Chapter 1
Pagi itu, mentari baru saja menembus tirai jendela kamar sempit Aruna. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu bergegas menyampirkan tas kanvasnya ke bahu, meneguk seteguk air putih, lalu berlari kecil ke halte bus. Hidupnya sederhana, kuliah sambil bekerja paruh waktu di kafe, demi mewujudkan cita-cita menjadi arsitek.
Namun di balik semangatnya, Aruna menyimpan luka yang tak banyak orang tahu. Ayahnya, Bimo, dulunya pria baik, kini berubah menjadi pemabuk dan penjudi berat sejak dia dapat uang PHK. Semua harta keluarga habis untuk meja judi, sementara Aruna tetap berusaha tegar menutup aib ayahnya dari dunia luar.
Hari itu, tanpa ia tahu, nasibnya mulai berubah.
Di sudut kota, Rafael Adrianno, pria berjas hitam dengan tatapan tajam dan aura berbahaya, menerima laporan dari anak buahnya: “Target bernama Bimo masih menunggak. Katanya… dia akan menyerahkan sesuatu untuk melunasi hutangnya.”
Sesampainya di kampus, Aruna menatap gedung tinggi bercat putih itu dengan senyum kecil. Meski lelah dan hidup pas-pasan, semangatnya untuk belajar tak pernah padam. Ia percaya, pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari hidup yang serba sulit.
Namun, kampus bukan tempat yang selalu ramah baginya.
Langkahnya terhenti di koridor ketika beberapa mahasiswi berpenampilan mewah menatapnya sinis.
“Lihat deh, bajunya itu-itu aja,” bisik salah satu dari mereka sambil menahan tawa.
Aruna hanya menunduk, pura-pura tak mendengar. Ia sudah terbiasa dengan tatapan merendahkan itu, tatapan yang membuatnya merasa kecil hanya karena ia tidak lahir dari keluarga kaya.
Di ruang kelas, kursi di sebelahnya selalu kosong. Teman-teman sekelas lebih memilih duduk berkelompok dengan orang-orang “selevel”. Tapi bagi Aruna, kesepian bukan alasan untuk menyerah. Ia menulis catatan dengan rapi, mendengarkan dosen dengan saksama, dan diam-diam berjanji pada dirinya sendiri: suatu hari nanti, mereka akan melihat bahwa gadis sederhana ini bisa berdiri sejajar dengan siapa pun.
Ia tidak tahu bahwa sore nanti, hidupnya akan berubah drastis, ketika pulang kuliah, sebuah mobil hitam berhenti di depan gang rumahnya. Dari dalamnya keluar seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jas hitam dan kacamata gelap.
Pria yang kelak akan mengguncang seluruh hidupnya: Rafael Adrianno.
Sementara itu, di rumah kecil di ujung gang sempit, Bimo masih tergeletak di lantai ruang tamu. Bau alkohol bercampur asap rokok memenuhi ruangan. Di meja, botol kosong berserakan bersama kartu remi yang terlipat. Lelaki itu bahkan tak sadar bahwa pagi telah menjelma siang.
Suara deru mesin mobil mewah memecah keheningan gang kecil itu. Beberapa warga sempat mengintip dari balik jendela ketika sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan rumah Aruna. Dari dalam, keluar tiga orang berpakaian hitam rapi — tubuh tegap, tatapan dingin. Salah satunya, pria berwajah tegas dengan sorot mata tajam dan langkah berwibawa, adalah Rafael Adrianno.
Ia menatap rumah reyot itu dengan datar.
“Ini alamatnya?” tanyanya singkat.
“Ya, Bos. Orang bernama Bimo tinggal di sini. Utangnya sudah tiga bulan lewat jatuh tempo,” jawab salah satu anak buahnya.
Rafael mendengus pelan, lalu melangkah masuk tanpa mengetuk. Sekali dorong, pintu reyot itu terbuka.
Bimo yang masih terlelap terbangun kaget, mengerjap beberapa kali sebelum menyadari siapa yang datang.
“Si... siapa kalian?!” suaranya serak dan panik.
“Nama aku Rafael,” ucap pria itu dingin, menatap tajam. “Aku datang menagih sesuatu yang seharusnya sudah kau lunasi berbulan-bulan lalu.”
Bimo menelan ludah. Wajahnya pucat, tangannya gemetar mencari botol yang tersisa di lantai.
“U-utang itu... aku belum punya uangnya... beri aku waktu sedikit lagi,” katanya terbata.
Rafael berjongkok di hadapannya, tatapannya menusuk.
“Waktu? Aku sudah memberimu waktu. Sekarang, kau bayar dengan apa yang kau punya.”
Bimo terdiam. Napasnya tersengal, matanya melirik ke arah pintu kamar Aruna yang tertutup rapat. Ada kilatan ketakutan, tapi juga keputusasaan.
“Kalau begitu...” ucapnya pelan, suaranya bergetar.
“Aku... aku akan serahkan sesuatu padamu. Seseorang, lebih tepatnya.”
Langit mulai berwarna jingga saat Aruna melangkah pulang dari kampus. Tubuhnya lelah, namun ia tersenyum kecil ketika membayangkan bisa beristirahat sejenak sebelum bekerja di kafe malam nanti. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat mobil hitam asing terparkir di depan rumahnya.
Hatinya berdebar.
“Mobil siapa itu?” gumamnya pelan.
Semakin dekat, Aruna mendengar suara ayahnya dari dalam rumah, keras, terbata, dan terdengar takut. Ia mendorong pintu, dan pemandangan yang ia lihat membuatnya membeku.
Di ruang tamu, tiga pria berpakaian hitam berdiri dengan wajah kaku. Salah satunya duduk di kursi reyot milik ayahnya, menatap Bimo seperti menatap sampah. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh kuasa.
“Pa… siapa mereka?” suara Aruna gemetar.
Bimo menoleh cepat, matanya merah dan linglung.
“Aruna, dengar, Nak… Ayah… Ayah cuma butuh sedikit waktu,” ucapnya terbata.
Rafael bangkit perlahan, tatapannya berpindah ke arah gadis itu. Ia sempat terdiam. Di hadapannya berdiri seorang gadis muda dengan wajah lembut, mata jernih, dan pakaian sederhana — sama sekali tidak seperti dunia yang biasa ia kenal.
“Jadi ini... yang kau maksud ‘sesuatu’ untuk melunasi hutangmu?” Rafael menoleh pada Bimo, suaranya tenang tapi menusuk.
Bimo menunduk dalam-dalam.
“Dia... dia anakku, Aruna. Aku... aku tidak punya apa-apa lagi selain dia,” katanya lirih, hampir berbisik.
Dunia Aruna seakan berhenti berputar.
“Apa maksud Ayah…? Aku… tebusan hutang?” suaranya pecah, air mata mulai menggenang.
Bimo tak berani menatap anaknya.
Rafael menatap Aruna, wajahnya tetap datar, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang seolah bergetar sesaat. Ia tak pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Ayahmu punya utang yang tak akan bisa dia bayar seumur hidup,” katanya dingin. “Dan sekarang, kau — yang akan menggantikannya.”
“Tidak!” Aruna menjerit, langkahnya mundur. “Aku bukan barang! Aku bukan.”
Namun anak buah Rafael sudah lebih dulu menahan lengannya.
Rafael hanya menatap — masih dengan wajah dingin, tapi hatinya mulai terasa aneh. Ada rasa bersalah yang tak seharusnya ia rasakan
Aruna berusaha memberontak sambil menangis.
“Lepaskan aku! kalian mau bawa aku kemana ?"
"Diam, kamu akan tahu nanti!"Salah satu anak buah Rafael berteriak.
Rafael menarik napas panjang, lalu berucap pelan namun tegas,
“Mulai malam ini, kau ikut denganku. Sampai hutang ayahmu lunas.”
Dan dengan kalimat itu, hidup Aruna yang sederhana berubah selamanya.
"Apa?Jadi...aku sebagai pelunas hutang?"
Aruna ditarik paksa ke luar rumah. Air matanya menetes tanpa henti, sementara suaranya memohon pada ayahnya yang hanya bisa terdiam di ambang pintu.
“Yah… jangan biarkan mereka bawa aku!Yah, tolong aku!” serunya dengan suara parau."Ayah...ini tidak benar kan?Apa benara ayah punya hutang?"
Namun Bimo hanya menunduk, terlalu mabuk dan hancur untuk melakukan apa pun. Luka yang jauh lebih dalam mengiris hati Aruna, bukan karena ia dibawa pergi, tapi karena ayahnya diam saja.
Pintu mobil hitam itu dibuka, dan salah satu anak buah Rafael mendorongnya masuk. Aruna berontak, menendang, mencoba melawan dengan tenaga seadanya.
“Lepaskan aku! Aku bukan b***k kalian!” teriaknya.
Rafael, yang duduk di kursi depan, menoleh perlahan. Tatapannya dingin namun mata itu menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan, bukan sekadar amarah, tapi ada rasa iba yang berusaha ia abaikan.
“Diam,” ucapnya datar. “Semakin banyak kau berontak, semakin lama perjalanan ini terasa.”Suara bariton dan tegas dari Rafael Adrianno terdengar dingin namun menakutkan.
"Bos, apa anda yakin, mau membawa gadis ini?"Tanya sang anak buah Rafael yang
Aruna menatapnya dengan penuh benci, suaranya bergetar,
“Kau pikir kau siapa? Penculik?! Penjahat?!”
Rafael hanya menarik napas, tidak menanggapi. Mobil pun melaju meninggalkan gang sempit itu, sementara Aruna terus menatap ke luar jendela, rumahnya semakin jauh, kecil, lalu menghilang di balik tikungan.
Hening memenuhi mobil. Hanya suara mesin dan isak tertahan dari Aruna yang terdengar.
Sesekali Rafael melirik lewat kaca spion, melihat gadis itu menunduk dengan wajah sembab. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak nyaman. Biasanya, ia tak peduli dengan siapa pun yang menjadi “bayaran” tapi gadis ini berbeda. Terlalu muda. Terlalu polos untuk dunia kelamnya.
Ketika mobil berhenti di depan sebuah mansion megah, Aruna menatap dengan ngeri. Pagar besi tinggi, kamera pengintai di setiap sudut, dan penjaga berseragam hitam. Semua terasa menakutkan.
Rafael keluar lebih dulu, membuka pintu dengan tenang. "Brugh."
“Turun,” katanya dingin.
Aruna memandangnya tajam. “Kalau aku menolak?”
Rafael menatap balik tanpa ekspresi. “Kau bebas mencoba kabur. Tapi aku jamin, tak akan semudah itu. Dan keselamatan ayahmu, ada ditanganmu."
Dengan langkah gemetar, Aruna turun dari mobil, memasuki dunia asing dan berbahaya, tempat di mana ia tak tahu apakah akan menemukan kebebasan… atau kehilangan dirinya sendiri.