D E L A P A N

1530 Kata
Semoga kalian suka dan kalian puas dengan kisah yang aku sajikan kali ini?????Sebelum membaca kalian bisa pencet love atau follow terlebih dahulu, karena pencet love dan follow itu gratis gaiss, gratisss tiss tisss Ayo pencet sekarang, aku tunggu sampai lima menit yaa... . . . . . Sudah lima menit, kuyy sekarang nikmati kisah Safir dan Aruna yang menggemaskan?????? ♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️ Karena sudah menjadi kebiasaannya, pukul lima pagi mata Aruna seperti otomatis terbuka meski keadaan tubuh yang lelah dan jam tidur yang telat. Aruna terduk sebentar di atas ranjang dan memandang Safir yang masih tertidur damai dan si kecil Cila yang juga masih tertidur di samping Safir. Ia masih tidak menyangka bisa tidur satu kamar, bahkan satu ranjang dengan Safir. Rasanya benar-benar seperti mimpi. Safir yang ia anggap tak pernah bisa ia gapai ternyata terlebih dulu datang menghampirinya. Daripada terus berfikir yang aneh-aneh lebih baik Aruna segera turun dari atas ranjang dan mulai menjalankan rutinitasnya. Yaitu bersih-bersih seluruh ruangan di apartemen dan memasak sarapan untuk Safir. Ya seperti ini lah pekerjaan-nya setiap hari. Sebelas dua belas dengan pembantu rumah tangga. Entah bagaimana nasibnya nanti bila sudah menikah, tetap menjadi babu atau mendadak menjadi nyonya besar. Tapi, Aruna harap Safir mau mencari pembantu rumah tangga agar dirinya tak terlalu repot karena Cila juga membutuhkan perhatian lebih darinya. Saat Aruna melihat jam, ternyata sudah menunjuk kan pukul enam lebih, dan belum ada tanda-tanda Safir keluar dari kamarnya. Padahal, biasanya pria itu setengah enam sudah bangun dan bersantai di depan televisi sambil menikmati kopi pagi. Aruna masuk ke dalam kamar Safir dan mulai membangunkan pria itu. Mata Safir langsung lebar saat Aruna baru memanggil namanya sekali. "Jam berapa?" Tanya-nya. "Enam pagi." Safir merenggangkan otot-ototnya dan menoleh ke arah si kecil Cila. "Kamu nggak aja Cila berjemur?" "Aku masih repot, ini masih mau masak," ucap Aruna sambil menyingkap gorden besar di kamar Safir. "Yasudah sama aku aja. Bikinin kopi, aku mau jemur Cila di balkon dulu." "Iya, mas." Setelah itu Aruna kembali keluar dari kamar Safir. Aruna mengerjakan pekerjaannya dengan serba cepat mumpung Cila masih aman dengan Safir. Jadi memasak yang biasanya membutuhkan waktu setengah jam lebih sekarang ia bisa menyelesaikan kurang dari setengah jam. Setelah memasak Aruna membawakan sarapan untuk adiknya di apartemennya dan juga membangunkan adiknya yang masih tertidur di depan televisi seperti biasanya. "Popy bangun udah pagi!" Aruna menyingkap bad cover yang membalut tubuh adiknya dan membersihkan sisa-sisa wadah yang adinya pakai semalam. "Aku ngantuk kak Runa." Rengeknya sambil berusaha mengambil bad cover dari tangan kakak-nya. "Kami jangan kebiasaan tidur pagi-pagi, nggak baik buat kesehatan kamu. Kamu juga cewek jangan males-malesan!" Omel Aruna. "Kak Runa nggak asik." Popy bangkit dari tidurnya dan menguap lebar. "Popy, kakak tuh sayang sama kamu. Kakak nggak mau kamu terus-terusan hidup nggak sehat." Popy yang terharu langsung memeluk tubuh kakak perempuan-nya yang sangat amat baik hati padanya. "Makasih ya kak, udah selalu perhatian sama aku." Aruna balas memeluk adik perempuannya dan mengusap kepanya lembut. "Ayah sama Ibu udah titipin kamu ke kakak, jadi kakak harus semaksimal mungkin jaga kamu." "Makasih lagi kak Runa." "Dah lah. Tuh, kakak udah bawain sarapan. Mandi terus sarapan, kakak mau ke apartemen Pak Safir lagi." Aruna melepaskan pelukannya dengan Popy. "Iya kak Runa sayangg." "Awas! jangan tidur lagi kamu!" Popy hanya memberinya cengiran. Kadang kala adiknya itu memang sangat menyebalka. Aruna kembali menuju apartemen Safir dan kembali mengurus si bos dan calon anak angkatnya. "Sini Cila, kamu siap-siap aja mas udah hampir jam 7." Safir memberikan Cila yang sudah terbangun ke gendeongan Aruna. "Hari ini kamu ikut ke kantor ya." Mata Aruna langsung membelalak sempurna. Bagaimana bisa Safir tiba-tiba berubah pikiran dan mengajaknya ke kantor lagi. "Katanya aku kerja di rumah aja jaga Cila." "Setelah aku pikir-pikir aku nggak bisa langsung kamu tinggal. Dan Galih juga butuh pengarahan dari kamu." "Terus Cila?" "Untuk hari ini kita bawa aja, Bunda lagi ikut Ayah ke luar kota." Aruna tak percaya Safir senekat ini. Apa kata para karyawan bila melihat bos dan sekretarisnya membawa seorang bayi sedangkan keduanya belum menikah. "Aruna, kamu jangan khawatir saya akan jelaskan pada semua kalau kita akan segera menikah dan Cila anak angkat kita." Ingin membantah tapi bibir Aruna seakan kelu tak bisa terbuka. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk patuh dan mengikuti apapun yang Safir perintahkan. "Aku balik ke apartemen dulu siap-siap," ucapnya lalu pergi dari hadapan Safir bersama Cila. *** Jantung Aruna berdegub kencang saat mobil yang ia kendarai dengan Safir sudah sampai di depan loby kantor. "Pak, keluarkan stroller Cila di bagasi," ucap Safir pada sang sopir. "Baik tuan." Aruna memandang area kantor, sudah banyak karyawan yang berlalu lalang. Pasti setelah ini dirinya akan menjadi gunjingan hangat di kalangan karyawan rumpi. Saking sibuknya ia memperhatikan suasana, Aruna sampai tak sadar kalau Safir susah membuka-kan pintu mobil untuknya. "Aruna, ayo turun kamu lihatin apa sih?" Aruna langsung tersadar dan keluar dari dalam mobil sambil menggendong Cila. "Semua lihatin kita," ucap Aruna sangat pelan. Safir tak menjawab, dirinya sibuk menata stroller yang akan Cila gunakan. "Dah, taruh Cila disini." Aruna menidurkan Cila atas stroller dan mengambil tas baby di dalam mobil. "Sini tas-nya biar aku yang bawa, kamu dorong Cila." Sepanjang jalan menuju ruangan terasa mencekam bagi Aruna. Seluruh karyawan sontak menghentikan aktifitasnya demi melihatnya dengan Safir yang membawa bayi di dalam stroller. Sedangkan Safir berjalan sangat tenang di sampingnya, seperti tidak ada masalah apapun. "Silahkan berkumpul dulu," intrupsi Safir yang langsung di turuti oleh seluruh karyawan yang beraktifitas di lantai satu. Setelah lima belas karyawan berkumpul dan membentuk barisan Safir mulai berbicara perihal dirinya dan Aruna. "Saya dan Aruna akan segera melangsungkan pernikahan, dan bayi ini anak angkat kami," ucap Safir to the point agar tak terjadi salah paham yang berkepanjangan. Seluruh karyawan mengangguk tak berani bertanya lebih atupun membantah. "Sudah paham kan?" "Paham, Pak Safir." Jawab seluruh karyawan serentak. "Sudah, sekarang lanjutkan pekerjaan kalian," ucap Safir. Satu lantai sudah bisa Aruna lewati, tapi masih ada lantai-lantai berikutnya. "Udah, nggak usah panik gitu. Pasti mereka langsung sebar berita ini ke grup kantor," ucap Safir menyakinkan Aruna Mereka menaiki lift menuju ruangan Safir dan ruangan-ruangan penting lainnya di lantai delapan. Sesampai-nya di dalam ruangan Aruna benar-benar bisa bernafas lega, akhirnya ia bisa melewati seluruh rintangan dengan lancar. "Tidurin Cila di sofa, semoga dia nggak rewel hari ini," ucap Safir. "Iya, Pak." Aruna harus profesional di kantor dirinya bukan lagi calon tunangan atau pun calon istri Safir jadi ia harus kembali memanggil dengan sebutan "Pak" Safir mulai sibuk di meja kerja-nya sendiri sedangkan Aruna bekerja di sofa sambil menjaga Cila yang masih tertidur pulas. "Aruna, setelah meeting persiapkan Galih." "Siap, Pak. Semalam sudah saya hubungi, tinggal menunggu panggilan dari Pak Safir." "Okay, sekarang siapkan berkas meeting saya setelah itu kamu bisa istirahat." "Saya nggak ikut ke ruang meeting?" "Terus Cila siapa yang jaga kalau kamu ikut?" Aruna langsung merengut. Nada suara Safir kembali dingin, sangat berbeda bila mereka tengah berdua di apartemen. "Cepat, meeting sebentar lagi dimulai!" Dengan gerakan cepat Aru a menyuapkan file-file serta berkas fisik yang harus Safir bawa ke ruang meeting. "Pak Safir nggak apa-apa bawa ini semua sendiri?" "Panggil salah satu staf." Aruna segera keluar dari ruangan mencari salah satu staf yang tengah longgar untuk membantu membawa beberapa berkas karena Safir tak akan sudi merepotkan dirinya sendiri. Nasib menjadi bos apa-apa harus serba dilayani. Tepat setelah Safir pergi,Cila terbangun dan langsung menangis cukup keras. Untung saja ruangan Safir kedap suara, jadi tidak mengganggu staf lain yang tengah fokus bekerja di bidangnya masing-masing. Aruna memberikan s**u formula dan mengayun-ayunkan bayi itu. Sambil melamun, Aruna berfikir keras. Siapa sebenarnya bayi ini? kenapa Safir sangat menyayangi-nya dan selalu berusaha menjaganya sebaik mungkin melebihi anak kandung ya sendiri? Beberapa kali Aruna sempat berfikir buruk tentang ini, namun dirinya segera menepis karena tak mungkin Safir melakukan hal sekotor itu. Tidak, itu bukan tipe seorang Safir Khrisna Farnaz. Pria elite dan berpendidikan tinggi tak akan melakukan hal yang rendahan. Cila sudah mulai tenang, Aruna kembali meletakkan bayi itu di atas sofa dan mengusap keningnya lembut. Kalau di perhatikan secara intens wajah Cila tak ada miripnya sama sekali dengan Safir atau siapa pun. Aruna menggelengkan kepalanya, ia tak boleh terlalu berfikir jauh tentang Cila. Ia sudah berjanji akan menjaga dengan sungguh-sungguh baby Cila dan tak memperdulikan bagaimana asal usul bayi itu. Sekarang dirinya lah orang tuanya, orang yang akan Cila panggil Mama dan orang uang akan menjadi panutan untuk Cila nanti. Meski bukan anak kandung Aruna akan selaku menyayangi dan melindungi Cila seperti anak kandungnya sendiri. Benar yang Safir katakan waktu itu. "Setiap jiwa yang di lahirkan memiliki hak hidup dan hak untuk dilindungi. Apalagi seorang bayi yang masih suci, ia tak pantas untuk di nodai. Jadi, kita sebagai manusia yang masih diberi akal hendaknya menyelamatkan jiwa yang masih lemah itu." **** Halooo halooo update ya gaisss Jangab kupa pencet love love love dan juga komentar sebaik mungkin ya gaisss♥️?? Kalau kalian makin rame aku makin cemungut ngetiknya karena semangat aku antusias kalian??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN