Suasana dalam ruangan bernuansa putih itu cukup hening. Entah sudah berapa lama Nadira tertidur di sana.
Ya, setelah pertikaian kecil yang terjadi di depan ruang IGD itu berakhir, Nadira masih harus mengalami satu momen lagi yang menguras emosi dan juga tenaganya.
Nadira terus menjerit dalam hati seraya menangis meraung-raung. Dia tak sampai hati melihat ayahnya menitikkan air mata. Terlihat raut kekecewaan yang begitu mendalam yang tergambar jelas di wajah sang ayah ketika Arif tersadar tadi. Betapa pria paruh baya itu begitu terpukul ketika mendengar penuturan Alby, terlebih begitu mendengar penjelasan singkat yang didengarnya langsung dari putri kesayangannya. Namun Nadira bisa sedikit bernafas lega sekarang, kedua orang tuanya nampak telah mengerti dan bisa menerima semuanya.
Setelah hampir dua jam berlalu, kini Arif telah kembali berisitirahat. Kondisinya masih belum stabil pasca kejadian beruntun yang membuatnya mengalami syok. Namun, untunglah pria itu cukup kuat untuk tidak mengalami serangan jantung yang kedua kalinya saat mendengarkan penjelasan Nadira. Hingga Bobby memutuskan untuk memindahkannya ke ruang perawatan.
"Nak," panggil Mutia lembut. Diusapnya rambut panjang putrinya yang hitam sepunggung.
Perlahan Nadira membuka matanya, seketika dia merasa pening. Rasanya hari ini begitu berat karena hampir sepanjang hari ia lalui dengan menangis.
Gadis itu pun mengedarkan pandangannya. Ruangan itu telah begitu terang dengan sinar lampu yang menyala, pertanda jika siang sudah berganti menjadi malam.
"Moza dan Bobby masih di luar. Mereka menunggumu sejak tadi sore."
Ucapan Mutia kembali mengantarkan Nadira pada kesadarannya.
"Moza juga di luar, Mah?" tanyanya pada wanita yang tak lagi muda namun masih tetap cantik di usianya yang menginjak kepala lima.
Mutia mengangguk. "Dia langsung kemari begitu selesai dengan pekerjaannya," sambungnya.
Nadira menghela nafas panjang, meraup oksigen sebanyak mungkin, berharap itu bisa sedikit membantu melegakan dadanya yang sejak siang terasa begitu sesak.
"Temui temanmu, kasihan mereka. Mereka sampai tidak pulang hanya demi menemani kita di saat-saat seperti ini. Kau ajak pulanglah mereka, bersihkan diri kalian dan jangan lupa juga untuk makan malam," tutur Mutia.
"Bagaimana dengan Mamah?"
"Mamah sudah makan tadi, Mamah juga sempat pulang untuk mandi dan mengambil beberapa barang keperluan Papahmu. Jangan pikirkan macam-macam! Kau sudah sangat lelah hari ini." Mutia meremas jemari putrinya kemudian mendaratkan sebuah kecupan di puncak kepala Nadira.
"Baiklah, Dira mungkin akan pulang ke apartemen Moza saja, Mah. Tempatnya yang paling dekat dengan rumah sakit. Nanti aku kesini lagi." gadis itu bangkit untuk meraih tasnya.
"Hubungi aku kalau ada apa-apa," pesan gadis itu sebelum meninggalkan ibunya.
"Iya sayang."
Keduanya berpelukan sejenak.
Moza dan Bobby kompak meninggalkan kursinya begitu mendengar seseorang dari dalam membuka pintu.
Moza segera memeluk Nadira begitu melihat sosok temannya lah yang ternyata muncul.
"Aku baik-baik saja," cicit Nadira begitu mendengar tangis sahabatnya pecah.
"Kapan kau pernah mengatakan jika kau tidak baik-baik saja? Kau akan selalu berkata demikian di saat kau mengalami titik terendah sekalipun."
"Maaf. Maaf telah membawamu dan juga Bobby masuk ke dalam masalahku."
"Kau ini bicara apa? Dasar hamster nakal."
Bobby tergelak ketika melihat Moza memukul Nadira dengan tasnya. Dua wanita itu memang terkadang bertingkah layaknya anak kecil dan itu sukses membuatnya geleng kepala, keheranan.
"Mau sampai kapan hamster dan kucing ini bertengkar?" sela pria itu.
"Sampai sang kelinci datang melerai," seloroh Moza.
Mereka memang memiliki julukan atau nama lain masing-masing. Berawal dari ide Bobby yang kemudian disetujui oleh ketiganya.
Panggilan Hamster disematkan untuk Nadira. Tingkahnya yang imut, lucu dan menggemaskan namun suka bersembunyi membuat Bobby memberikan nama itu padanya. Sedangkan Moza, Bobby memilihkan kata kucing yang cocok untuk menggambarkan perangainya yang terkadang lembut namun bisa berubah menjadi garang jika diganggu. Sementara untuk dirinya, Nadira dan Moza sepakat untuk memberikan panggilan sayang 'kelinci'. Hal itu diperkuat karena barisan gigi depan pria itu yang mirip dengan kelinci.
"Sudah ayo! Kita pulang ke apartemen kamu saja." menatap Moza. "Biar aku saja yang menyetir, kalian tinggalkan mobil kalian saja di sini."
"Ayo," balas Nadira dan Moza bersamaan.
Ketiganya pun mulai melangkah meninggalkan gedung tersebut.
.
.
Gibran masih setia menemani tuannya yang sedari tadi duduk di depan jendela kaca. Sesekali diliriknya jam yang bertengger pada dinding kamar tersebut, sudah hampir dua jam majikannya itu berdiam diri di sana tapi masih belum ada tanda-tanda jika Kai hendak merubah posisinya.
Mendengar setiap penjelasan yang diucapkan oleh Gibran tadi membuatnya merasa tidak nyaman. Entah kenapa Kai merasakan sesak, sekedar untuk minum pun rasanya tenggorokannya tercekat. Makan tak bisa, tidur apa lagi. Dia sendiri tak tahu bagaimana bisa tubuhnya bereaksi sedemikian rupa. Ia terus mencoba mencari jawaban tapi sepertinya akal dan hatinya tidak bisa diajak kerja sama. Satu hal yang pasti, seolah dia ikut merasakan apa yang saat ini sedang dirasakan oleh gadis bermata almond, hanya itu yang dia tahu.
"Tuan, makanlah terlebih dulu. Anda belum mengisi perut sejak tadi siang," bujuk Gibran.
Kai menoleh, dia melemparkan tatapan dingin pada asistennya. Jika sudah begini, Gibran sudah bisa menebak apa yang selanjutnya akan terjadi.
"Lebih baik kau pulang saja daripada terus mengoceh tentang makanan. Berapa kali aku bilang, aku tidak lapar!" Kai menaikkan volume suaranya.
"Tapi ...."
"Diam atau ku usir kau pulang!"
Untuk kedua kalinya tubuh Gibran berjengit ketika mendengar majikannya berteriak.
Hening.
Gibran tak memiliki cukup nyali untuk kembali menginterupsi Kai. Pria itu bisa bertindak diluar nalar jika Gibran berani melakukannya sekali lagi.
"Dia pasti terus menangis seharian ini," lirih Kai. Pandangannya menerawang jauh.
Gibran benar-benar dibuat pusing dengan kelakuan Kai. Semenjak pertemuan atasannya itu dengan Nadira di kantor Alby, Kai terus saja bertingkah aneh. Selain jadi sering melamun, Gibran juga sering menjumpai Kai sedang senyum-senyum sendiri. Dia masih bisa menerima alasan Kai yang tiba-tiba merajuk untuk dirawat di rumah sakit padahal pria itu tidak benar-benar membutuhkan perawatan intens. Dan puncaknya, dia kembali dibuat terkejut manakala mendapat perintah yang jauh diluar dugaannya. Apalagi jika bukan untuk menyewa orang untuk membuntuti Nadira. Orang yang setiap satu jam sekali dimintai keterangan tentang apa saja yang dilakukan oleh dokter cantik itu.
Pernah sekali Gibran menyinggung perasaan Kai, mengatakan jika barangkali saja Kai telah jatuh cinta pada Nadira tapi Kai selalu saja diam. Pria itu tak menjawab ataupun menampik semua ucapan Gibran.
Membuat asisten tampan itu semakin frustasi saja.
"Terakhir kali dia ...,"
"Panggil dia nona, Gibran!" sambar Kai. "Dia punya nama, namanya Nadira," imbuhnya.
'Cih, tanpa diberitahu pun aku sudah tahu namanya. Bukankah aku yang pertama kali melihat id card nya sewaktu terjatuh di parkiran.' Gibran terus membatin, memaki majikannya.
"Gibran!" seru Kai ketika tak mendapati pria dibelakangnya itu tak kunjung menyahut.
"Iy ... iya, Tuan." Gibran tergagap. "Terakhir kali nona sempat tertawa sebelum meninggalkan rumah sakit."
"Meninggalkan rumah sakit?" tanyanya memastikan.
"Nyonya Kusuma meminta putrinya untuk pulang."
"Pulang kemana dia?"
"Dari yang saya tahu, Nona Nadira pulang ke apartemen temannya," terang Gibran.
"Berdua?" lagi, Kai bertanya.
"Bertiga, Tuan. Dengan dokter jantung yang menangani Tuan Kusuma, Dokter Bobby namanya. Dia juga merupakan teman dekat nona."
"Kenapa juga dia mesti memiliki teman dekat pria?"
Gibran mengernyitkan keningnya, tak habis pikir dengan pertanyaan Kai. Memang ada aturan yang menyebutkan jika seorang wanita dilarang memiliki teman lelaki apa?
Kembali, Gibran menggelengkan kepalanya. Dunia tuannya memang jauh berbeda dengan dunia rakyat jelata pada umumnya.
Lahir sebagai putra tunggal pewaris Wijaya Group, perusahaan yang bergerak hampir di segala bidang, membuatnya hidup dalam lingkungan mewah. Didikan ala barat yang terkenal akan kedisiplinannya tertanam kuat dalam diri Kai, masih diimbangi dengan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun. Itulah yang membuat Kai tidak memiliki sifat tinggi hati. Belum lagi latar belakang keluarganya yang begitu melimpahinya dengan kasih sayang. Pria itu mungkin terkesan dingin dari luar namun sebenarnya dia memiliki hati yang hangat.
Kai kecil hanya menghabiskan waktunya dalam istana emas. Kehadirannya yang telah begitu lama dinantikan oleh trah keluarga Wijaya membuatnya mendapatkan perlakuan over protective dari keluarganya, terutama kedua orang tuanya.
"Apa pria itu tampan?"
Gibran terkesiap ketika lagi-lagi Kai melayangkan sebuah pertanyaan padanya. Pria itu terus merutuki kebodohannya, bagaimana bisa dia tidak memiliki persiapan apapun untuk mengantisipasi jika Kai kembali menanyakan hal di luar nalarnya. Seperti ini saja contohnya.
"Gibran!" seru Kai.
"Ya, Tuan."
"Aku sedang bertanya padamu. Apa kamu tuli?"
"Ma ... maaf, Tuan," sahut Gibran.
"Aku bertanya, apa dia tampan?" ulang Kai.
Gibran yang tahu persis dengan 'dia' yang dimaksud oleh Kai pun menjawab.
"Lebih tampan Tuan kemana-mana jika dibandingkan dengan Bobby," jawabnya mantap.
"Kenapa kau malah membandingkan aku dengan dia!" hardik Kai. Suaranya yang mulai melunak tadi, berubah menjadi sangat menggelegar.
Gibran memutar otaknya, berpikir keras untuk bisa memberikan jawaban yang sekiranya bisa membuat atasannya puas. Alih-alih puas, yang ada dia bisa kehilangan sejumlah uang di rekeningnya jika sampai membuat Kai murka.
"Kenyataannya memang seperti itu, Tuan. Bobby tidak ada seujung kuku pun jika dibandingkan dengan Anda. Anda memiliki kadar ketampanan paripurna yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Anda memiliki karisma tersendiri yang membuat ribuan wanita tergila-gila pada Anda, jadi jangan khawatir berlebihan mengenai hal yang tidak penting Tuan." Gibran mengelus dadanya.
"Benarkah?"
"Saya berani bersumpah Tuan."
"Baiklah. Karena aku sedang berbaik hati jadi aku kirim bonus untukmu. Kau sudah bekerja dengan baik hari ini."
Kai beranjak dari kursi malas yang sejak tadi dia tempati, beralih menuju bed kemudian naik ke sana setelah sebelumnya sempat menyambar ponsel yang sedari tadi dia biarkan tergeletak begitu saja di atas nakas.
"Kau bisa cek rekeningmu sekarang. Aku sudah mentransfer sejumlah uang sebagai bonus untukmu," tutur Kai tak lama setelah sibuk dengan gawainya.
"Terimakasih banyak, Tuan." Gibran membungkuk hormat.
Begini seharusnya yang terjadi. Pria itu bisa selamat kali ini karena jawabannya yang bisa merebut hati Kai. Dapat tambahan bonus sebagai nilai lebih, tetap saja Gibran merasa senang meskipun dia sudah sering mendapatkannya dari Kai.
Kai baru saja hendak membaringkan tubuhnya begitu selesai dengan ponselnya saat tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu dari luar.
"Siapa yang malam-malam datang kemari?" Kai kembali mengambil posisi duduk.
"Biar saya cek, Tuan."
Pria itu meraih gagang pintu kemudian membukanya perlahan.
Bersambung ....