Chapter 9

1293 Kata
Rafael masih mondar-mandir di halaman belakang ketika salah satu pelayan datang tergesa, napasnya terengah. “T-Tuan Rafael!” serunya cepat. “Apa?” suara Rafael berat dan tajam, namun ada nada cemas yang tak bisa ia sembunyikan. “Nona Aruna… sudah ditemukan. Dia—dia tertidur di kamar kecil dekat gudang lama.” Rafael tak menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia langsung melangkah cepat, hampir berlari melewati lorong panjang menuju area belakang mansion. Langkahnya berat karena luka di bahu mulai nyeri lagi, tapi ia tak peduli. Begitu tiba di depan pintu kayu tua itu, ia langsung membukanya keras— dan di sana, di atas kasur kecil berdebu, Aruna tertidur. Wajahnya pucat, tapi damai. Selimut tipis menutupi tubuhnya. Di meja kecil di sebelahnya, ada lampu redup yang masih menyala, dan buku lusuh yang separuh terbuka — tampak seperti ia membaca sebelum tertidur. Rafael berdiri di ambang pintu cukup lama. Dadanya terasa berat. Semua ketegangan, semua kemarahan yang menumpuk sejak malam tadi, seolah menguap begitu saja melihat gadis itu masih bernapas tenang di depannya. > “Kau…” bisiknya pelan, suaranya hampir tidak terdengar. “Kenapa harus tidur di tempat seperti ini?” Pelayan yang ikut menemani menjawab lirih, > “Dia mungkin tidak ingin mengganggu Anda, Tuan. Katanya kamar belakang lebih tenang.” Rafael terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang terasa aneh — sesak, tapi hangat. Ia melangkah mendekat, lalu berlutut di samping kasur kecil itu. Tangannya hampir terulur untuk menyentuh wajah gadis itu, tapi ia menahannya di udara. Beberapa detik, ia hanya menatapnya. Wajah lembut, alis halus, dan napas yang teratur — begitu kontras dengan dunia brutal yang selalu ia jalani. > “Bahkan setelah semua yang kulakukan, kau masih bisa tidur dengan tenang seperti ini,” gumamnya lirih, lebih pada dirinya sendiri. Ia berdiri perlahan, menatap pelayan yang menunduk di pintu. > “Jangan ganggu dia. Biarkan tidur di sini malam ini. Besok… aku sendiri yang akan bicara dengannya.” > “Baik, Tuan.” Rafael menatap sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan. Saat pintu tertutup perlahan di belakangnya, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Rafael merasa sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: lega. Bukan karena perang malam ini dimenangkan — tapi karena Aruna masih ada. --- Berikut lanjutan adegannya — penuh nuansa lembut dan konflik batin Rafael yang perlahan mulai luluh oleh keberadaan Aruna 👇 --- Bab: Dalam Pelukan Malam Rafael menatap wajah Aruna sekali lagi sebelum akhirnya menunduk. Tanpa banyak bicara, ia menunduk, menyelipkan satu tangan di bawah lutut gadis itu, satu lagi di punggungnya, lalu menggendong Aruna dengan hati-hati. Tubuhnya ringan — terlalu ringan, pikir Rafael dalam diam. Setiap langkahnya terdengar pelan, bergema di lorong sunyi mansion yang hanya diterangi lampu temaram. Pelayan yang mengikuti dari belakang menunduk, tak berani menatap lama. Rafael jarang memperlihatkan sisi seperti ini — sisi manusiawi yang lembut dan penuh perhatian. Begitu tiba di kamar utamanya yang luas dan mewah, Rafael menyingkap selimut di ranjang besar itu, lalu perlahan membaringkan Aruna di tengah. Gadis itu masih terlelap, napasnya lembut, bibirnya sedikit terbuka seolah sedang bermimpi tenang. Rafael menatapnya lama. Ada perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan — semacam rasa bersalah yang bercampur dengan sesuatu yang jauh lebih lembut… sesuatu yang membuat dadanya hangat dan berdebar dalam diam. Ia menelusuri wajah Aruna dengan pandangan mata, bukan tangan. Setiap helai rambut yang terurai di bantal, setiap lekuk wajahnya yang tampak rapuh… semuanya menumbuhkan perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. “Kau membuatku gila, Aruna…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Tanpa sadar, ia ikut berbaring di sampingnya masih berpakaian lengkap, hanya melepaskan jas dan senjata di meja. Ia memalingkan wajah ke arah gadis itu, membiarkan jarak kecil di antara mereka. Hening. Hanya suara napas Aruna yang terdengar di antara kesunyian malam itu. Rafael memejamkan mata, mencoba tidur, tapi pikirannya justru penuh dengan bayangan gadis itu. Ia teringat tatapan mata Aruna saat menolak, saat takut, dan juga saat diam, tatapan yang kini mulai menembus dinding keras hatinya. "Jika bukan karena hutang itu… mungkin aku takkan menahammu di sini,” bisiknya pelan. “Tapi sekarang… entah kenapa aku tak ingin kehilanganmu.” Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rafael tidak tidur karena beban perang atau dendam. Ia tidur di samping seseorang, dan untuk pertama kalinya pula, hatinya terasa tenang. --- Alexa berdiri di ujung koridor, tubuhnya tersembunyi di balik tiang besar marmer. Tatapan matanya tajam, menembus gelap. Ia melihat dengan jelas bagaimana Rafael menggendong Aruna, dengan lembut, penuh hati-hati, seolah gadis itu adalah sesuatu yang berharga. Pemandangan itu membuat d**a Alexa terasa sesak. Selama ini, hanya dia yang pernah berada di sisi Rafael. Hanya dia yang mengenal sisi dingin, buas, dan tanpa ampun dari pria itu. Namun malam ini, semuanya terasa berbeda. Rafael yang dilihatnya bukan lagi sang ketua mafia yang ditakuti, melainkan seorang pria yang mampu bersikap lembut. "Dia memperlakukan gadis itu… seperti sesuatu yang penting,” bisik Alexa dengan suara getir. Kuku panjangnya mencengkeram dinding hingga meninggalkan goresan samar. Matanya berkilat — bukan karena takut, tapi karena cemburu. Alexa tahu siapa Aruna. Gadis itu bukan siapa-siapa. Hanya tebusan dari keluarga yang berhutang. Namun entah kenapa, Aruna mampu menembus tembok yang selama ini tak seorang pun bisa tembus: hati Rafael. Alexa menatap sampai Rafael menghilang ke dalam kamar utamanya. Hening, tapi matanya menyala dingin. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum sinis. “Kau pikir kau bisa merebut tempatku, gadis kecil?” ucapnya pelan, senyum tipis menghiasi bibir merahnya. “Aku sudah lama berada di sisinya. Aku tahu semua kelemahannya. Dan aku akan pastikan kau tak bertahan lama di mansion ini.” Langkah Alexa perlahan menjauh dari koridor, tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer menghasilkan bunyi tajam yang memantul di dinding. Dalam bayangan panjang yang mengikuti langkahnya, tampak jelas: kebencian mulai tumbuh. --- Cahaya pagi menembus tirai kamar Rafael, menimpa wajah Aruna yang masih terbaring lemah di ranjang mewah itu. Ia membuka mata perlahan, keningnya berkerut begitu menyadari tempat ia berada. Ranjang empuk, aroma wangi kayu mahal, dan ruangan yang begitu luas… semua terasa asing. "Dimana Aku?"Aruna meringis memegang bagian bawah perutnya, yang masih terasa sakit akibat rudapaksa yang dilakukan Rafael. Aruna terbelalak saat melihat sosok laki-laki bertubuh kekar bertelanj**g d**a, yang terkenal kejam ada di sampingnya. "Hahhhh...T-tuan Rafael," Aruna buru-buru bangkit, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Saat itulah pintu kamar terbuka. Seorang pelayan masuk membawa nampan sarapan, disusul oleh langkah berirama sepatu hak tinggi. "Nona... ini sarapannya, silahkan!"Dora berjalan perlahan agar Rafael tidak terbangun. "Nona...mari kami bantu membersihkan diri,"ujar “Selamat pagi…” suara itu lembut, tapi menyimpan nada licin. Aruna menoleh. Alexa berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun hitam ketat yang elegan. Senyumnya indah, tapi matanya tajam seperti belati. “Aku dengar kau semalam pingsan. Kasihan sekali,” ujar Alexa, menatap Aruna dari atas ke bawah. “Rafael benar-benar perhatian, ya. Sampai-sampai membiarkanmu tidur di kamarnya.” Aruna hanya diam, menunduk. Ia tak tahu harus menjawab apa. Sikap Alexa terasa terlalu ramah, ramah yang beracun. Alexa melangkah masuk, mendekat hingga jaraknya hanya sejengkal. Tangannya yang berlapis cincin mahal menelusuri tepi meja, sebelum ia mencondongkan tubuh sedikit. "Kau tahu,” bisiknya lirih, “banyak wanita yang ingin berada di sini, tapi tidak semua bisa bertahan. Rafael bukan pria yang bisa kau jinakkan dengan air mata atau kesabaran. Jangan terlalu berharap banyak, sayang.” Nada “sayang” yang keluar dari bibir Alexa terdengar seperti racun manis. Ia lalu tersenyum, membalik badan, dan melangkah anggun ke luar kamar. Aroma parfumnya tertinggal di udara, tajam, menusuk. Aruna menatap kepergiannya dalam diam. Hatinya gelisah, tapi juga takut. Ia tahu, di mansion ini, tak semua senyum berarti baik. Sementara itu di ruang bawah, Rafael sedang berbicara dengan asisten kepercayaannya, membahas serangan balik pada klan musuh. Namun pikirannya sesekali melayang… ke kamar atas, tempat gadis tebusannya masih beristirahat. Ia sendiri tidak mengerti kenapa bayangan wajah Aruna terus mengganggunya. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN