Maura meletakkan ponselnya di atas meja sambil menghela napas berat begitu masuk ke kamar kost. Suasana hati wanita itu mendadak rusak pasca menerima panggilan telepon dari atasannya.
Bagaimana tidak? Beberapa kali dia ditekankan untuk tepat waktu, padahal ini hanya makan malam biasa, tidak seharusnya perlu ditekan sedemikian rupa.
Akan tetapi bagaimana lagi? Ini permintaan langsung dari Pak Erlangga, atasannya yang tidak bisa dibantah dan terkenal dengan kebiasaan buruknya, memecat dan memotong gaji sesuka hati andai tidak mengikuti perintahnya.
Terpaksa, mau tidak mau Maura memenuhi undangan makan malam dari Pak Erlangga. Akan tetapi, sebelum itu dia ingin menikmati indahnya tidur siang lebih dulu, minimal hingga rasa lelahnya berkurang saja.
Sejenak melupakan tentang Pak Erlangga dan juga sahabatnya itu, Maura tenggelam dalam lautan mimpi di siang hari.
.
.
"Bagus, sekali lagi saya tekankan ... datang tepat waktu, dia tidak suka orang yang tidak disiplin, mengerti?"
Berkali-kali Pak Erlangga mengingatkan, dan Maura juga sudah mengiyakan. Namun, pada realitanya Maura justru tak bisa memenuhi janji itu.
Bagaimana tidak? Empat puluh menit lagi sebelum jam tujuh, Maura baru membuka mata dan terbangun dari tidurnya.
Padahal, Maura merasa dia baru tertidur beberapa saat yang lalu, tak sedikit pun dia menduga bahwa hari sudah gelap.
"Ya Tuhan, bagaimana bisa jam segini baru bangun? Bisa-bisa Pak Erlangga murka setelah ini." Sembari bergegas ke kamar mandi, Maura mengomel dan merutuki kebodohannya.
Meskipun sadar bahwa waktu yang dia miliki hanya sedikit, Maura jelas tidak mau mandi bebek. Tentu saja malu, rambutnya sudah terasa lepek mengingat dirinya keramas tiga hari lalu.
Selesai mandi, Maura bergegas membuka lemari dan memilih gaun andalannya. Kebetulan dia punya, gaun hitam sederhana yang tidak terlalu mencolok, namun tetap sopan dan profesional.
Sangat pantas dan cocok untuk dipakai makan malam bersama atasan. Walau ya, tidak tahu juga ketika tiba di sana dia akan menjadi tukang foto atau obat nyamuk, tapi setidaknya Maura memperlihatkan bahwa dia memang niat memenuhi undangan Pak Erlangga.
Masih ada sedikit waktu, Maura mengeringkan rambut yang kemudian dia ikat rapi ke belakang, menampilkan kesan anggun yang ia pikir sesuai dengan acara malam itu.
"Perfect. Aku rasa sudah cukup cantik," ujar Maura sambil tersenyum tipis, matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Ia memberikan sentuhan akhir dengan mengoleskan sedikit lipstik di bibir ranumnya, memastikan tampilannya sempurna tanpa cela.
Selesai dengan semua persiapannya di kost, Maura merapikan gaunnya sekali lagi sebelum melangkah keluar. Dia berdiri di depan gerbang kecil kostnya, menunggu driver ojek yang sudah ia pesan sebelumnya.
Sembari menanti, Maura melirik ponselnya untuk memastikan pengemudinya tidak terlalu jauh.
.
.
Lima menit berlalu, driver ojek yang Maura tunggu tiba. Pria tampan dengan jaket hijau khas aplikasi itu menatapnya sekilas kemudian tersenyum ramah. "Maura, ya? Ke Mikayo Restoran?" tanyanya sambil memastikan tujuan.
"Betul, Mas," jawab Maura sambil buru-buru naik ke jok belakang motor.
Dia memeriksa jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kini dan berakhir men-desah pelan. Kemungkinan besar, dia akan terlambat tiba di sana.
Beruntung, jarak antara kostnya dan restoran Mikayo tidak terlalu jauh. Hanya sekitar sepuluh menit perjalanan. Sepanjang jalan, Maura memandangi pemandangan malam yang samar-samar terlihat di bawah kerlip lampu jalan. Ia berusaha menenangkan diri, meski rasa gugup tak henti-hentinya mengganggu pikirannya.
Sesampainya di depan restoran, Maura segera turun dari motor. Dia mengeluarkan uang tunai dari dompetnya dan menyerahkannya kepada sang driver. "Terima kasih, Mas. Kembaliannya ambil saja," ujarnya kemudian melangkah maju tanpa menunggu sang driver menjawabnya.
Driver itu tampak sedikit bingung, dia kembali melihat jumlah uang yang memang nominalnya pas tanpa ada kembalian. "Dasar, cantik-cantik pe-ak," gumam pria itu sembari menggeleng pelan.
Tak peduli apa yang dipikirkan driver muda itu tentangnya, Maura fokus saja dengan tujuan utamanya.
Perlahan, dia memasuki restoran tersebut. Restoran mewah, dengan lampu-lampu kristal yang menggantung elegan di langit-langitnya, tidak percuma Maura berdandan demi memantaskan diri untuk makan di sini.
Kendati begitu, semakin jauh langkah membawanya masuk, pikiran Maura tentang siapa sahabat Pak Erlangga yang menyebalkan itu membuatnya semakin gelisah.
Hingga, dari kejauhan dia sudah melihat Pak Erlangga yang duduk di meja dengan seorang pria di hadapannya.
"Huft, syukurlah ... ternyata bukan perempuan," gumam Maura seraya menghela napas panjang.
Sedikit tenang, malam ini dia tidak akan berakhir menjadi tukang foto, apalagi nyamuk yang menemani bosnya pacaran.
Kembali Maura melanjutkan langkah, dia mengulas senyum dan menunduk sopan sewaktu berdiri tepat di samping Pak Erlangga.
"Selamat malam, Pak Erlangga, maaf ... saya terlam_"
Ucapan Maura terhenti begitu saja. Jantungnya berdegup kencang, tidak beraturan, seolah mencoba melompat keluar dari dadanya saat matanya menangkap sosok yang duduk bersama atasannya.
Napasnya tercekat. Kata-kata yang tadi sudah hampir terucap kini tertahan di tenggorokan, tak mampu ia teruskan.
"Tunggu sebentar... laki-laki ini, 'kan?" bisiknya dalam hati, penuh kegelisahan.
Tubuhnya mendadak kaku, seakan semua energi lenyap dari dalam dirinya. Pria itu, wajahnya terlalu familiar. Begitu jelas, begitu nyata, hingga kenangan yang telah Maura kubur dalam-dalam mulai bangkit tanpa ampun.
Malam itu, malam panas yang selama ini dia coba lupakan, kembali menghantui pikirannya. Detik itu juga, semua terasa membeku di sekitarnya, menyisakan dirinya dan bayang-bayang malam itu yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan.
Abi. Pria yang dia bayar 300 ribu rupiah tempo hari, ya, Maura yakin dia tidak mungkin salah dan memang benar-benar dia.
Meski penampilan pria 180 derajat berbeda, lebih rapi dan berwibawa, Maura tetap bisa mengenalinya.
"Ehem." Pak Erlangga berdehem sebagai pemecah keheningan.
Maura sontak mengalihkan pandangan, dia berusaha bersikap biasa saja dan meneruskan ucapan yang tadi sempat tertunda. "Maaf, Pak, saya terlambat."
Tidak ada kemarahan, Pak Erlangga mengulas senyum hangat. Sungguh berbanding terbalik dengan sikapnya sewaktu di telepon.
"Tidak apa, kami juga belum mulai makan ... duduklah," ucap Pak Erlangga mempersilakan, Maura makin kaku tatkala diperlakukan sedemikian rupa oleh atasannya.
Tidak perlu menunggu perintah kedua kali, Maura lekas duduk dan menundukkan wajahnya. Sudah tentu dia malu dan berusaha menghindari tatapan pria yang berada di hadapannya itu.
"Ah iya, ini teman makan malam yang saya maksud."
Maura tak punya kesempatan lagi untuk menunduk, secepat mungkin dia harus bergegas mengangkat wajah dan menanggapi ucapan bosnya.
"Namanya Abimanyu," lanjut Pak Erlangga yang disusul senyum tak terbaca di wajahnya.
Entah senyum mengejek atau apa, Maura yang tengah pusing-pusingnya tidak mengerti juga.
Meski begitu, Maura memaksakan senyum, "Ah iya, senang bertemu Anda, Pak Abimanyu," ujarnya dengan suara yang hampir bergetar.
.
.
- To Be Continued -