One Night Stand
Langkah-langkah tegas memenuhi lorong private club di sebuah hotel bintang lima. Sepatu kulit import mendominasi derap gagah dua lelaki berdasi itu.
“Jadi, istri Sakha benar-benar sudah hamil, Jim?” Tanya salah satunya, yang paling nampak dominan.
Tubuhnya tegap, dibalut jas mahal dengan rambut tertata rapi. Semakin sempurna dipadu dengan rahang tegas dan mata yang begitu tajam. Aroma wangi kayu yang maskulin, semakin menambah pesona lelaki dewasa 37 tahun itu.
Bhumi Bagaskara Mahawira. CEO perusahaan besar yang membawahi banyak cabang. Dikenal sebagai manusia tidak banyak bicara, tapi selalu tepat saat bergerak.
“Benar, Bos. Kabarnya sudah tersebar di seluruh Mahawira grup.”
“Lalu, bagaimana menurutmu?” Tanyanya lagi.
Tanpa menoleh. Tetap memandang lurus ke depan, seolah di sana ada hal besar yang sedang menantinya. Padahal, sang asisten berada satu langkah di belakangnya.
“Mungkin, kita bisa cari dokter lain untuk mengobati anda.” Saat menjawabnya, Jimmy terdengar sungkan.
Langkah mereka berakhir di sebuah ruangan privat, kemudian pintu tertutup rapat.
Helaan nafas panjang, baru saja menunjukkan kelemahan seorang Bhumi, di belakang mata semua orang.
“Percuma, Jim. Aku sudah mati sejak lima tahun yang lalu.” Bhumi terdengar putus asa.
“Usaha anda belum maksimal, Bos. Kita bisa cari dokter ke luar negeri kalau anda mau. Jangan menyerah! Anda tidak mau kan kalau Mahawira grup sampai jatuh ke tangan keluarga baru Pak Wisnu?”
“Sulit, Jim. Aku sudah lelah terapi terus. Wanita-wanita itu juga tidak ada yang membuatku tertarik sama sekali. Mereka telanjang pun, aku tidak bisa bereaksi.”
“Mungkin, Bos hanya butuh cinta.” Jimmy sedang mencoba menghibur Bhumi.
“Bukankah kata mereka cintaku sudah habis untuk Amira? Jadi, mungkin saja kelakianku juga ikut mati bersamanya.”
“Jangan terlalu me-mindset diri seperti itu, Bos. Takutnya, itu justru membuat anda semakin tertekan.”
Bhumi tersenyum sinis. Duduk di salah satu sofa yang ada disana dengan salah satu kaki, menumpu di paha yang lainnya.
“Itu bukan sekedar mindset, Jim. Itu kenyataan. Kamu tahu sendiri semua usahaku sia-sia.”
“Tapi, Bos—”
“Sudahlah, Jim. Aku ingin tenang dulu. Pergilah! Awasi Laura, jangan sampai dia melakukan hal-hal buruk bersama pacarnya.”
Jimmy mengangguk singkat. Lalu, meninggalkan Bhumi sendirian dalam ruangan bercahaya temaram itu.
Langkah asisten setia itu begitu fokus pada tujuannya, sampai dia tidak memperhatikan dua gadis yang baru saja dia lewati.
“Panas, Mel…” Gendhis, nampak gelisah sambil mengibas-ngibas wajahnya dengan tangan.
“Lo sakit, Dhis?” Meli—sahabatnya bertanya cemas. Meletakkan punggung tangannya di kening Gendhis.
“Gue… Ah, badan gue nggak enak banget. Kayaknya, gue keracunan deh, Mel.” Gendhis meraba seluruh tubuhnya, seolah ingin membuang pakaian yang dia pakai.
“Lo abis makan apa?” Meli sampai meninggikan suaranya, curiga dengan gelagat Gendhis.
“Kata Laura, cuma mocktail.”
“Dan lo percaya?”
“Gue… gue terpaksa terima tantangan Laura. Gue dituduh godain Leon lagi di depan anak-anak.”
Meli meluruhkan bahunya pasrah. Tangannya menyugar rambut frustasi karena kecerobohan temannya yang mudah sekali terprovokasi oleh rivalnya.
“Ya ampun, Dhis. Bego banget sih lo.” Meli menyesal sendiri. “Udah gue bilang, tunggu sampai gue dateng dulu, baru lo boleh masuk. Eh, lo nya malah sok tahu, nggak mau dengerin gue. Padahal, lo baru pertama kali masuk ginian.”
“Please, Mel. Jangan ngomel terus! Bantuin gue. Gue mau pulang.”
“Lo mau pulang dalam keadaan kaya gini, Dhis?” Meli tersenyum sinis, meremehkan. “Kalau lo nekat, yang ada lo bakalan mati.”
Gendhis semakin bergerak tak karuan, tapi masih cukup mampu menggunakan pikirannya.
“Gue baru mabok sekali, Mel. Nggak mungkin gue mati. Lagian, tadi cuma segelas aja kok.”
“Lo bukan mabok, Gendhis!” Saking geramnya, Meli berteriak lagi. “Lo itu dalam pengaruh obat perangsang tahu!! Pasti, Laura yang sengaja kasih obat itu ke lo.”
“Duh, Mel. Gimana ini?” Gendhis yang tengah gelisah, semakin gusar. Sayangnya, reaksi tubuhnya lebih mendominasi pikirannya.
“Eh, jangan buka disini!”
Meli mencegah cepat, karena refleks Gendhis yang hampir membuka pita di bagian depan dress-nya.
“Gue anter lo check in aja. Gue khawatir, lo nggak akan selamat kalau tetep pulang. Gue bantu lo cari penawarnya.” putus Meli.
“Terserah lo, Mel. Yang penting, lo harus cepet.”
“Oke, lo tunggu disini, dan jangan kemana-mana! Gue check in di lobby dulu. Gue capek mapah lo terus kalau lo ikut.”
“Hem… jangan lama-lama. Rasanya, gue udah mau mati, Mel.” sahut Gendhis sekenanya, lebih memilih terhanyut oleh rasa tak nyaman dalam tubuhnya.
Meskipun sebetulnya Meli khawatir meninggalkan Gendhis sendirian, tapi gadis itu tak punya pilihan lain.
Biar bagaimanapun juga, dia harus cepat-cepat membukakan kamar untuk sahabatnya yang ceroboh itu. Sementara dia akan kesulitan kalau harus membawa Gendhis yang sedang kacau kemana-mana.
Sepeninggal Meli, Gendhis berusaha menormalkan deru nafasnya yang semakin berat. Sekujur tubuhnya memanas seolah dia hampir meledak.
Merasa tak sanggup membawa tubuhnya sendiri, Gendhis bersandar di sebuah pintu tepat di belakangnya. Sayangnya, baru saja dia memasrahkan tubuhnya disana, pintu itu terbuka, hingga Gendhis oleng dan jatuh ke pelukan seseorang.
“Akh!”
Zzrrttt.
Sentuhan itu, membuat Gendhis seperti tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Hanya pelukan ringan untuk mencegah dia terjatuh saja, mampu menghantarkan gelombang luar biasa di tubuhnya.
“Lo bisa mati kalau lo nekat pulang. Gue khawatir, lo nggak akan selamat.”
“Gue anter check in aja. Gue bantu cari penawarnya.”
Ucapan Meli mendadak terngiang di kepala Gendhis. Dengan kemampuan otaknya yang tinggal seperempat, gadis itu berusaha mencerna semuanya dengan praduganya sendiri.
“Om! Bantu saya, Om. Saya nggak kuat. Saya belum mau mati.”
Lelaki yang sampai sekarang masih memeluk Gendhis itu, nampak terkejut.
Ya, dialah Bhumi. Lelaki yang sedang putus asa tadi, nyaris tak percaya dengan apa yang terjadi dengan tubuhnya.
Tak hanya Gendhis yang sedang dalam pengaruh afrodisiak, tapi Bhumi juga bisa merasakan lagi gelenyar yang sudah lama tidak dia rasakan.
“Jadi, kamu orangnya?” desis Bhumi dengan suara rendah.
Sialnya, gelombang itu justru terdengar seksi di telinga Gendhis.
“Saya nggak ngerti Om ngomong apa. Tapi, yang jelas, tolong bantu saya, Om. Saya udah nggak tahan lagi.”
Dalam waktu sepersekian detik, Gendhis mencium bi bir lelaki asing itu menggunakan instingnya. Rupanya, Bhumi tidak menolaknya.
Gendhis memang masih amatir, dan hanya mengikuti nalurinya saja. Namun, balasan Bhumi mampu membawanya menjadi sangat percaya diri.
Dia berani mendorong Bhumi yang mulai lengah, hingga terduduk di sofa, lalu naik ke pangkuannya.
“Maafkan saya, Om. Tapi, saya harus melakukan ini.”
Selanjutnya, cahaya lampu temaram ruangan privat itu, menjadi saksi bisu peraduan manis antara dua orang asing, yang tengah tenggelam dalam lautan gairah.