Chapter 7

1490 Kata
Langkah Aruna terdengar tergesa melewati lorong panjang yang remang. Ia berusaha menahan tangis selama masih dalam jangkauan pandangan para pelayan lain. Tapi begitu pintu dapur tertutup di belakangnya, semua pertahanannya runtuh. Ia bersandar di dinding dingin, menekan d**a yang terasa sesak. Air matanya mengalir tanpa suara, bercampur dengan sisa noda wine di bajunya. “Ma… aku capek,” bisiknya lirih. Tangannya gemetar saat mencoba mencuci kain yang terkena tumpahan tadi. Tapi semakin ia menggosok, semakin deras air matanya jatuh. Bayangan ibunya muncul di kepala — wajah lembut yang selalu menatapnya dengan kasih, sebelum segalanya berubah. Dulu, rumah mereka kecil tapi hangat. Ibunya selalu menyiapkan sarapan, sementara ayahnya, meski keras, selalu berjanji bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun utang besar yang menjerat keluarga mereka menghancurkan segalanya. Rafael De Alvaro — nama yang dulu hanya ia dengar dari cerita orang-orang. Pria yang kini menjadi tuannya, dan tempat di mana hidupnya terikat tanpa pilihan. "Kalau saja Ayah tidak berhutang... aku pasti masih di rumah, bersama Ibu,” gumamnya parau. Air mata menetes ke dalam air cucian, mengabur bersama busa sabun. Ia mengusapnya cepat, takut ketahuan. Namun tidak ada yang bisa ia sembunyikan dari matanya sendiri — rasa kehilangan, rasa terhina, dan kerinduan yang menyesakkan d**a. Di luar, hujan kembali turun. Suaranya menenangkan sekaligus menyakitkan, seolah langit pun menangis bersamanya. Aruna menatap ke arah jendela dapur yang buram, bibirnya bergetar. “Ibu… doakan Aruna kuat, ya. Aku akan bertahan. Aku harus bertahan.” Dalam keheningan itu, pintu dapur berderit pelan. Langkah berat seseorang terdengar masuk — langkah yang sudah mulai ia kenal dari iramanya. Rafael berdiri di ambang pintu, menatap sosok Aruna yang membelakanginya, bahunya bergetar menahan tangis. Ia tidak berkata apa pun. Hanya berdiri diam, melihat gadis itu menunduk dalam, seperti bayangan yang terlalu rapuh untuk disentuh. Untuk pertama kalinya, Rafael merasa ingin bicara — tapi bibirnya kelu. Sebab bagaimana mungkin seorang pria yang dikenal tanpa hati, mengucap kata penghiburan untuk gadis yang seharusnya hanya menjadi tebusan? Rafael berdiri diam di ambang pintu dapur yang remang, menatap dari kejauhan. Di hadapannya, Aruna terlihat kecil dan rapuh. Bahunya berguncang, tangannya menggenggam kain basah, dan suara isak tertahan sesekali lolos di antara desah napasnya. Sebuah perasaan asing menggelitik d**a Rafael — sesuatu yang tidak ia sukai. Rasa iba? Tidak mungkin. Ia tidak punya ruang untuk kelembutan seperti itu. Ia memalingkan wajah sejenak, meneguk sisa wine di gelas yang masih ia bawa. “Dia hanya tebusan,” batinnya. “Bukan urusanku kalau dia menangis.” Namun matanya kembali ke arah Aruna — seolah tubuhnya menolak perintah pikirannya. Ia melihat gadis itu menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha berdiri tegak lagi. Tatapannya yang muram namun tegar itu membuat d**a Rafael terasa sesak tanpa alasan. Ia ingin menghampiri, sekadar berkata, “Berhenti menangis, kau tidak salah.” Tapi lidahnya kelu. Ego dan harga diri yang menumpuk bertahun-tahun menahannya untuk bergerak. “Jika aku mendekat, aku akan tampak lemah,” pikirnya getir. “Dan aku bukan pria lemah.” Ia menarik napas panjang, menatap Aruna sekali lagi. Dalam tatapan itu, ada sesuatu yang tak ingin ia akui — kekaguman pada keteguhan gadis itu, juga rasa bersalah yang mulai tumbuh tanpa ia sadari. Rafael kemudian berbalik. Langkahnya berat, tapi ia memaksakan diri menjauh, meninggalkan suara hujan yang kini bersatu dengan isak lirih Aruna di dalam dapur. Pintu koridor tertutup di belakangnya, namun gema tangisan itu tetap menggema di kepala Rafael. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seorang mafia yang tak kenal belas kasihan itu tidak bisa tidur nyenyak malam itu. "Apa yang aku pikirkan, jelas-jelas dia hanya gadis tawanan sebagai penebus hutang, tapi ... kenapa malah aku peduli padanya."Rafael meracau dalam batinnya."Bukankah dia...harus membayar hutang ayahnya?Untuk itulah dia disini, dan seperti biasa, aku akan meminta dia untuk membayarnya!" Muncul pikiran licik dari Rafael, dimana keinginan untuk menaklukkan Aruna dan ingin menjadikan Aruna sebagai tebusan hutang. "Dora...panggil gadis itu dan siapkan dia malam ini." "B-baik tuan."Dora menjawab sambil menunduk dan pergi. "Bagaimana ini, apa yang harus aku katakan pada Aruna?Tapi Tuan akan membunuhku jika sampai aku tidak bisa membujuk Aruna."Sepanjang jalan Dora berbisik. Di ruang makan Aruna sedang mengelap meja makan untuk persiapan makan malam. Tiba-tiba Dora menyapanya,"Aruna, sudah cukup, malam ini, kamu harua ikut aku!" Aruna mengernyitkan keningnya. "Tapi...kemana?" "Malam ini adalah malam spesial untuk seluruh maid jadi kamu harus memakai riasan dan pakaian yang bagus,"ujar Dora. "Benarkah? Sudah lama rasanya aku tidak pakai gaun yang bagus dan riasan,"ujar Aruna. Aruna mandi seperti arahan Dora. Bahkan Dora juga membersihkan tubuh Aruna dengan bersih menggunakan wangi-wangian aroma khas bunga mawar. "Dora, apa ini?Aku merasa seperti calon pengantin, hi hi hi."Tanpa rasa curiga sedikit pun Aruna tersenyum. "Kamu memang pantas mendapatkannya, kamu sangat cantik, seperti bidadari Aruna,"ucap Dora. Setelah mandi Dora menyiapkan pakaian dress cantik berwarna merah dan riasan yang natural namun lipstik yang merah menggoda. Nampak kecantikan Aruna terpancar. Wow...kamu sangat cantik Aruna."puji Dora. "Mari, ikut aku." "Tapi kemana?" "Sudahlah Aruna, ikut saja,.jima tidak, nyawaku taruhannya,"ujar Dora. "Dora....apa maksudmu?"Aruna menggeleng sambil berkaca-kaca. Dituntun Dora Aruna melangkah, suara sepatunya menggema. Sementara Rafael dengan memakai kimononya sehabis mandi, dengan rambut yang sedikit basah, nampak menikmati wine di gelas crystal yang ada di tangannya. Rafael tengah melakukan panggilan seluler. "Habisi semua yang menghalangi jalanku, tidak ada ampun."Suara itu terdengar oleh Aruna dan Aruna nampak gemetar. "Tuan... saya membawa nona Aruna." "Heummm kau boleh pergi."Hanya menjawab singkat dan akhirnya dia mengibaskan tangannya. "Dora....jangan pergi, kumohon ...Dora...Dora.."Namun Dora tetap pergi. "Kau ...sangat cantik, seperti layaknya seorang princess."Puji Rafael. "Kamu... sangat jahat, laki-laki jahat, kejam, jangan sekali-kali dekati aku."Aruna mendengus marah. "Ha ha ha, kau sangat berani nona, bahkan lebih berani dari para musuhku." "Apa maumu Tuan." "Aku... meminta bayaran atas hutang ayahmu!" "Aku akan bekerja, untuk melunasinya." "Ha ha ha... kau sangat naif nona... sampai kapan hahh," " Aku akan bekerja tuan." "Aku mau dirimu, kau harus melayaniku sampai aku bosan denganmu,"ujar Rafael dengan berbisik namun menekan. "Plakkkkk."Aruna menampar sang ketua mafia kejam itu. "Berani sekali kau... menamparku!" Rafael menarik pinggang Aruna hingga jarak mereka sangat dekat. Hanya beberapa inchi saja. Rafael meraup bibir Aruna dengan kasar. Melumat, menarik dan mengakses seluruh bagian mulut Aruna. "Lepaskan...ehmmmmpt." "Baiklah, aku akan gunakan cara lain." Rafael mengambil remot dan akhirnya terlihat dilayar tv yang besar gambar sang Ayah dan ibunya dirumah mereka sedang dikelilingi anak buah Rafael. "Aku tinggal menekan ponselku, maka ayahmu akan mati."Dengan suara pelan namun menekan. "Apa yang mau kau lakukan pada ayah dan ibuku." Rafael duduk di kursi kerjanya, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Di meja di depannya, sebuah laptop terbuka layar menampilkan rekaman video yang membuat jantung Aruna hampir berhenti berdetak. Rafael mengangkat pandangannya perlahan, menatap tajam ke arah gadis itu. “Aku belum melakukan apa pun,” ucapnya datar. “Dan semoga tidak perlu.” Aruna menatap layar itu dengan mata membesar. Ia berusaha maju, tapi Rafael segera menutup laptopnya dengan satu hentakan keras. Suara dentuman itu membuat Aruna tersentak. “Kau tidak akan menyentuh mereka,” ujar Rafael dengan nada yang tenang namun berbahaya. “Selama kau… menuruti apa yang aku katakan.” Aruna menatapnya dengan campuran takut dan marah. “Kau... kau tidak punya hati,” bisiknya dengan suara bergetar. Sudut bibir Rafael terangkat sedikit, senyum dingin tanpa rasa. “Aku tidak butuh hati untuk memimpin dunia seperti ini, Aruna. Aku hanya butuh kendali. Dan sekarang, kau adalah salah satu bagiannya.” Air mata mengalir di pipi Aruna, namun ia menggigit bibir, menahan tangis agar tidak terdengar. Ia tahu melawan berarti menghancurkan keluarganya sendiri. “Baik,” akhirnya Aruna berbisik. “Aku akan lakukan apa pun yang kau mau. Asal jangan sakiti mereka.” Rafael menatapnya lama , lama sekali, hingga tatapan itu terasa menusuk jantung. Namun di balik sorot dingin matanya, ada sesuatu yang bergetar halus… sesuatu yang bahkan Rafael sendiri tidak mengerti. "Semarang, apa yang akan kau lakukan untuk menyelamatkan ayah dan ibumu heumm?" Dengan gemetar Aruna berjalan menuju Rafael. Dia mendekat dengan kaku ,dan tiba-tiba dia teringat apa yang Alexa lakukan. Dia duduk di pangkuan Rafael layaknya gadis kecil. "A-aku... siap...hiks hiks hiks, melakukan apapun yang anda mau tuan." "Kau....sangat menggemaskan Aruna. Sekarang cium aku,"Rafael mengangkat kedua alisnya. Aruna mengangguk, dan mencium pipi Rafael. "Bukan di sini, tapi ini!" Rafael menunjuk bibirnya. Perlahan Aruna mendekatkan bibirnya ke arah Rafael. Dan dengan gaya kakunya pertama kali di mencium seorang laki-laki. "Cup." Rafael menyambut bibir Aruna dan meraupnya. Bahkan Dalam posisi itu Rafael menggendong Aruna seperti bayi koala. Menuju Ranjangnya yang besar dan empuk. "Kau... mau apa?"Aruna nampak panik. "Diam lah, kau hanya perlu melakukan tugasmu." Aruna nampak dibawah kekuasaan Rafael. Dengan cepat Rafael melepaskan dress Aruna dan melemparnya ke segala arah. Aruna nampak pasrah dibawah ancaman Rafael. Dia perlahan menanggalkan semua pakaian Aruna. " Wow kau sangat indah Aruna." Rafael mulai menyusuri setiap inchi bagian tubuh Aruna. Hingga Aruna tanpa sadar menangis dan tak lama.suara yang dia tahan pun keluar tanpa sadar. "Aku tahu, kau pun menikmatinya."bisik Rafael. "Arrrrrgh, sakiiit."Teriak kesakitan Aruna. Dia memulai aksinya. Dan sempat kesulitan karena ini pertama kali bagi Aruna. "Ternyata...dia masih virgin?"Rafael dalam batinnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN