Aku sedikit canggung, tapi aku tidak mungkin menolak tawaran sarapan pagi yang lezat ini. Aku duduk di sebelah Pak Kaiden dan mulai mencicipi masakan yang telah dia buat. Rasanya sangat lezat dan membuatku merasa puas. "Ternyata Pak Kaiden bisa masak juga, masakan bapak juara seperti chef yang sering aku lihat di televisi," kataku memuji masakannya sambil melahap steak salmon yang lembut dan juicy. Pak Kaiden tersenyum lebar, matanya berkerut di sudut saat dia melihatku menikmati masakan yang telah dia buat. "Terima kasih, Rania. Aku senang kamu suka," katanya dengan suara yang hangat. Aku melihat ke arahnya, dan untuk sejenak, kami hanya menatap satu sama lain. Namun, dengan cepat aku tersadar bahwa aku tidak boleh memiliki perasaan terhadap Pak Kaiden. Aku segera mengalihkan pandangan dan fokus pada makanan di depanku. Seumur hidup aku baru merasakan ikan salmon yang harganya mahal. Biasanya aku hanya makan ikan nila, itu juga sebulan sekali setelah gajian. Setelah itu, setiap hari aku makan mie instan berbagai rasa seperti rendang, soto yang tidak bisa aku makan yang aslinya. Aku melanjutkan menikmati sarapan pagi yang lezat ini, mencoba untuk tidak memikirkan perasaan yang tidak seharusnya aku miliki terhadap Pak Kaiden. "Oh, iya, kenapa Pak Kaiden membawaku ke sini?" tanyaku selesai sarapan pagi. "Memangnya kamu mau kubawa ke kantor dalam keadaan mabuk?" jawabnya santai sambil memakan salad sayur dengan santai. "Tapi tidak harus ke rumah Pak Kaiden juga, nanti kalau ada orang yang tahu, mereka akan mengira kita habis melakukan perbuatan yang tidak-tidak," kataku sedikit kesal. Pak Kaiden tersenyum tipis, lalu menaruh sendoknya. "Kamu tidak usah khawatir, di rumah ini hanya kita berdua. Kalau pun semalam kita melakukan sesuatu, tidak ada yang tahu." Jawabannya membuatku tersedak minumanku, dan aku menatapnya dengan mata lebar, tak percaya apa yang baru saja dia katakan. "Jadi semalam kita melakukannya?" tanyaku dengan suara bergetar, rasa takut dan penasaran bercampur dalam hati. Pak Kaiden tersenyum tipis, seakan dia menikmati reaksi aku. "Menurutmu, kamu yang duluan menggodaku. Aku pria normal," jawabnya dengan tatapan yang menggodaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN