Langit senja mulai menyapa kota Roma, Italia, hari ini. Sean kini tengah duduk di atas sofa, sembari membaca laporan keuangan perusahaan Elias Grup, sembari menunggu Sera sadar. Sedangkan Frans, pria itu duduk di depan sebuah mikroskop fluorescence–mikroskop dengan tiga lensa–dengan setetes darah Sera sebagai objek pengamatannya.
“Tidak ada antigen RhD dari sistem rhesus pada sel darah merah milik Sera,” gumam Frans dengan mata yang terus menatap kagum pada bentuk sel darah merah di sana.
Sean yang mendengar gumaman tersebut seketika mengalihkan pandangan, lalu menatap pada temannya dengan dahi berkerut.
“Apa maksudmu?” tanya Sean.
“Untuk pertama kalinya, aku melihat sel darah merah manusia yang hanya memiliki antigen dari sistem A, B, O, dan tidak mempunyai antigen dari sistem rhesus. Ini sangat luar biasa,” sahut Frans.
“Apa yang sebenarnya dilakukan Claudia pada kadungannya saat itu?” tanya Sean.
“Dia meracik obat penguat kandungan yang sangat aman, demi menguatkan janin istimewa dalam rahimnya,” jawab Frans tanpa mengalihkan pandangannya dari lensa mikroskop.
Sean melirik sesaat pada gadis yang tengah terbaring tak sadarkan diri di atas brankar, lalu menghela napas dalam-dalam.
“Seravhina … Seravhina … Seravhina ….” Sean mengalihkan pandangannya pada Frans, dengan tatapan serius. “Apa Sera mengidap penyakit serius?” tanyanya.
Frans menggelengkan kepala. “Tidak! Dia gadis yang sangat sehat. Hanya saja, Sera tetap harus sangat berhati-hati, karena tidak menutup kemungkinan, penyakit seperti anemia hemolitik, bisa kapan saja menyerang tubuh Sera. Aku hanya ingin menyarankan pada gadis itu, untuk melakukan donor darah sebagai cadangan darah khusus untuknya sendiri, karena bagaimana pun juga, Sera akan cukup kesulitan mendapat pendonor, jika gadis ini mengalami kecelakaan, hingga membutuhkan transfusi darah,” jelas Frans.
Sean melirik pada sebuah benda berbentuk kotak, yang menempel pada dinding ruang pemulihan. “Apa aku menjadi seorang penjahat, jika aku berinisiatif untuk menyimpan cadangan darah untuk Sera? Kau bahkan tahu, yang sedang mengincar gadis ini adalah Axelo, seorang peneliti dan ahli farmasi.”
Frans mengikuti arah pandang temannya itu, lalu tersenyum.
“Blood Bank Refrigerator? Kau sangat pintar Sean!” ujar Frans dengan seulas senyum penuh arti di wajahnya.
“Aku pria cerdas, bukan pintar. Ideku selalu tak biasa, ingat itu!” ucap Sean meralat perkataan Frans.
“Hahahahaha … ya, kau cerdas, Tuan Elias,” sahut Frans sembari bangkit dari posisinya.
Pria bersneli itu itu berjalan menuju sebuah lemari sterilisasi, lalu mengeluarkan perlengkapan penyadapan darah, seperti: tensimeter, kantong darah, timbangan darah, klem, tang khusus, antiseptik, dan plaster.
Frans mendudukkan dirinya di atas kursi kecil, dan mulai melakukan proses demi proses untuk pengambilan darah melalui vena.
Sean bangkit dari posisinya, lalu berjalan mendekat. Pria tampan itu duduk di tepi brankar, menggenggam sebelah tangan Sera, kemudian membelai puncak kepala gadis itu.
“Aku sangat tertarik pada Seravhina,” gumamnya.
“Apa yang membuatmu tertarik?” tanya Frans tanpa menghentikan kegiatannya.
“Entahlah. Aku bahkah tidak mengerti, kenapa aku bisa tertarik pada gadis biasa seperti dia? Tubuhnya bahkan tak semenarik para wanita yang sudah aku tiduri,” jawab Sean terpesona.
Mendengar jawaban Sean, membuat Frans seketika mengalihkan pandangannya, lalu menggelengkan kepala. “Kau benar-benar seorang pemain wanita, Tuan Elias,” ucapnya.
“Apa aku harus berhenti bermain dengan wanita, demi gadis biasa ini?” tanya Sean sedikit ragu.
“Kau yakin?” tanya Frans.
Sean membelai wajah mulus Sera dengan sebelah tangannya. “Aku harap, gadis ini adalah wanita yang tepat untuk bersanding dengan pria berbahaya sepertiku,” gumam Sean.
Pria tampan itu merogoh saku dalam jas yang di kenakannya, lalu mengeluarkan sebuah kotak bening dengan sebuah supermini microchip di dalamnya. Ia masukkan benda sebesar setengah biji beras itu ke dalam sebuah suntikan khusus, kemudian menyuntikkannya ke dalam lengan Sera, tanpa meninggalkan bekas luka sedikit pun.
Selang beberapa detik, dari mini earpiece, terdengar suara bariton seorang pria dengan latar belakang bunyi ketikan keyboard yang sangat cepat.
“Kau benar-benar gila, Alien! Seharusnya kau mengatakan padaku terlebih dahulu, saat super mini microchip itu akan kau tanam dalam tubuh Sera, hingga aku bersiap dan tidak menimbulkan suara keras dalam ruang control markas besar!” gerutu Arthur di seberang jaringan pribadi.
“Aku akan menghentikan p********n mobil Eighty Automotive milikmu!” ancam Sean, ketika mendengar nama belakangnya dipelesetkan dengan kata alien.
“Dan aku akan meniduri wanitamu, Sean!” balas Arthur.
“Apa kau berani menyentuh sesuatu milikku?” tanya Sean.
“Tentu saja … tidak. Aku lebih menyayangi nyawaku dan koleksi mobil sportku,” sahut Arthur, membuat Sean dan Frans tertawa kecil.
“Frans, apa yang kau berikan pada wanitaku? Kenapa dia masih belum sadarkan diri?” tanya Sean.
Frans berdiri dari posisinya, dengan satu kantong penuh golden blood milik Sera di tangannya. Pria itu berjalan menghampiri mesin pendingin bank darah, memberi label barcode pada kantong tersebut, lalu memasukkan ke dalam mesin, dengan suhu yang sudah diatur sedemikian rupa dan memiliki sistem pelindung khusus, untuk mempertahankan setiap komponen dalam darah.
“Aku hanya memberinya sedikit obat tidur. Ketika kau membawanya ke sini, tekanan darah wanita ini cukup rendah. Sepertinya … beberapa hari ini, Sera tidak tidur dengan baik. Dia juga sangat kelelahan, dengan lingkaran hitam menghiasi sekeliling matanya.” Pria itu menatap jam yang melingkar di tangannya, kemudian melirik pada Sean. “Dia sudah tertidur selama hampir empat jam, seharusnya Sera sudah bangun sekarang,” lanjur Frans.
“Jika tekanan darahnya rendah, kenapa kau mengambil satu kantong penuh?” tanya Sean.
“Tekanan darah Sera sudah kembali normal sejak satu jam yang lalu. Aku juga sudah mengeceknya lagi, dan semuanya sudah kembali normal. Kau tak perlu khawatir, aku seorang Profesor Dokter dan selalu bekerja dengan teliti,” sahut pria bersneli itu.
Sean menganggukkan kepalanya, lalu kembali menatap pada Sera yang masih nampak tenang di atas brankarnya.
Hingga tak begitu lama, bola matanya terlihat mulai bergerak, diikuti kelopak mata yang perlahan-lahan terbuka. Gadis itu terdiam sesaat, memfokuskan pandangannya pada langit-langit putih, sembari mengerjapkan mata berulang kali.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Sean pada Sera.
“Apa gadis itu sudah sadar?” tanya Frans. Pria yang sedang mengisi berkas laporan darah, pada sebuah ipad, segera berjalan menghampiri brankar gadis itu. Frans mulai memeriksa keadaannya menggunakan stetoskop, lalu mengecek pergerakan pupil matanya dengan sebuah senter kecil.
Pria bersneli itu menghela napas lega, lalu tersenyum. “Gadis ini baik-baik saja,” ucapnya.
“Siapa kalian?” Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Sera, seketika membuat Sean dan Frans saling melempar tatap.
“Sepertinya … kau melupakanku, Nona,” sahut Sean.
Gadis itu mencoba bangkit dari posisi berbaringnya dengan perlahan-lahan. Sesekali Sera meringis kesakitan, sembari memegangi sisi kepala kanannya yang tertutupi perban dan plester.
Sean tak tinggal diam, pria itu segera menekan tombol di sampingnya, hingga bagian atas brankar mulai bergerak naik. Sean pun membantu Sera untuk duduk bersandar pada bantalan, lalu menarik selimut hingga menutupi setengah bagian tubuhnya.
Gadis cantik dengan wajah pucat itu, menatap pada Sean dengan dahi berkerut. Ia mencoba mengingat-ingat, wajah pria tampan di hadapannya yang nampak tidak asing baginya.
“Apa kita pernah … ah, Tuan penyelamat?” tanya Sera.
Sean seketika mengangkat sebelah sudut bibirnya, lalu menganggukkan kepalanya.
“Ya … dan kau, gadis lima ratus ribu dollarku,” sahut Sean setengah berbisik.
***