1. —Breaking News
Breaking News! Rima Nanda Meninggal Dunia
…
Buntut Dari Perselisihan Dengan Rima Nanda, Zanari Mirah Diperiksa Polisi
…
Konser Tunggal Zanari Mirah Diundur. Ratu Galau Kini Sibuk Pulang Pergi Polda
…
Braja Krisna : Saya Bersalah Sudah Membiarkan Rima Meminum Obat Tidur
…
Braja Krisna Didakwa dengan Hukuman Empat tahun Penjara
--
“Maaf, Kak Zana, tapi kami tidak diperkenankan menerima anda di sini,” ucap gadis berseragam salon dengan nada menyesal yang terdengar sungguh-sungguh.
“Siapa yang nyuruh?”
Gadis yang memakai celana panjang putih, crop top pink fuschia, yang ditambah jaket pink itu membuka masker yang sejak tadi dipakainya. Topi putihnya tetap dipakai di atas rambut panjang dengan ikal-ikal cantik di ujung-ujungnya itu. Tangan kanannya kini menurunkan kacamata hitamnya.
Wajah cantik itu sudah pasti dikenal banyak orang. Wajah dari pemilik nama Zanari Syamirah Hadar itu memakai sapuan tipis make up menunjukan wajah kesalnya. Mata cokelat yang menyorot penuh tanda tanya, bibir yang terkatup, dengan pipi menggembung menahan kesal.
Jika saja ini tempat pertama yang menolaknya, ia mungkin akan sedikit berbasa-basi dan bertanya dengan lebih sopan. Seperti di salon nail art dan salon spa yang didatanginya tadi. Tapi salon ini adalah tempat ketiga yang menolaknya. Ia ditolak juga oleh kedua tempat itu.
Jadi, saat staf salon yang biasanya menyapanya dengan ramah setiap kali ia datang ini juga menolaknya, Zana merasa sudah diperlakukan dengan tidak adil.
Gadis berseragam staf salon itu hanya menunduk pelan dengan tangan saling menangkup, “Kami juga mendapat perintah dari atas, Kak Zana. Maaf,” jawabnya.
“Braja? Tiara? Atau Pak Hikam?” tanya Zana membawa nama pemilik agensinya.
Siapa lagi selain orang-orang berkuasa seperti itu yang bisa memerintah sampai ke tempat-tempat seperti ini? Braja Krisna dengan kuasanya, Tiara Berlian dengan kekuatan viralnya, dan Pak Hikam yang bisa saja membuat Zana diblacklist dari setiap tempat yang sudah bekerja sama dengannya.
Hal ini mudah bagi mereka.
“Kak Zana juga ngerti kami gak mungkin tau hal-hal seperti itu, kan?” gadis itu memutar balikan pertanyaan.
Seringai di sudut bibir Zana tercetak tanpa kendali. Ia mencebik kesal lalu berbalik tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Sudah ada beberapa orang yang berdiri memandanginya. Ia melirik ke kiri dan kanannya sebelum kembali menurunkan topi untuk menutupi wajahnya. Tangan kanannya naik untuk kembali memakai kacamata hitamnya lalu lanjut memakai masker.
Sungguh memalukan sekali harus berada di situasi seperti ini. Sendirian pula. Regan -managernya bahkan tidak bisa menemaninya kemana-mana sekarang. Zana harus pergi sendiri dengan kenyataan seperti ini.
Menyedihkan sekali!
“Kak Zana?”
“Eh, bener! Ini Zanari!”
“Hei, ada Zanari Mirah di sini!”
“Zanari? Yang bikin Rima Nanda meninggal?”
“Iyuh, gatau malu banget masih bisa berkeliaran di muka umum!”
Zana mengabaikan seruan-seruan di sekitarya. Ia merapatkan jaket dan menurunkan topinya semakin turun. Berusaha tidak menampilkan wajahnya. Ia berjalan dengan cepat, membuat chanel backpack di punggungnya terhentak-hentak. Tapi mall yang tadi terasa lengang sekarang seperti penuh sesak.
“Permisi,” ucapnya pelan menyeruak di antara ponsel-ponsel yang terarah kepadanya. Merekam setiap gerakannya.
Dorongan orang yang tiap saat terasa semakin banyak itu tidak bisa ia halau sendirian. Zana mulai panik. Biasanya ia akan dijaga oleh timnya. Oleh Regan, Tio, dan juga beberapa orang pengawal. Ini kali pertama ia menghadapi kerumunan sendirian. Ia tidak bisa bergerak.
Lalu dorongan dari depan membuatnya terhuyung ke belakang.
“Oh!” pekiknya kaget.
Tapi ia tidak jatuh, tidak terasa sakit, juga tidak merasa menabrak lantai. Alih-alih lantai keras, ia mendarat pada uluran lengan. Dengan tangan yang menahannya dan melingkari pinggangnya dengan erat.
Mata Zana terbelalak melihat siapa yang berada di depannya itu. Tatapan mereka bertemu, sekuatnya ia menyembunyikan riak dalam hatinya.
Tatapan mata hitam itu membuat Zana terpaku. Jelas sekali Zana kaget. Dua kali. Ia hampir jatuh dan ditangkap lelaki asing.
Lelaki itu membantunya kembali berdiri dengan tegap. Setelah memastikan Zana berdiri tegak, ia bergerak melepaskan jasnya, memakaikannya di pundak Zana, lalu merangkulnya dengan penuh proteksi. Senyum mengembang di bibirnya, lalu menoleh pada Zana yang masih mematung menahan diri.
“Saya sudah bilang untuk tidak pergi sendiri, Sayang.”
Zana membelalak.
Kerumunan itu berhenti bersuara.
Ucapan lembut itu mengalun di telinga Zana. Suara yang cukup besar untuk terdengar oleh orang-orang dalam lingkaran itu. Ucapan yang membuat Zana ikut menoleh, mendongak untuk menatap lelaki yang tingginya hanya sampai di dagu lelaki di belakangnya.
Matanya memindai wajah asing tidak asing di sampingnya. Wajahnya tidak ada yang aneh. Tapi ucapannya tidak masuk akal.
Bibir Zana bungkam sementara kepalanya mengumpat. Sinting!
Tapi senyum lelaki itu semakin lebar.
“Ayo,” katanya lembut.
Zana mengerjap belum sepenuhnya kembali dari rasa kagetnya. Tangan kiri lelaki itu yang berada di pundaknya mengerat, menggiringnya membelah masa. Menurunkan topi yang Zana pakai dengan tangan kanannya, lalu menutup melindungi Zana. Menepis beberapa tangan yang mencoba meraih Zana.
Langkahnya terbawa begitu saja.
Kemunculan beberapa orang satpam yang ikut mengamankan juga membuat Zana lebih terlindungi. Ia bisa berjalan lebih leluasa. Meski sambil menunduk. Kemudian sesampainya di lift, kerumunan itu berhenti.
Zana mendengar suara lelaki itu mengucapkan terima kasih pada para satpam yang sudah mengawal mereka sampai ke lift.
Lelaki itu baru melepaskan pundaknya saat pintu lift tertutup.
“Ayo bicara,” ucap suara lelaki itu setelah melepaskan pundak Zana.
Menoleh pada lelaki yang sudah menolongnya itu, lelaki yang setelah berani memanggilnya sayang. Zana mengangguk. Setidaknya ia harus bersikap sopan dan mengucapkan terima kasih.
Tapi belum juga Zana mengucapkan terima kasih, lelaki itu sekarang berani meminta hal lain padanya. Ia tidak dibiarkan menarik napas.
“Kunci mobil,” lelaki itu mengulurkan telapak tangan di depan wajah Zana.
Mata mendelik Zana tertuju pada lelaki di sebelahnya, yang sudah mendudukannya di dalam Mercy G hitam milik lelaki itu. Setelah Zana kalah ngotot untuk naik mobilnya saja.
Tangan di depan wajah Zana bergerak meminta apa yang tadi diucapkannya.
“Modus kejahatan apa sih ini?” sinis Zana. Ia membuka kacamata dan maskernya, “Lo tau siapa gue, kan?”
Lelaki di sampingnya terkekeh sendiri, “Saya tau siapa kamu, Zanari Mirah. Ini bukan modus kejahatan, saya tidak akan mengambil mobil kamu.”
Mata Zana mendelik, ia menyimpan kacamata dan masker di pangkuannya, “Terus kenapa harus gue kasih kuncinya?”
“Karena saya yakin kamu tidak mau membiarkan mobil kamu menginap di sini,” jawab lelaki itu santai. “Atau harus repot bolak-balik untuk mengambilnya nanti.”
Si Sinting ini benar, batin Zana mengumpat.
Pipinya meggembung saat mulutnya manyun karena kesal. Kena lagi aja. Sekali lagi dibuat kalah oleh lelaki yang baru ditemuinya ini. Zana menarik Chanel backpack yang dipakainya, menggeledah isinya dan dengan enggan mengeluarkan kunci. Lalu menyerahkannya pada tangan yang masih terulur padanya.
Lelaki itu membuka jendela di samping kanannya, menyerahkan kunci pada seorang lelaki berkacamata yang sudah menunggu di luar.
“Siapa lo?”
“Penyelamat kamu, Sayang,” jawabnya lagi sambil kembali menutup jendela. Lalu mulai menyalakan mesin.
Zana merotasi bola mata. Sebal. Bikin jengkel banget sih!
“Siapa yang berani lo panggil sayang?” tanyanya dengan wajah jijik yang sengaja ia perlihatkan.
“Kamu,” jawabnya tak acuh.
Mobil sudah bergerak melewati mobil-mobil yang terparkir di parkiran itu.
“Gue tanya dari tadi lo siapa?” geremet Zana tidak sabar.
“Saya Brama,” katanya lalu melepaskan tangan kanan dari roda kemudi. Mengulurkannya pada Zana.
Zana mengenal nama itu. Tapi tidak menyangka akan bertemu seperti ini.
“Lo udah tau siapa gue,” jawab Zana tidak mengacuhkan tangan yang terulur padanya.
Sombongnya.
Brama menarik kembali tangannya, kembali mencengkeram roda kemudinya. “Hm, siapa juga yang tidak mengenal Zanari Mirah. Ratu Galau yang gagal konser.”
Zana merengut dengan ucapan itu. “Diundur. Bukan gagal.”
“Konser kamu gagal, Zanari. Kecuali kamu menyetujui apa yang saya tawarkan.”
Wajah sebal Zana kini berubah. Bukan kesal karena panggilan sayang atau salah ucap lelaki itu yang bilang konsernya gagal. Tapi karena sesuatu yang lain.
“Kamu juga pasti sudah mengenal saya,” Brama berkata lagi.
Ya. Itu memang benar. Itu sebabnya ia merasa tidak asing dengan wajahnya. Juga dengan namanya.
Tatapannya lurus ke depan saat mobil mulai keluar dari parkiran. HRV putihnya mengikuti di belakang. Tapi Zana tidak memedulikannya. Ia hanya mencoba menenangkan diri agar tidak terpancing ucapan lelaki yang mengemudikan mobil di sampingnya ini.
Ini kali pertama ia keluar dari apartemen. Tapi sialnya malah berakhir seperti ini. Berakhir dengan seorang yang pasti sudah mengincarnya sejak dua bulan lalu. Sejak namanya keluar sebagai salah satu saksi untuk kasus Rima Nanda.
Dan pertanyaan selanjutnya meluncur begitu saja dari bibir pink Zana.
“Apa lo juga akan bunuh gue kayak Braja bunuh Kak Rima?”
--