Nadira terus berlari menyusuri lorong rumah sakit yang dilewatinya untuk menuju ruang IGD. Firasatnya mengatakan jika sesuatu yang buruk telah terjadi. Gadis itu tak mempedulikan tatapan sinis orang-orang yang berpapasan dengannya. Bising yang ia tinggalkan bersamaan dengan bunyi kaki yang beradu dengan lantai ketika ia berlari sungguh menganggu. Namun, dia sama sekali tak peduli. Dia hanya ingin sampai di ruangan itu secepatnya.
Gadis itu terdiam sejenak begitu matanya menjumpai ruang bertuliskan IGD. Ia berusaha mengatur nafasnya yang sempat memburu. Matanya memicing ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya sedang duduk di bangku penunggu. Di dekatnya terlihat Bobby sedang memeluk sembari menenangkan wanita itu.
Nadira melangkah kaku. Kakinya terasa begitu berat. Apa yang sebenarnya telah terjadi?
"Mah," panggilnya lirih begitu sudah tak ada lagi jarak diantara mereka.
Dilihatnya wajah sang ibu yang telah basah oleh air mata ketika wanita itu menoleh.
"Apa yang terjadi, Mah?"
Dan detik berikutnya Nadira bisa mendengar suara tangis yang tertahan dari wanita yang telah merawatnya selama ini. Wanita itu menubruk tubuhnya. Memeluknya erat, sangat erat.
Ia tak mendengar suara apapun yang keluar dari mulut Mutia selain hanya isak tangis wanita itu. Tubuhnya sampai bergetar hebat.
Ingin sebenarnya dia menanyakan banyak hal akan tetapi melihat keadaan ibunya yang masih larut dalam tangisan membuatnya urung membuka mulut. Sementara Bobby hanya mengangguk kecil, pria itu memberikan kode agar Nadira menahan diri untuk saat ini dan membiarkan ibunya tenang terlebih dulu.
Tiga puluh menit berlalu, Nadira membiarkan dia dan juga ibunya dalam posisi seperti itu cukup lama. Kini ia bisa mendengar tarikan nafas Mutia yang mulai teratur, bahu wanita paruh baya itu juga tidak bergetar seperti tadi. Tangisnya telah reda meskipun sesekali masih sesenggukan.
Nadira membimbing ibunya untuk duduk di bangku.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi, Mah?" ulang gadis itu.
Ada interval cukup lama untuk gadis itu kemudian melihat Mutia membuka mulutnya.
"Papahmu, Sayang."
"Iya, Papah kenapa? Ada apa dengannya?" desak Nadira tak sabar.
"Papahmu terkena serangan jantung," cicit Mutia hampir tak terdengar.
"Apa ...." Nadira membekap mulutnya. Bola mata bak kacang almond miliknya mengkilat, terlapisi oleh cairan bening yang siap luruh kapan saja. "Ba ... bagaimana bisa, Mah?" imbuhnya.
"Papahmu sangat syok. Dia ...,"
"Ini semua salahku," ucap Alby yang tiba-tiba saja muncul, memotong ucapan Mutia.
"Dasar laki-laki b******k! Berani-beraninya kamu datang kemari setelah kekacauan yang kau buat!" hardik Bobby.
Pria itu melayangkan tinjunya tepat mengenai pipi kanan Alby, kejadiannya begitu cepat hingga Alby tak mampu menghindar.
"Apa maksud semua ini, Mah?" Nadira menatap lekat wajah Mutia.
Gadis itu tak mempedulikan kedua lelaki yang tengah berkelahi. Bukan berkelahi sebenarnya karena lebih tepatnya Bobby yang dengan kegilaannya mencoba melampiaskan kekesalannya pada Alby, sementara Alby hanya bisa pasrah sambil sesekali menangkis serangan Bobby.
Ada begitu banyak pertanyaan yang bergelayut dalam benak Nadira, tapi sepertinya dia masih harus bersabar mengingat Mutia pun masih syok dan belum bisa dimintai penjelasan.
Nadira beranjak dari duduknya, beralih pada dua pria yang masih terlibat pertarungan sengit. Dilihat dari sisi manapun sudah diketahui jika Bobby lah pemenangnya, mengingat ada banyak luka di tubuh juga wajah Alby.
"Bobb, cukup!" sela Nadira.
Gadis itu memegang lengan temannya begitu dilihatnya Bobby kembali mengangkat tangannya ke udara.
"Jangan hentikan aku! Aku belum puas memberi pelajaran padanya," ucap Bobby geram seraya menangkis tangan Nadira.
"Bobb, aku mohon hentikan! Kamu seorang dokter, aku tidak rela jika nama baikmu sampai tercemar gara-gara aku. Mau sampai kapan kau akan terus memukulinya?"
"Aku tidak peduli. Dia hampir saja mencelakakan Oom Arif dan jika sampai terjadi sesuatu dengan papahmu, dia pantas untuk di bunuh," sahut Bobby.
"Cukup, Bobb. Hentikan! Jangan mengotori tanganmu dengan menyentuh orang seperti dia," bujuk Nadira lagi. "Kumohon Bobb."
Bobby berdecak kesal, rasanya ia belum puas menghajar Alby tapi dia juga tak tega ketika melihat Nadira menatapnya dengan tatapan memelas.
Menyebalkan.
"Duduk, Bobb." Nadira setengah menyeret temannya agar pria itu duduk di samping Mutia.
"Aku butuh penjelasan, apa yang telah terjadi?" tanya gadis itu.
"Gara-gara dia, Papahmu terkena serangan jantung. Oom Arif kolaps dan belum sadarkan diri sampai sekarang."
Bagai disambar petir di siang bolong, ucapan Bobby membuat Nadira terkejut bukan main.
"Ap ... apa?"
"Ya, k*****t itu yang telah menceritakan semuanya pada Oom Arif," sambung Bobby.
Setetes kristal bening meluncur begitu saja dari pelupuk mata gadis itu. Ragu, dia menoleh ke arah Mutia dan wajah wanita paruh baya itu pun tak jauh berbeda dengannya. Basah oleh air mata.
"Apakah itu benar, Mah?" tanyanya meminta kepastian.
Hatinya makin terasa perih manakala melihat Mutia mengangguk membenarkan ucapan Bobby.
"Kenapa kau menyembunyikan kenyataan sebesar ini dari kami, Nak?" lirih Mutia.
"Maaf ... maafkan Dira, Mah."
Gadis itu menghambur ke dalam pelukan ibunya. Kedua wanita itu pun larut dalam tangis.
Bobby bahkan sampai menoleh ke sembarang arah agar tak melihat secara langsung kejadian itu. Matanya terasa panas jika dibiarkan terlalu lama melihat tangisan antara ibu dan anak itu.
"Maafkan Dira, Mah. Sungguh, aku nggak ada maksud membohongi kalian," cicitnya di sela-sela tangisan.
"Mamah tahu, Nak. Tapi tidak seharusnya kamu menyembunyikannya dari kami. Mamah dan Papah juga berhak tahu."
"Iya, Mah. Maaf ... aku hanya butuh waktu untuk menceritakan semuanya pada kalian. Maafkan Dira, Mah."
"Disinilah saya yang paling bersalah, Tante. Mohon maafkan saya."
Nadira kembali mencekal lengan Bobby ketika temannya kembali meradang mendengar ucapan mantan tunangannya.
"Dasar pria tidak tahu diri!" hardik Bobby murka.
"Saya yang salah, Tante. Tidak seharusnya saya menceritakan semua ini, Nadira lah yang berhak mengatakan itu pada kalian. Saya kelepasan bicara saat Oom Arif menanyakan tentang rencana pernikahan ketika kami bertemu tadi," jelas Alby.
Nadira merasakan dadanya makin sesak. Dia bisa membayangkan reaksi papahnya ketika mendengar kabar itu dari Alby dan bukannya dari putrinya sendiri. Betapa sakitnya pria itu saat mengetahui kenyataan bahwa rencana putri semata wayangnya untuk naik pelaminan harus kandas. Terlebih di saat semuanya telah berjalan sesuai rencana dan tinggal menghitung hari.
Nadira yang semula terduduk di lantai sembari memeluk kaki Mutia pun bangkit. Ia mengusap kasar sisa air mata di wajahnya kemudian mendekati Alby.
Dan detik berikutnya pria itu merasakan sensasi panas yang menjalar ke sekujur tubuhnya setelah Nadira melayangkan sebuah tamparan keras di pipinya.
"Hadiah untuk semua yang telah kamu lakukan padaku. Ini untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku menyentuhmu."
Nadira mengusap tangan yang ia gunakan untuk menampar Alby. Mengusapnya beberapa kali pada bagian bawah sneli yang dipakainya, seolah gadis itu begitu jijik karena telah menyentuh Alby dan ingin menghapus bekasnya.
"Jangan pernah menampakkan wajahmu lagi di hadapanku dan juga keluargaku," imbuh Nadira.
Alby membeku. Disentuhnya pipi sebelah kanan, tempat dimana tadi Nadira melayangkan tangannya di sana dan meninggalkan bekas kemerahan. Sungguh, bukan hanya tubuhnya saja yang terasa sakit, hatinya jauh terasa lebih perih.
Kenapa dia harus menjalani kehidupan seperti ini? Kisah cintanya yang telah dirajut selama bertahun-tahun bersama wanita yang dicintainya juga harus kandas dengan cara menyakitkan seperti ini.
Dia menyesal, sungguh ... dia sangat menyesali satu kesalahan yang telah diperbuat olehnya. Sebuah kesalahan yang meluluhlantakkan pondasi cinta dan impiannya yang telah dia bangun bersama Nadira.
Jika Nadira mengetahuinya, apa dia juga akan memaafkan dirinya? Alby pesimis akan hal itu.
"Sebaiknya kau cepat pergi dari sini sebelum aku meminta bantuan security untuk mengusirmu."
Perih, hanya kata itu yang bisa melukiskan betapa terlukanya Alby. Setiap perlakuan Nadira padanya terasa sangat menyakitkan. Hatinya seolah tertusuk belati tak kasat mata.
Mau bagaimana lagi, toh semua ini dirinya yang memulai. Bahkan jika Nadira membalas semua perbuatannya, mungkin tak akan pernah sebanding dengan segala luka yang Alby berikan.
Nadira masih tak mengerti kenapa Alby menatapnya demikian. Dia sempat melihat sorot mata Alby ketika mereka tak sengaja saling bertemu tatap, sesaat sebelum Alby meninggalkan tempat tersebut. Tatapan mata sendu yang Nadira tak bisa mengartikannya.
Sepeninggal Alby, Nadira menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Mutia. Nasi telah menjadi bubur. Nyawa ayahnya kini menjadi taruhan atas kekacauan yang telah dibuat oleh Alby.
Berulangkali bibirnya terus menggumamkan kata maaf yang tentu saja tak bisa di dengar oleh Arif. Ia terus menyalahkan dirinya yang tak berterus terang pada orang tuanya.
Seandainya saja dia sudah terlebih dulu menceritakan semuanya pada keluarganya, mungkin ini semua tidak akan pernah terjadi.
Bersambung ....