Malam itu, mansion Rafael tampak sunyi dan dijaga ketat, tapi tanpa disadari ada satu sosok yang berkhianat di antara mereka.
Marco, salah satu pengawal yang sudah lama bekerja di bawah Rafael, diam-diam mengangkat ponselnya dan mengirim pesan pendek:
“Rafael punya kelemahan. Gadis bernama Aruna ada di mansionnya.”
Tak lama setelah pesan terkirim, beberapa mobil tanpa plat berhenti jauh di luar pagar. Para lelaki bersenjata keluar, berpakaian hitam pekat, mata mereka tajam, mereka adalah orang-orang suruhan klan Gervano, sisa kelompok yang tak terima kekalahan di pelabuhan.
---
Di dalam mansion, Aruna sedang menyiapkan teh untuk Rafael yang belum pulang. Ia tak tahu bahaya sudah mengintai dari kejauhan.
Saat ia hendak naik ke kamarnya, suara kaca pecah terdengar dari arah dapur belakang.
Kraakkk!
Aruna tersentak, cangkir di tangannya jatuh dan pecah di lantai. Ia menahan napas, menatap ke arah suara itu.
“Siapa di sana…?” tanyanya pelan, tapi tak ada jawaban.
Tiba-tiba suara langkah kaki berat terdengar mendekat.
Aruna mundur perlahan, matanya menatap pintu yang mulai didobrak.
BRAKK!
Tiga orang bertopeng masuk dengan senjata terarah. “Mana Rafael!” bentak salah satunya.
Aruna terpaku, tubuhnya gemetar. “Dia… dia tidak ada di sini…”
“Bohong!” Lelaki itu menamparnya keras hingga tubuhnya terjatuh ke lantai. Aruna meringis, darah keluar dari sudut bibirnya.
Mereka menyeretnya kasar ke ruang tamu. Salah satu membuka ponselnya — menunjukkan foto Aruna yang diambil diam-diam oleh Marco dari kamera keamanan.
“Kau gadis itu, ya? Aruna.”
Aruna menatap mereka dengan mata ketakutan. “Tolong… aku tidak tahu apa-apa…”
Namun salah satu dari mereka menodongkan pistol ke kepalanya.
“Kau tahu apa yang dilakukan Rafael pada keluarga kami? Sekarang, giliran dia merasakan sakit yang sama.”
---
Sementara itu, di jalan tol menuju mansion, Rafael sedang dalam perjalanan pulang bersama Darren.
Ponselnya bergetar — panggilan dari sistem keamanan mansion.
Namun sebelum sempat dijawab, suara alarm otomatis terdengar dari mobil.
> “Boss! Ada pelanggaran di sektor timur mansion!” teriak Darren panik.
Wajah Rafael langsung berubah tegang. Ia memukul dashboard keras-keras.
"Dan...Marco menyandera Aruna."Darren merendahkan suaranya.
“Sial! Aruna!”
Mobil melaju kencang, hampir menabrak pembatas jalan. Rafael menggertakkan giginya, matanya tajam penuh amarah.
"Kalau mereka menyentuhnya sedikit saja…” gumamnya dengan nada bergetar, “aku akan pastikan mereka tak bernapas lagi.”
---
Sementara itu, di dalam mansion, Aruna berusaha melepaskan diri dari genggaman para penyerang.
Salah satu dari mereka menyalakan kamera ponsel, hendak merekamnya untuk mengirim ke Rafael sebagai ancaman.
Namun tiba-tiba lampu mansion padam.
Semua orang terdiam.
Hanya terdengar suara langkah kaki berat dari arah pintu depan.
Pintu terbuka perlahan — dan di ambang pintu berdiri Rafael, dengan tatapan membunuh, wajahnya dingin tanpa ekspresi.
“Lepaskan dia… atau kalian semua mati malam ini.”
Suara itu rendah, pelan, tapi membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.
Penyerang menoleh, tapi sebelum sempat bereaksi " dor! dor!"
Dua tembakan cepat terdengar. Dua orang jatuh seketika.
"Rafael Adrianno, kau tidak bisa melawan, karena kelemahanmu ada ditanganku!"Marco nampak menodongkan pistol ke arah Aruna.
Yang terakhir mencoba menodongkan senjata ke Aruna, tapi Rafael melangkah cepat, menendang keras senjata itu hingga terpental, lalu meninju wajah pria itu berkali-kali sampai darah mengucur deras.
“Kau berani menyentuhnya…” Rafael mendesis lirih, napasnya berat, “kau bahkan tak pantas mati dengan cepat.”
"Kenapa tidak, bagiku cara apapun akan kulakukan demi bisa membalas kekalahanku!"Marco nampak menarik sudut bibirnya.
"Kau pikir ...gadis itu sangat berharag bagiku?Kau...terlalu naif Marco, ingin mengalahkanku melalui gadis belia dan polos seperti dia?"Rafael tertawa kecil. Tanpa sadar kata-kata itu, menusuk hati seorang gadis bernama Aruna.
"Jadi...memang benar, aku hanya bagian dari permainannya saja?Sudah kuduga, dan aku...terlalu bodoh untuk berharap padanya,"ujar Aruna dalam batinnya.
Rafael tak mau menatap mata Aruna saat berkata-kata. Mata Aruna berkaca-kaca, dan hanya menundukkan kepalanya.
"Nona...kau demgar itu?Kau...hanya dijadikan alat pemuas hasratnya saja, bahkan dia..tak sudi menyelamatkanmu. Baik kalau begitu, aku akan menyerahkannya pada anak buahku!Tapi...dia sangat cantik dan juga sangat muda, sepertinya...masih ranum."Marco sambil tersenyum smirk.
Mendengar hal itu Aruna gemetar, dia sangat ketakutan dan memohon agar dilepaskan. "Tuan...kasihani aku, tolong lepaskan aku tuan.."
Rafael pun mengetatkan rahangnya, tangannya mengepal saat mendengar ucapan Marco menghina Aruna. Darahnya mendidih, tubuhnya memanas, seolah siap membakar ruangan gudang itu.
"Hei... tak perlu memohon manis...Aku akan memperlakukanmu dengan baik, jadi...kau tak perlu lagi menjadi b***k nafsu mafia kejam itu,"ujar Marco.
"Kurang ajar..."Suara dalam batin Rafael.
"Marco...lepaskan dia, kita bertarung secara gentle, gadis itu...belum berpengalaman, bahkan dia sangat bodoh, kau takkan menyukainya."Rafael dengan suara menggema.
"Ha ha ha...Aku suka gadis polos,ehmm...Sangat menarik."Marco tertawa lepas.
"Darren, aku hitung sampai tiga, dan kau mulai menyerang," bisik Rafael.
"Baiklah,"jawab Darren.
"Marco... Aku tak perlu buang tenaga melawan mu, jika kau mau ambil gadis itu, ambillah, aku juga mau bersenang-senang."Rafael berbalik dan melangkah meninggalkan Marco dan Aruna dengan senjatanya.
"Baiklah, ayo nona ....kita pergi, aku sudah tak sabar ingin bersenang-senang denganmu."Marco mengangkat tubuh mungil Aruna .
Sementara Aruna menjerit,dan memberontak agar bisa lepas.
“Rafael! Mereka membawa gadis itu! Kenapa kau tidak memerintahkan anak buahmu untuk menahan mereka!?” teriaknya.
Namun Rafael hanya menatap ke bawah dengan mata tajam dan tenang.
“Biarkan mereka pergi.”
Alexa terkejut. “Apa kau gila!? Itu musuhmu! Mereka akan membunuhnya!”
Rafael membalikkan tubuhnya perlahan, tatapannya menusuk.
“Dan justru karena itu… mereka akan berpikir aku tak peduli padanya.”
Alexa terdiam. Ia tak mengerti arah pikirannya.
Rafael menatap ke luar jendela lagi, suaranya dalam dan datar.
“Marco sudah lama menunggu celah untuk menantangku. Dia kira menculik Aruna akan membuatku panik. Tapi aku akan biarkan dia berpikir menang dulu.”
Ia menatap jam tangannya, lalu memanggil asisten kepercayaannya, Lorenzo.
“Siapkan tim pengintai. Jangan lakukan serangan apa pun sebelum aku memberi perintah. Kita biarkan Marco merasa aman. Setelah dia percaya bahwa aku tak peduli pada gadis itu…” Rafael menghela napas pelan, lalu menatap ke kejauhan “baru kita ambil kembali segalanya, termasuk dia.”
Alexa hanya bisa terdiam, menatap wajah Rafael yang dingin namun menyimpan sesuatu di balik pandangannya: kecemasan yang ia sembunyikan rapat-rapat.
Ruangan itu gelap dan lembab. Bau besi karat bercampur dengan aroma darah yang belum kering memenuhi udara.
Aruna duduk di lantai dingin dengan tangan terikat, tubuhnya bergetar karena dingin dan ketakutan.
Pintu besi di depannya terkunci rapat, hanya menyisakan celah kecil yang menembuskan cahaya.
Sejak ia diseret dari mansion Rafael, pikirannya tak pernah berhenti berputar.
Bayangan pria itu tatapannya yang dingin dari balkon, tubuhnya yang tegap tapi tak bergeming ketika ia dibawa pergi — terus menghantui pikirannya.
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
“Rafael…” bisiknya lirih, suaranya pecah.
“Apa aku memang tak berarti apa-apa bagimu?”
Ia memejamkan mata, menahan sesak di dadanya.
Selama ini ia sudah berusaha keras untuk tidak membenci pria itu meski Rafael kasar, meski ia hanya dianggap tebusan. Tapi di balik semua itu, Aruna pernah melihat secercah kebaikan… entah saat Rafael menggendongnya, atau saat pria itu menatapnya dengan pandangan yang tak bisa ia pahami.
Namun kini semuanya terasa palsu.
Yang tersisa hanya perasaan hancur — perasaan ditinggalkan tanpa arti.
“Aku bodoh,” ucapnya pelan. “Bodoh karena sempat berpikir kau punya hati.”
Tangisnya makin keras. Ia memeluk lututnya, bersandar di dinding dingin.
Setiap tetes air mata jatuh dengan suara lirih di lantai batu.
Di luar ruangan, dua anak buah Marco sedang berjaga. Mereka mendengar tangis itu tapi hanya saling melirik dan tertawa sinis.
“Kasihan, ya? Si boneka Rafael sekarang milik bos kita,” salah satunya berucap sambil menyalakan rokok.
“Bos bilang jangan sakiti dia dulu. Katanya kita tunggu perintah.”
Sementara itu, di tempat lain, di mobil hitam yang melaju di jalan sunyi, Rafael duduk di kursi belakang dengan wajah tegang.
Lorenzo menatapnya lewat kaca spion.
“Bos, kau yakin dia baik-baik saja?”
Rafael terdiam lama, lalu menjawab pelan, “Tidak. Tapi aku akan pastikan dia akan selamat.”
Tatapannya menajam, suara dinginnya kini disertai nada yang berbeda. rasa peduli yang tak lagi bisa ia sembunyikan.
"Siapkan gadis itu, aku ingin....bersenang-senang dengannya malam ini."Suara bariton milik Marco terdengar.