Aruna mondar mandir kebingungan di dalam kamar tamu. Acara akan segera di mulai dalam beberapa jam lagi, tapi dirinya masih tetap memakai setelan kantor karena Aruna tak ada persiapan apapun sebelum datang kemari.
Ingin izin keluar membeli baju, tapi ia juga tak enak dengan keluarga Farnaz yang sudah berkumpul ramai dan sibuk mengenalkan diri padanya karena Sinta mengenalkan sebagai calon istri Safir, bukan lagi sekretaris Safir. Jadi, para keluarga berbondong-bondong bertanya ini dan itu.
Aruna menghentikan kakinya yang terus bergerak gelisah saat mendengar ketukan pintu kamarnya.
"Kenapa, Pak?" Ternyata orang yang mengetuk pintu kamarnya adalah Safir.
"Ini gaun buat nanti malam. Dandan yang cantik, nanti malam saya mau umumkan tentang hubungan kita dan tanggal pertunangan."
"Tanggal pertunangan?" Lagi-lagi Aruna dibuat syok berat oleh Safir. Bagaimana mungkin Safir sudah memikirkan tentang tanggal pertunangan tanpa berdiskusi dengan dirinya dahulu.
"Pak Safir kok nggak tanya-tanya saya dulu?" Protesnya tak terima karena hubungan ini di jalani berdua jadi apa-apa juga harus berdua, termasuk menentukan tanggal pertunangan dan pernikahan.
"Karena saya tahu, kamu nggak bakal menolak pilihan saya."
Aruna mulai geram kalau Safir sudah mulai menunjukkan sisi bossy dan penguasa. Menganggap semua orang tunduk pada ucapannya termasuk dalam masalah hubungan ini.
"Pak Safir serius nggak sih sama saya? jangan mentang-mentang saya ini cuma bawahan, pak Safir bisa memperlakukan saya seenaknya sendiri!" Aruna tak peduli kalau setelah ini Safir akan marah dan mengusirnya dari rumah besar ini. Unek-unek dalam hatinya makin hari makin membengkak, jadi lebih baik dirinya mengeluarkan semuanya sekalian.
Safir mendorong pelan tubuh Aruna masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya rapat.
Melihat itu, jantung Aruna langsung berdetak tak karuan karena takut Safir akan melakukan hal-hal yang tak ia inginkan.
"Kita selesaikan disini. Duduk!" Safir memerintah Aruna agar duduk di tepi ranjang, sedangkan dirinya menarik kursi rias dan duduk berhadapan dengan Aruna.
"Kamu butuh berapa lama lagi sebelum kita menikah?" Tanya Safir dengan wajah serius.
Aruna semakin menundukkan kepalanya karena dirinya juga tidak tahu berapa lama dirinya bisa menerima semua ini.
"Saya ingin kita menikah secepatnya Aruna."
Aruna memberanikan diri menatap Safir. "Saya masih belum tau, apa alasan Pak Safir menginginkan saya. Padahal diluar sana ada ribuan wanita yang jauh lebih baik daripada saya."
"Karena hanya dengan kamu saya merasa nyaman, dan hanya kamu yang mengerti bagaimana saya yang sebenarnya. Aruna, sungguh saya nggak pernah punya niat bermain-main dengan kamu."
Ucapan Safir terdengar sangat sungguh-sungguh. Dan mau tak mau Aruna akan percaya pada ucapan Safir kali ini.
"Mungkin kamu berfikir saya hanya memanfaatkan kamu karena desakan Bunda yang ingin saya segera menikah, dan juga agar saya bisa mengadopsi bayi itu."
Benar, fakta itu lah yang selalu menghantui kepalanya setiap hari. Tapi hari ini Sagir berusaha menyangkal pemikirannya.
"Asal kamu tahu, saya butuh berbulan-bulan untuk meyakinkan hati saya dan memberanikan diri mengatakan itu pada kamu. Dan, saya yakin ini waktu yang tepat buat saya mengatakan semuanya."
Safir mengambil nafas dalam dan mengeluarkan secara perlahan.
"Aruna, will you marry me?"
Tetap, saja jantung Aruna bekerja lebih cepat. Padahal sebelumnya Safir sudah pernah mengatakan ingin menikahinya. Namun, kali ini terasa berbeda. Safir menatap matanya dalam dan ucapan yang keluar dari bibirnya terdengar sangat tulus.
Karena Aruna yang tak kunjung memberinya jawaban dan kepastian, Safir terdengar mendesah kecewa dan mulai pasrah dengan keputusan wanita idamannya.
"Mungkin kamu sudah punya pria idaman lain di luar. Maaf sudah terlalu memaksa keputusan kamu." Safir menyerah dan memilih keluar dari kamar ini.
"Pak Safir, tunggu!" Aruna menahan tangan Safir yang hendak keluar dari kamar. "Sa-saya, saya mau," ucap Aruna sangat gugup.
Safir membalikkan badannya dan menatap mata Aruna lekat. "Kamu serius?"
Aruna mengangguk yakin. Selama ini Safir dan keluarga sudah sangat baik padanya. Mereka juga sangat loyal dan tak pernah pelit dalam hal apapun meski mereka tak memiliki hubungan darah sama sekali. Dan karena itu semua, Aruna tak akan tega menolak mentah-mentah permintaan Safir meski hatinya belum sepenuhnya mantap.
"Terimakasih, Aruna." Safir mengikis jarak di antara mereka berdua dan memeluk tubuh Aruna erat.
Ragu-ragu Aruna membalas pelukan hangat Safir. Ia berdoa semoga keputusan-nya kali ini tidak salah dan Safir bisa menjadi imam yang baik untuknya.
"Saya keluar dulu, ya nanti acara di mulai jam tujuh malam. Dandan yang cantik." Safir membelai pipi Aruna dan menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik-nya.
Aruna mengangguk dan tersenyum malu-malu. Sikap Safir seolah berubah seratus delapan puluh derajat. Safir yang sebelumnya tampak acuh dan dingin, kini tiba-tiba hangat dan penuh perhatian.
**
Aruna menatap pantulan dirinya di dalam cermin dengan tatapan tak percaya. Meski dirinya hanya merias wajah ya sederhana, tapi gaun tanpa lengan yang menjuntai panjang ini benar-benar mampu membantu menaikkan penampilannya menjadi sangat cantik dan elegan.
Gaun berwarna hitam dengan kombinasi warna gold itu benar-benar sangat cocok melekat di kulit putihnya.
Entah, Aruna tak beranai mengira-ngira kira-kira berapa harga gaun ini karena sudah pasti harganya jauh lebih mahal dari perkiraannya.
Aruna berjalan ke arah pintu yang terketuk dari luar dan membuka pintu itu. Ternyata Safir. Pria itu sudah rapi dengan tuxedo hitam dan dasi berwarna gold, konsep yang hampir sama dengan gaun yang ia pakai.
"Cantik," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan-nya dari wajah Aruna yang saat ini sudah tersipu malu.
"Yasudah, yuk kebawah acara akan segera di mulai." Safir memberikan lengannya yang siap Aruna gandeng. Keduanya pun berjalan bersama menuju tempat acara di mulai.
Rasanya malam ini Aruna seperti tuan putri dadakan. Seluruh pasang mata terfokus pada satu titik yaitu dirinya dan Safir yang malam ini tampak sangat serasi.
Tak hanya para keluarga besar, namun juga kolega bisnis Aditya Farnas — ayah Safir.
"Nanti, jangan panggil saya dengan sebutan formal," ucap Safir setengah berbisik.
"Terus panggil apa?" Jelas Aruna bingung karena sehari-harinya ia memanggil dengan sebutan "Pak"
"Sayang boleh, mas boleh, Safir juga boleh."
"Tapi kan nggak sopan."
Safir berdecak karena Aruna tetap saja menganggap dirinya sebagai bos-nya. "Kalau di luar kamu calon istri saya!" Safir benar-benar menegaskan tentang status mereka lagi.
"I-iy-a, Mas." Mulut Aruna masih kaku dan belum terbiasa dengan panggilan barunya.
Aruna tetap mengikuti kemanapun Safir melangkah. Dan kini Aruna mengikuti Safir naik ke atas panggung karena acara utama akan segera di mulai.
MC sudah berbicara panjang lebar memeriahkan acara ulang tahun Sinta Farnaz yang ke-48 tahun.
Diam-diam Aruna sangat kagum dengan kisah percintaan Aditya Farnaz dan Sinta Farnaz yang sangat jauh dari gosip miring dan selalu terlihat romantis juga harmonis. Meski kebanyakan para pengusaha kaya sering terlibat kasus skandal dan sebagainya, tapi keluarga ini sama sekali tidak pernah.
Aditya mengucapkan dengan lantang ucapan ulang tahun romantis untuk istrinya di depan para tamu undangan. Tak ada yang tak terharu, karena dari ucapan dan mimik wajah yang Aditya keluarkan sangat membuktikan kalau pria itu sangat mencintai istrinya.
Setelah Aditya selesai dengan kata-kata romantisnya, Safir ikut menyambung dengan kata-kata sederhana namun berhasil membuat Sinta terharu.
Lagu ulang tahun-pun di nyanyikan oleh penyanyi dan diiringi dengan musik jazz yang malam ini menghibur para tamu undangan.
Selesai dengan lagu ulang tahun, Sinta mulai bersiap-siap meniup lilin dan membuat pengharapan-pengharapan yang ingin ia capai di tahun ini dan seterunya.
Aruna ikut tepuk tangan saat Sinta selesai meniup lilin berbentuk angka 48.
"Happy birthday, Bunda." Safir mencium punggung tangan Sinta lalu mencium pipi kiri dan kanan-nya.
"Makasih, sayang."
Aruna juga ikut maju mengucapkan selamat ulang tahun pada Sinta. "Selamat bertambah usia Bu Sinta, semoga bu Sinta selalu di beri perlindungan, kebahagiaan, dan kesehatan."
"Doanya kurang, semoga kamu dan Safir bisa secepatnya menikah." Lanjut Sinta membuat Aruna benar-benar langsung salah tingkah dan tersipu malu.
"Bunda ngebet banget," sahut Aditya sambil terkekeh ringan.
Malam ini mereka benar-benar bersenang-senang. Aruna juga semakin rileks dan bisa berbaur dengan keluarga Safir yang lain.
Acara yang sangat mewah meski hanya di selenggarakan di rumah.
Pukul sepuluh malam acara sudah selesai dan beberapa keluarga dan tamu undangan meninggalkan kediaman Farnaz dan kembali ke rumah masing-masing.
Sedangkan Safir membawa Aruna menuju gazebo dekat kolam renang di belakang rumahnya karena ia ingin menikmati waktu lebih lama bersama Aruna.
"Aruna."
"Iya?"
"Kamu belum ngantuk kan?" Tanya Safir memastikan.
"Belum kok."
Beberapa saat mereka terlibat keheningan karena Safir bingung ingin memulai pembicaraan dari mana.
Safir berdeham, "aku mau ngobrolin soal pertunangan kita."
Aruna mengangguk saja dan mengikuti apa yang Safir ingin-kan.
"Masih ada nggak keluarga kamu yang tersisa? aku mau meminta kamu."
"Kamu kan tau sendiri aku udah nggak punya siapa-siapa lagi, yang aku punya cuma Popy."
"Kira-kira aku kapan bisa ngobrol sama dia? setidaknya dia tau kalau saya menginginkan kakaknya."
"Kalau Popy gampang atur waktunya. Kamu kapan senggangnya?"
"Aruna, kamu tau kan jadwal saya, kamu aja yang atur yang penting masih di minggu ini karena aku mau dua minggu lagi kits tunangan."
Lagi-lagi Aruna melongo, kemauann safir memang seenaknya sendiri. Kemarin menawarkan waktu untuk pendekatan tapi sekarang sudah menginginkan pertunangan.
"Maaf kalau saya kelihatan ngebet banget. Tapi memang ini kenyataan-nya, saya ingin terus bersama kamu, saya ingin ada yang urus saya."
"Kalau memang itu mau kamu, insyaallah saya siap."
Safir menggenggam tangan Aruna dan mengusap-nya lembut. "Terimakasih, Aruna."
Aruna mengangguk sambil tersipu malu karena Safir terus memandangnya intens.
"Maaf ya, kalau saya sering galakin kamu."
Rasanya Aruna ingin tertawa mendengar Safir meminta maaf. Karena selama bertahun-tahun dirinya mengabdi pada Safir, sekalipun dirinya belum pernah mendengar Safir mengucapkan "maaf"
"Kepala Pak Safir abis kebentur apaan sampai bisa bilang maaf?" Sindir Aruna sambil tertawa terbahak-bahak.
Safir menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Saya berusaha memperbaiki sikap saya ke kamu, biar kamu nggak terus-terusan segan sama saya."
"Kan aku udah bilang, masih butuh adaptasi."
Safir mengangguk, setelah ini dirinya akan berusaha merubah sikapnya demi Aruna.
"Mumpung wekend besok kita ke panti ya, aku mau jenguk bayi itu."
Sebenarnya Aruna masih sangat penasaran anak siapa sebenarnya bayi itu sampai Safir bisa se-sayang ini.
"Aku antar ke kamar yuk udah malam." Safir menggenggam tangan Aruna dan berjalan beriringan masuk ke dalam rumanya.
***