Berbeda dengan Abimanyu, dia tampak begitu santai ketika Maura menyapanya. Tidak ada raut gugup sedikit pun di wajahnya, seolah dia sudah memperkirakan pertemuan ini sejak awal.
"Senang bertemu denganmu," ucap pria itu dengan nada tertahan, menatap Maura sejenak sebelum melanjutkan, "Maura." Abimanyu menyebut nama Maura disertai senyum penuh arti yang menghiasi wajah tampannya.
Maura hanya mampu mengangguk pelan. Jemarinya sesekali diremas untuk menyalurkan kegelisahan yang justru semakin menjadi karena sikap santai Abimanyu. Entah kenapa, ketenangan pria itu malah membuatnya merasa tidak nyaman.
Apa jadinya jika Abimanyu terlihat antusias atau bahkan terkejut melihatnya? Maura yakin, jika itu terjadi, dia pasti sudah mati berdiri di tempat saat itu juga.
Setelah perkenalan ala manusia normal itu berlangsung, Abimanyu kembali berlagak seolah tidak terlalu peduli dengan keberadaan Maura. Pria itu meneruskan obrolan dengan atasan Maura, percakapan ringan yang tampak santai dan tak terlalu formal.
Seperti yang dijanjikan Pak Erlangga, makan malam ini seharusnya hanyalah pertemuan biasa. Tidak ada alasan bagi Maura untuk merasa tertekan seharusnya. Namun, kenyataan sering kali berbicara lain.
Semakin lama, Maura semakin merasa tidak nyaman. Dia tak betah, ingin segera pulang dan menghilang dari hadapan pria yang kini dia ketahui bernama lengkap Abimanyu itu.
Selama ini, Maura memang tidak pernah berniat mencari tahu lebih dalam tentang pria itu. Sejak malam itu, ia hanya mengenalnya sebagai Abi, seorang lelaki urakan yang menjalani hidupnya di tengah gemerlap dunia malam.
Namun malam ini, semuanya terasa berbeda. Penampilan Abimanyu yang rapi dan elegan berhasil mematahkan semua asumsi Maura. Pria itu jelas bukan orang biasa.
Meski Maura belum tahu pasti identitasnya, tapi dari cara berbicara, pakaian dan aura berwibawa yang terpancar dari pria itu, Maura bisa menebak bahwa Abimanyu berasal dari kalangan ningra. Atau, mungkin keturunan darah biru dengan harta melimpah yang tak akan habis hingga tujuh turunan.
Jam tangan di pergelangan tangan Abimanyu yang berkilauan di bawah cahaya lampu membuat Maura tertegun. Walau belum pernah membeli, tapi Maura kurang lebih tahu tentang barang bermerk. Nilainya mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama bertahun-tahun, atau bahkan lebih.
Fakta itulah yang tiba-tiba membuat Maura merasa malu luar biasa, terlebih ketika ia mengingat tentang nominal yang dia berikan sebagai imbalan atas jasa pria itu.
Tiga ratus ribu. Ya, tidak salah memang hanya segitu. Uang yang dia berikan pada Abimanyu malam itu kini terasa seperti sebuah lelucon. Maura mendadak merasakan sakit di kepala saking malunya. Dengan refleks, ia memijat pelipis dengan harapan rasa tidak nyaman itu segera mereda.
"Ssshh ... aawh," gumamnya tanpa sadar, cukup pelan namun tetap terdengar oleh dua pria di hadapannya.
"Maura, are you okay?" Suara Pak Erlangga memecah obrolannya dengan Abimanyu. Perhatian mereka langsung teralih pada Maura yang tampak kesakitan.
"Oh, I’m fine," jawab Maura cepat, sambil mengangguk singkat. Ia memaksakan senyum, meskipun sebenarnya dia hanya ingin segera menghilang dari situasi canggung ini.
Maura sengaja berbohong. Baginya, lebih baik menahan rasa sakit daripada harus membuat Abimanyu ikut-ikutan memerhatikannya. Dalam hati, sudah tentu Maura tidak ingin sampai Abimanyu berpikir bahwa dia tengah mencari perhatian.
Sayangnya, tak semudah itu bagi Maura untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Wajahnya kini tampak pucat, kecemasan dalam dirinya tak bisa disembunyikan. Keringat dingin mengalir perlahan di pelipisnya, membasahi helaian rambut yang menempel di dahinya. Udara terasa berat, dan ketegangan yang tak kasatmata melingkupi mereka.
Abimanyu yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, akhirnya tak lagi mampu menahan diri.
Suaranya memecah keheningan yang menggantung di antara mereka.
“Kamu yakin baik-baik saja, Ra?” Nada suaranya terdengar tenang, tapi ada kehangatan dan kelembutan yang menelusup langsung ke relung hati Maura. Tatapannya penuh perhatian, seperti seseorang yang sungguh peduli, namun tak ingin memaksa.
Wajah Abimanyu menyiratkan kekhawatiran yang sama seperti sebulan lalu, saat dimana Maura diserang oleh Arkana - mantan suaminya.
Sejenak, Maura hanya diam. Bibirnya perlahan terbuka sedikit, tapi tak ada kata yang keluar. Dia tahu, bahkan jika dia mengatakan semuanya baik-baik saja, bayangan rasa sakit itu masih terlihat jelas di matanya.
Namun, masih sama seperti sebelumnya, dia tetap memilih bertahan di balik topeng ketegaran yang rapuh. Dengan anggukan pelan, dia mengulangi jawaban yang sama sebagaimana jawabannya untuk Pak Erlangga.
“Iya, aku baik-baik saja.”
Suara Maura terdengar lirih, hampir seperti bisikan. Dia menghela napas perlahan, berusaha menenangkan degup jantungnya yang makin ke sini makin tak karu-karuan.
.
.
Beberapa waktu berselang, hidangan utama untuk makan malam mereka kini tersedia di meja makan. Para pelayan datang silih berganti membawa menu spesial yang telah dipesan oleh Pak Erlangga.
Padahal yang makan hanya bertiga, tapi menu makanan yang tersedia cukup untuk satu RT saking banyaknya. Entah dalam rangka apa, rasanya tidak mungkin jika hanya menyambut status barunya sebagai Janda, toh dia tidak sepenting itu, pikir Maura.
Maura tidak terlalu peduli dengan alasan apapun di balik pertemuan itu. Yang pasti, satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah menyelesaikan makan malam ini secepat mungkin dan segera pulang. Tanpa banyak berpikir, ia menyendok sedikit makanan dari meja yang penuh hidangan, dan pilihannya jatuh kepada bebek bakar karena hanya itu yang paling mudah dia jangkau.
Namun, baru saja suapan pertama, perut Maura mendadak berontak. Entah karena tidak terbiasa dengan bumbu yang diperuntukkan untuk orang kaya atau bagaimana, tapi rasa mual itu tiba-tiba saja menyerangnya.
Maura mencoba untuk menenangkan diri, berusaha membuat rasa mual itu menghilang dengan sendirinya. Tapi, semua sia-sia. Wajah makin memucat, keringat dingin lagi dan lagi membasahi pelipisnya. Tidak ingin terjadi tragedi muntah di depan atasan, Maura bangkit dari kursinya, langkahnya tergesa-gesa.
“Maaf,” ujarnya pelan, nyaris tak terdengar, sambil melambaikan tangan sekenanya sebagai tanda permintaan maaf.
Dia bahkan tak sempat menjelaskan. Tubuhnya serasa dikuasai naluri untuk segera berlari ke toilet. Langkahnya makin tergesa, sudah masuk kategori lari cepat.
Pintu toilet pun akhirnya terbuka hingga menjadi satu-satunya ruang di mana Maura bisa melepaskan ketidaknyamanan yang mencekiknya sejak tadi.
Di dalam, Maura mencengkeram wastafel dan memuntahkan semua isi perut yang kebetulan hanya air, sedari tadi siang dia belum makan sama sekali.
Meski begitu, tubuhnya tetap saja lemas. Hingga, setelah dirasa lebih baik, baru Maura bergegas keluar. Sebagai bawahan yang baik, jelas saja Maura tidak ingin membuat atasannya khawatir.
Begitu membuka pintu toilet, Maura dibuat terperanjat kaget. Bagaimana tidak? Tepat di depannya, Abimanyu berdiri sudah menunggu. Pria itu menyandarkan satu bahu ke dinding. Kedua lengannya bersedekap di d**a, ekspresinya sulit dibaca. Tatapannya tajam, menyisir setiap detail wajah Maura yang pucat pasi, seakan mencoba mengurai teka-teki yang tak terucap.
"Kamu kenapa?" suara baritonnya memecah keheningan, nadanya tenang tapi tegas, seperti nada seorang hakim yang meminta pengakuan.
Maura terdiam, telanjur tertangkap basah. Tidak ada ruang untuk berbohong. Maura menelan ludah, mencoba mencari jawaban yang terdengar masuk akal. "Aku ... aku muntah," jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.
Abimanyu mengernyitkan dahi, matanya menyipit sedikit, memancarkan rasa ingin tahu yang kian mendalam. "Muntah?" ulang demi memastikan apa yang baru saja dia dengar.
"Iya," jawab Maura singkat, berharap percakapan ini berakhir di situ. Namun, pria itu tak menyerah.
"Kenapa bisa muntah?" desak Abimanyu lagi, nadanya sedikit melunak, tapi tetap tak memberi ruang untuk Maura menghindar.
"Entahlah," Maura kembali mencoba menyusun alasan baru, dan pada akhirnya memutuskan untuk berkata, "Mungkin ... asam lambungku naik." Suaranya terdengar ragu, seperti seseorang yang menyembunyikan sesuatu.
Tentu saja hal itu membuat Abimanyu makin penasaran. Menyadari ada yang Maura tutup-tutupi, pria itu perlahan mendekati Maura dengan wajah m***m dan seringai tipis di bibirnya yang seksi. Tangannya menyentuh lembut wajah Maura, mencondongkan tubuhnya dan berbisik dengan suara serak. "Yakin asam lambung? Kalau ternyata hamil gimana?"
.
.
- To Be Continued -