Deviation CEO Bagian Lima

1237 Kata
“Sera, bisa kau temui Tuan Meiyer Marthin di The Rocksy?” Suara bariton dari pria itu, seketika mengalihkan perhatian Sera yang tengah menyajikan segelas kopi untuk seorang pelanggan yang tengah berdiri menanti pesanannya. Sera menoleh sesaat pada pria bertubuh besar itu, lalu kembali tersenyum saat ia memberikan gelas kopi tersebut pada pelanggannya. “Terima kasih, silahkan berkunjung kembali,” ujar Sera dengan ramah. Setelah pelanggan itu pergi, Sera kembali merapikan seluruh benda yang baru saja ia pakai, kemudian membersihkan meja kecil di hadapannya, dari sisa-sisa kopi yang baru saja ia buat. “Aku sedang bekerja!” jawab gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya. Pria yang terlihat sangat kesal karena diacuhkan itu, seketika menarik paksa lengan Sera, hingga wanita itu mengaduh cukup keras. “Jeremy! Apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganku!” ujar Sera dengan mata membulat sempurna. Beberapa pengunjung yang sedang menikmati secangkir kopi di meja mereka, nampak mengalihkan perhatiannya, dan menatap pada Sera. Jeremy yang menyadari tatapan menyelidik dari para pengunjung, mendengkus sebal, lalu menarik lengan mantan kekasihnya itu, dan membawanya keluar dari cafe. Pria bertubuh besar itu mendorong tubuh kecil Sera hingga tersungkur jatuh, dalam sebuah gang buntu, kemudian menginjak mata kaki Sera cukup keras. “Ah … Jeremy, apa kau sudah gila? Sakit sekali.” Lirihnya, gadis itu memejamkan mata, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menjalar, ketika Jeremy menginjak lebih keras. “Apa menuruti permintaanku sangat sulit, Sera? Kau hanya perlu menemani minum Tuan Meiyer Marthin di The Rocksy, mengambil uang yang aku perlukan, lalu pergi dari sana! Hanya itu saja, Sera. Apa kau tidak bisa membantuku? Aku sudah membiayai biaya perawatan ibumu selama wanita tua itu di rawat di rumah sakit. Apa kau melupakan jasa-jasaku?” tanya Jeremy mencecar. Pria itu setengah berjongkok di hadapan Sera, lalu menatapnya dengan tajam. “Kenapa kau selalu menggangguku? Kekasihku memberimu uang untuk mengganti biaya perawatan yang sudah kau keluarkan untuk ibuku, apa semua itu belum cukup?” tanya Sera, berbohong dengan mengakui Sean sebagai kekasihnya. “Tak akan pernah ada kata cukup, jika itu menyangkut uang untuk ku gunakan di meja kasino!” jawab Jeremy dengan penuh penekanan. Mendengar perkataan tersebut, membuat Sera seketika mendengkus sebal. “Aku tidak mau menuruti keinginanmu, Jeremy!” “Dasar gadis bodoh!” Jeremy menjambak rambut panjang Sera dengan sangat kencang, lalu menariknya dan menggusur gadis itu, dari mulut gang hingga tiba di tembok pembatas. “Ah … aku mohon hentikan, Jeremy! Apa kau ingin membunuhku?” tanya Sera dengan suara bergetar, diikuti tetesan air mata yang berjatuhan di atas wajahnya Jeremy yang sudah diselimuti kabut amarah, semakin kuat menarik rambut hitam tersebut, kemudian menghempaskan kepala gadis itu cukup keras, hingga kepala Sera terbentur pada dinding bergerigi, dan perlahan-lahan kepala sisi kanannya mulai mengeluarkan darah segar. Mata gadis itu seketika terpejam, merasakan rasa sakit dan berdenyut di kepala, hingga membuat penglihatannya kabur. “Kenapa kau sulit sekali mengatakan, iya, saat aku meminta bantuanmu, Sera? Apa aku harus melukaimu seperti ini dulu, baru kau mau membantuku?” tanya Jeremy seraya melayangkan sebuah tamparan tepat pada sisi kiri wajah wanita itu. Sera yang masih sedikit kesulitan untuk berbicara, hanya terdiam sembari mengusap wajahnya. “Hentikan … aku mohon, hentikan ….” Lirihnya, dengan mata yang terus terpejam. Tepat ketika Jeremy akan menendang perut wanita itu, seorang pria bersetelan jas berwarna navy, berpadu dengan kemeja putih dan dasi bermotif garis menyamping berwarna hitam, menarik bahu Jeremy dengan kuat. Pria itu melayangkan sebuah pukulan tepat pada wajah kanan pria besar itu, hingga darah segar keluar dari sudut bibirnya. “Apa kau tidak malu menyerang seorang wanita?” tanya pria itu dengan nada mengejek. Untuk sejenak, mata Sera terbuka, melihat pada pria yang kini tengah memelintir tangan Jeremy, dengan tatapan penuh harap. Hingga tak begitu lama, gadis itu tak sadarkan diri. “T-Tuan Elias, a-apa yang kau lakukan d-di sini?” tanya Jeremy. Sean yang kini tengah mengunci tangan pria besar itu ke belakang, lalu menekan tubuh dan kepalanya pada dinding, melirik sesaat pada Sera, lalu memejamkan matanya sesaat. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dari wanitaku?” tanya Sean. Pria itu semakin menekan lengannya dan menghimpit tengkuk leher Jeremy, sembari mengatupkan rahangnya. “Ah … hentikan, Tuan Elias. A-aku mohon, ah ….” Pinta Jeremy, sembari mengaduh kesakitan. “Aku peringatkan padamu sekali lagi, jangan pernah mengganggu wanitaku, jika kau ingin tetap hidup! Kau mengerti?” ancam Sean setengah berbisik. “Ya … ya, Tuan Elias. Aku mohon, lepaskan aku.” Pria tampan bertubuh kekar itu pun akhirnya melepas kunciannya, dan membiarkan Jeremy pergi meninggalkan tempat tersebut. Sean bergegas menghampiri Sera yang tak sadarkan diri, lalu membawa tubuh kecil tersebut ke dalam mobilnya. “Frans, aku membutuhkan bantuanmu!” ujar Sean setelah menekan tombol kecil mini earpiece dalam telinganya. Pria itu mendudukkan dirinya di balik kemudi, dan mulai melajukan mobil sport miliknya. “Aku berada di markas besar. Apa yang bisa ku bantu?” tanya Frans dari seberang jaringan pribadi. “Sera terluka, aku perlu kau untuk mengobatinya,” jawab Sean. “Baiklah, aku akan mempersiapkan seluruh peralatannya. Kau bawa ke ruang pemulihan, aku akan mengobatinya di sana,” sahut Frans. Sean semakin dalam menancap pedal gas mobilnya, setelah panggilan pada jaringan pribadinya terputus. Pria itu melirik sesaat pada Sera, lalu kembali menatap jalanan kota Roma yang cukup lengang sore itu, dengan sebelah lengan terulur ke samping. “Satu tetes darahmu sangat berharga, Sera. Kau harus tahu itu,” gumam Sean sembari menghapus darah yang menetes di sisi wajah gadis itu dengan sebelah tangannya. *** Sebuah mobil sport berwarna biru metalik, berlogo Eighty Automotive, berhenti tepat di halaman parkir belakang gedung Elias Grup yang terjaga sangat ketat dan tertutup rapat. Sean segera keluar dari dalam mobilnya, lalu berlari kecil memutari depan mobil untuk mengeluarkan Sera melalui pintu sisi penumpang. Pria itu pun bergegas menggendong Sera memasuki pintu lift, yang sudah terbuka secara otomatis. “Arthur, matikan sensor sidik jari keamanan markas, dan bantu aku membuka setiap jalan yang akan aku lalui hingga menuju ruang pemulihan!” titah Sean pada Arthur, melalui jaringan pribadi mini earpiece yang terpasang di telinganya. “Oke … laksanakan tugas!” sahut Arthur. Lampu sensor sidik jari pada badan lift pun seketika berubah warna menjadi merah, tanda jika segala sensor dimatikan dan terkunci sementara. Lampu pada tombol-tombolnya pun mulai menyala bergantian dengan cepat, hingga tak begitu lama lift pun berjalan dengan sendirinya. “Itu, Sera?” tanya Arthur yang melihat melalui cctv lift di ruangannya. “Ya, dia Sera … wanita lima ratus ribu dollarku!” jawab Sean sembari mengeratkan gendongannya. “Sangat cantik! Pantas saja kau tergila-gila pada gadis itu,” sahut Arthur. Tepat setelah mengatakan itu, pintu lift pun kembali terbuka, dengan sebuah pintu kaca yang juga sudah terbuka, menyambut kedatangan Sean dan Sera. Pria itu melangkahkan kakinya, memasuki sebuah ruangan bernuansa putih, dengan lampu yang cukup terang di sepanjang lorong. Sean melirik ke sisi kanan dengan dinding kaca, melihat sebuah ruang pemulihan, yang didesain khusus, seperti ruang operasi oleh Frans. Sean menidurkan gadis dalam gendongannya di atas brankar, lalu membiarkan Frans, yang sudah mengenakan sneli, mulai memeriksa keadaan Sera. “Pelipis matanya robek, dan terdapat beberapa luka kecil lainnya di kepala bagian kanan. Dan ....” Frans melihat luka memar kemerahan di pipi sebelah kiri gadis itu, lalu luka kecil di sudut bibirnya. “… apa kau menamparnya?” tanya Frans dengan mata menyelidik. “Apa kau gila? Mana mungkin aku melukai seorang wanita!” protes Sean. “Frans, apa kau tidak tahu? Sean hanya melukai wanita saat merobek selaput daranya,” sergah Arthur yang baru saja masuk ke dalam ruang pemulihan. Ucapan yang Arthur lontarkan itu seketika membuat Frans yang sedang mengobati luka Sera, tergelak. Sedangkan Sean, berjalan menghampiri temannya itu, lalu memelintir tangan Arthur dan menguncinya ke belakang. “Ah … Sean, sakit! Apa kau ingin membunuhku?” teriak pria itu. “Iya, aku sangat ingin membunuhmu, jika saja kau bukan temanku,” sahut Sean seraya melepas pelintirannya. ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN