Karena kejadian semalam Aruna benar-benar tak semangat masuk kantor. Selain malu, dirinya juga masih sangat kesal pada Safir.
"Aruna, ke ruangan saya!"
Baru saja pantatnya menempel pada permukaan kursi, suara Safir langsung mengintrupsi dari suara telfon kantor.
Aruna membanting beberapa map yang manajer keungan limpahkan kepadanya sebelum sampai di tangan Safir.
Sambil menggerutu, Aruna berjalan cepat menuju ruangan Safir yang tak jauh dari tempatnya.
"Ada apa, Pak?" Meski rasanya Aruna ingin mencabik-cabik wajah Safir, tapi kenyataannya Aruna selalu tersenyum ramah seperti tidak terjadi apa-apa.
"Duduk, saya mau ngomong santai."
Aruna langsung duduk di kursi yang Safir tunjuk dengan matanya.
"Hari ini Bunda saya ulang tahun, saya mau kamu ikut ke rumah saya sebagai pacar saya."
Lagi-lagi Aruna di buat terkejut oleh tingkah Safir yang semakin menjadi-jadi.
"Pak, saya nggak pantas berada di tengah acara keluarga Pak Safir," tolak Aruna dengan halus. Bisa-bisa dirinya langsung terserang virus insecure kalau nekat datang ke acara mewah keluarga Farnaz.
"Sebantar lagi kamu juga bakal jadi bagian keluarga Farnaz."
Aruna merasa tak tenang kalau Safir sudah mengeluarkan kata-kata seperti ini.
Safir berdecak kesal karena Aruna tak memberi respon seperti yang ia inginkan. "Kalau sedang berdua, biasa saja jangan terlalu kaku begitu!"
"Maaf...." Cicitnya pelan.
"Yasudah kamu balik kerja lagi. Istirahat makan siang temenin saya beli kado buat mama."
Aruna hanya mengangguk dan meninggalakan ruangan Safir. Aruna juga merasa sikap safir menjadi berubah drastis semenjak pria itu mengklaim sebagai pacarnya.
Safir yang sebenarnya memiliki sifat dingin, tak acuh dan selalu mengomelinya. Terlebih bila dirinya bersikap tak sopan atau seenaknya sendiri, Safir akan langsung murka.
Dan itu lah alasannya dirinya masih memoertahankan sikap tunduk patuh dan sopan pada Safir.
"Mbak Aruna, hey mbak!"
Aruna terlonjak kaget saat Diana menepuk bahunya.
"Eh, kenapa Di?"
"Ngapain ngelamun disini?"
Aruna mengamati sekitar, ternyata dirinya berhenti di depan pintu ruangan Safir.
"Emm ... nggak apa-apa, Di." Aruna menggeleng dan langsung berpamitan untuk pergi duluan. Gara-gara Safir pikirannya jadi kacau.
Sepanjang jam kerjanya Aruna tak sekali dua kali melakukan kesalahan. Sampai ia mendapat teguran keras dari Bu Rika, manajer keuangan yang galaknya me-ngalahi mak lampir.
"Minum dulu, biar otak kamu fokus!" Bu Rika menyodorkan botol air mineral di hadapan Aruna.
Aruna meringis dan merah botol itu dan meneguk-nya sampai habis.
"Ada masalah hidup apa sih, sampai kerjaan kamu berantakan gini?" Tanya wanita berumur 35 tahunan itu dengan nada sinis yang menjadi khas-nya.
"Kalau saya bilang ke bu Rika, pasti nggak percaya."
"Udah, bilang aja sih!"
Aruna berfikir sebentar sebelum benar-benar mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
"Buruan, Run!" ucap Bu Rika yang sudah tak sabar mendengar pengakuan Aruna yang aneh hari ini.
Aruna memandang sebentar bu Rika yang juga menatapnya dengan serius.
"Kalau kamu nggak ngomomog sekarang, saya nggak mau bantu kamu revisi berkas ini!" Akhirnya ancaman andalan Rika Toeranika keluar.
"Pak Safir akhir-akhir aneh sama saya." Aruna lebih baik jujur pada titisan nek lampir ini daripada menumbalkan pekerjaannya. Toh, Rika ini masih bagian dari keluarga Farnaz, lama kelamaan wanita ini juga akan tahu kalau Safir benar-benar serius dengan hubungan ini.
"Aneh? aneh bagaimana?"
"Jangan ketawa ya, bu."
"Iya, iya buruan bilang, Safir kenapa?"
Aruna menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sebanarnya ia malu untuk mengakui ini, tapi dirinya sudah masuk ke dalam perangkap Rika jadi mau tak mau dirinya harus terus terang.
"Saya pacaran sama pak Safir."
Wajah Rika yang sebelumnya datar, perlahan mengeluarkan ekspresi lucu. Ingin tertawa ngakak namun ia tahan-tahan.
"Tuh kan ketawa!!"
Rika mengulum bibirnya dan berusaha meredakan tawanya. "Serius, Run?"
"Aku sih nggak yakin, bu. Tau sendiri kan gimana pak Safir, masa iya nggak ada angin nggak ada gledek minta saya jadi pacar dia, ngajak nikah pula!"
Tawa yang Rika tahan-tahan akhirnya meledak. Wanita berwajah judes itu kini tengah tertawa terbahak-bahak.
"Bu Rika kok ketawa sih!"
"Abisnya lucu sih."
"Dari sisi mana lucunya bu?" ucap Aruna kesal.
"Kalian itu loh lucu. Yasudah sih, kali aja Safir emang sudah sadar sama perasaan-nya. Tante Sinta emang lagi gencar-gencarnya paksa Safir buat nikah." Jelas Rika.
Aruna tak menjawab ucapan Rika dan menopang dagunya. Beberapa hari ini otaknya benar-benar di kuasai Safir.
"Kalian cocok kok," ucap Rika lagi.
"Cocok dari mana bu. Saya misquin, Pak Safir holkay. Saya buruq, Pak Safir tamvan. Nggak ada cocoknya sama sekali, ibarat kata Pak Safir pangeran saya upik abu."
"Terserah kamu, Run!"
Aruna mengembuskan nafas beratnya dan mengerjakan kerjaannya kembali agar nanti malam dirinya tidak di serang lemburan.
****
Bagi Aruna mengikuti kemanapun Safir mau itu sudah biasa. Menemani Safir belanja itu juga sudah biasa. Namun, siang ini rasanya sangat berbeda dari biasanya.
Karena apa, Safir terus menggandeng tangannya di sepanjang ia mengitari mall untuk membelikan kado untung sang Bunda.
Aruna tak bisa berkutik atau menolak Safir menggandeng tangannya. Karena setiap Aruna akan melepaskan tangannya atau memprotes, Safir sudah terlebih dulu memberinya tatapan super tajam dan lebih mengeratkan genggaman-nya.
Saat ini Safir dan Aruna berada di toko perhiasan. Safir tengah melihat lihat perhiasan yang di gemari wanita di seluruh dunia. Begitu pun dengan Aruna yang sangat senang melihat gemerlapnya emas dan berlian di hadapannya ini.
"Kamu lebih suka kalung, gelang, atau cincin?" Tanya Safir pada Aruna yang tengah fokus memperhatikan sederet perhiasan indah itu.
"Kalung," ucapnya tanpa ragu karena dirinya memang suka mengoleksi kalung sejak jaman dulu.
"Kalung mana yang kamu suka."
Aruna menunjuk kalung bergaya simple dengan hiasan berbentuk frozen.
Safir mengangguk dan berbincang sebentar dengan pegawai penjaga toko ini. Tak lama kemudian pegawai itu mengambil dua perhiasan pilihannya dan pilihan Aruna.
Aruna tak berkomentar apa-apa saat Safir mengambil dua kalung sekaligus, karena menurut dia itu sudah wajar untuk hadiah ulang tahun Ibunda tercinta.
"Bagus ya," ucap Safir sambil menatap kalung pilihan Aruna.
"Iya, Pak desainnya simple dan elegan."
"Kamu mau pake?"
"Hah?" Aruna melongo seketika mendengar tawaran Safir yang tak masuk akal.
"Kalung ini buat kamu. Suka kan?"
Aruna hanya memandang Safir dengan tatapan bingung-nya.
"Ini dari saya buat kamu, Aruna." Safir mengikis jarak dengan Aruna dan memakaikan kalung itu ke leher jenjang Aruna.
"Cantik," ucapnya sambil melihat kalung itu bertengger indah di leher Aruna.
"Bukan-nya kalung ini buat kado Bu Sinta?"
"Kado buat mama sudah saya siapkan. Kamu tunggu disini sebentar, saya mau urus pembayaran."
Aruna menurut apa kata Safir dan diam di tempatnya sambil memandang Safir yang tengah mengurus p********n.
Jujur, ini baru pertama kali Aruna mendapat hadiah spesial dari Safir. Meski selama ini boss-nya selalu bersikap loyal padanya.
Setelah membayar dan membawa perhiasan pembeliannya, Safir membawa Aruna ke salah satu restoran makanan cepat saji untuk makan siang.
"Setelah ini nggak usah balik ke kantor, langsung ke rumah saya," ucap Safir saat sudah berada di dalam restoran.
***
Berkunjung di kediaman keluarga Farnaz, sebenarnya bukan hal asing lagi. Aruna sering kali datang ke rumah ini untuk menemani Safir atau menjalanankan perintah Safir.
Namun, kedatangannya kali ini Aruna rasa sangat berbeda. Mungkin karena dulu statusnya masih skretaris Safir, bukan sebagai pacar Safir.
Aruna mengikuti Safir mencium punggung tangan Sinta Farnaz yang hari ini berulang tahun.
"Aku udah tepatin janji aku ke bunda," ucap Safir membuat Sinta mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu apa?"
"Bawa calon istri aku ketemu bunda."
Raut wajah Sinta berubah sumringah seketika. "Mana, dimana calon istri kamu."
"Ini." Safir menggenggam erat tangan Aruna yang saat ini merasa salah tingkah karena di kenalkan sebagai calon istri Safir.
Sinta tampak tak terkejut dan terkekeh. "Aruna, jangan mau di ajak bohong Safir."
"Bunda nggak percaya?"
"Safir, bunda tau kalian memang selalu bersama, satu-satunya wanita yang kamu percaya cuma Aruna tapi kamu jangan ajak Aruna sekongkol gini dong."
"Aruna, jelasin ke bunda."
Aruna tampak kebingungan dan salah tingkah. Sebenarnya dirinya juga belum yakin dengan hubungan ini.
"Aruna benar, kamu punya hubungan dengan Safir?" Tanya Sinta memastikan sendiri pada Aruna.
Safir memandang Aruna dan mengangguk samar memberi kode.
"I-iya bu Sinta." Jawab Aruna gugup.
Mendengar pengakuan Aruna, tampaknya Sinta sedikit terkejut. Namun wanita 45 tahun itu segera tersenyum dan menutupi keterkejutannya.
"Jadi kalian benar-benar punya hubungan?"
Safir mengangguk. " Maaf baru bilang sekarang."
Meski masih tak menyangka, Sinta tersenyum senang karena anak satu-satunya kini sudah memiliki pelabuhan terakhirnya. "Bunda senang, bunda juga berharap kalian segera berlanjut ke hubungan yang yang lebih serius lagi."
Safir tersenyum dan mengangguk.
"Yasudah yuk kita berkumpul dengan saudara yang lain."
Setiap ulang tahun anggota kelurga Farnaz memang selalu di rayakan secara besar-besaran, sekaligus acara kumpul-kumpul keluarga besar.
*****