Pagi ini Rima tergesa berlari menghampiri suaminya di meja makan. Awalnya dia bermaksud untuk membangunkan Kai untuk sarapan bersama tapi begitu dirinya sampai di sana, ternyata Kai sudah tidak ada di kamarnya.
"Pi ... Papi ...."
Teriakan Rima yang melengking hampir memenuhi seluruh penjuru ruangan.
"Ada apa, Mi? Kenapa lari-lari begitu?" tanya Anjas yang heran melihat istrinya sudah berlari-lari sepagi ini.
"Anak dan ayah sama saja, sama-sama gila kerja," omel Rima.
"Ada masalah?"
"Anak itu ... padahal baru sampai di rumah jam tiga pagi dan ini baru jam enam kurang sepuluh menit tapi dia sudah tidak ada di tempat tidurnya. Memang dia pikir dia itu robot apa," oceh Rima lagi.
"Sedang olah raga, mungkin. Memang Mami sudah cek di ruang olah raga?"
"Belum," jawab Rima singkat.
"Ya sudah biar Papah suruh bibi untuk mencarinya."
Baru saja Anjas hendak membuka mulut saat tiba-tiba Rima melarangnya.
"Kenapa?"
"Kita telepon saja dia," cetus Rima seraya mengambil ponsel dalam saku bajunya.
Anjas memperhatikan raut wajah istrinya yang terlihat begitu serius.
"Tampan, kau dimana?"
"Kai sedang bekerja, Mi. Ada apa?" Kai yang kala itu sedang serius dengan pekerjaannya pun menyahut sekenanya.
"Apa ... sepagi ini kau sudah berada di kantor?" pekik Rima.
"Pelankan suaramu, ini bukan di hutan!" seru Anjas.
"Ah, maaf ... Sayang." Rima menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu mulai membuka mulutnya lagi. "Tampan, kau pasti belum sarapan kan? Kau bahkan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali di saat orang lain baru saja bangun dari tidurnya."
"Aku sudah meminta Gibran untuk membelikan sarapan, Mami tidak usah khawatir." Kai masih tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.
"Hm, ya sudah. Oh ya, jangan lembur lagi hari ini ya, Nak! Pulanglah lebih awal agar kita bisa makan malam bersama."
"Ya, Mi. Kai usahakan. Sudah ya, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini juga, Mi," ucapnya.
"Kau bicara seakan-akan Mami ini seorang pengganggu saja," gumam Rima.
"Aku tidak ingin berdebat sepagi ini, Mi. Kegiatanku sepanjang hari cukup banyak jadi jangan membuat moodku memburuk." Kai memijit pelipisnya.
"Dasar menyebalkan."
Kai meletakkan kembali ponselnya di meja begitu Rima memutus sambungan telepon itu.
Kai bukannya mau bersikap tidak sopan pada Ibunya, hanya saja dia sedang tidak ingin membuang waktu. Bisa panjang urusan dengan Maminya jika saja dia masih terus menyahuti setiap ucapan Rima.
Sementara di tempat berbeda, Rima terus mendumel.
"Pi, Mami takut ...,"
"Takut kenapa?" Anjas kembali meletakkan cangkir teh herbalnya. Ditatapnya wajah wanita yang telah puluhan tahun menjadi pendamping hidupnya itu dengan seksama.
"Kai itu gila kerja. Dia bahkan sampai tidak memiliki waktu untuk memikirkan kehidupan pribadinya. Diusianya yang sudah menginjak tiga puluh tahun, dia belum juga berkeluarga. Padahal kebanyakan orang seusianya sudah menikah dan memiliki anak sedangkan Kai, jangankan anak ... pacar saja sepertinya dia tidak punya," keluh Rima.
"Kau tahu darimana kalau putramu itu belum memiliki kekasih? Barangkali saja Kai sudah punya calon tapi belum sempat mengenalkannya pada kita," ujar Anjas.
"Memang kenyataannya seperti itu, kemarin Mami sudah mengintrogasi para maid dan tidak ada satupun dari mereka yang mengetahui atau mengatakan sesuatu mengenai wanita yang dekat dengan Kai."
"Biarkan saja, mungkin memang anak itu masih mengejar kariernya," cetus Anjas.
"Memang apalagi yang mau dikejar, Pi. Kalau dibiarkan terus seperti ini, kapan dia punya waktu untuk mencari calon istri. Selama ini dia selalu pergi kemanapun dengan Gibran, jadi ... tunggu! Ahh ... tidak mungkin," jerit Rima seraya menutup mulutnya dengan tangan.
"Ada apa?"
"Papi, tidakkah Papi rasa ada yang salah dengan Kai?"
"Salah bagaimana, Mi? Bicara yang jelas!" tukas Anjas.
"Selama ini anak itu tidak pernah memiliki hubungan dekat dengan gadis manapun, dia juga tidak punya teman dekat wanita. Jangan-jangan ... jangan-jangan Kai gay, Pi," teriak Rima histeris.
Anjas menyemburkan teh yang memenuhi rongga mulutnya sebelum dia sempat menelannya. Wajah pria itu memerah menahan sensasi perih dan juga panas pada hidung juga tenggorokannya akibat tersedak. Ucapan yang dilontarkan oleh Rima membuatnya terkejut bukan main.
"Astaga Papi, minumlah dengan benar. Kenapa sampai tersedak begitu?"
"Ini semua karena ulah Mami," lirihnya seraya mengembalikan gelas yang tadi sempat diulurkan oleh istrinya.
"Kenapa Mami yang disalahkan?" sahut Rima tak terima.
"Bicaramu ngawur, kau berpikiran terlalu jauh, Sayang," gerutu Anjas.
"Mami hanya sedang mengemukakan pendapat Mami saja, apa itu salah? Selama ini Kai tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada seorang gadis terlebih lagi dia ...,"
"Bisa saja pendapatmu itu salah," potong Anjas.
"Hah ... dia kemana-mana selalu berdua dengan Gibran. Kai juga sepertinya sangat bergantung pada Gibran. Papi ingat waktu dulu dia menolak asisten pribadi yang dipilihkan sama Papi buat dia? Ditolak mentah-mentah kan? Anak itu ngotot tetap mempertahankan Gibran padahal awal-awal bekerja dulu kinerjanya sangat buruk. Papi pikir apa alasannya, coba?" Rima menggeleng-gelengkan kepalanya, ada ketakutan yang tergambar jelas pada wajah cantiknya. "Jangan-jangan mereka berdua itu pasangan gay, Pi ... ya Tuhan."
Anjas terdiam, pria itu terlihat sedang meresapi setiap ucapan yang keluar dari mulut istrinya. Kini ada sedikit kecemasan yang menyusup ke dalam hatinya. Biar bagaimanapun dia dan istrinya memang selama ini lebih sering tinggal di luar negeri, meninggalkan Kai sendirian di sini tanpa pengawasan. Ya, meskipun Anjas tetap menyuruh orang kepercayaannya untuk selalu mengawasi pergerakan Kai dan melaporkan padanya. Namun tetap saja dia tidak boleh lengah, dia harus berbuat sesuatu.
"Pi ...." pekik Rima sambil mengguncangkan lengan Anjas karena suaminya itu tidak memberikan respon apapun.
"Ada apa, Mi?"
"Papi jangan diam saja, lakukan sesuatu, Pi!" rengek wanita itu.
"Ini Papi sedang berpikir, Mi," sergah Anjas.
.
.
.
Nadira memasuki rumah sakit ketika hari sudah berganti gelap, hari ini dia memang sedang kebagian jaga malam. Gadis itu menyusuri lorong panjang dengan lampu yang menyala terang. Dia terus menyenandungkan lagu favoritnya, rasanya hidupnya sudah kembali seperti sedia kala. Seolah tidak ada beban lagi yang dia tanggung meskipun sejujurnya masih ada goresan luka dalam hatinya yang sedang ia coba untuk sembuhkan.
"Hallo semuanya," sapa Nadira pada beberapa orang ketika dirinya sampai di post jaga.
"Hai, Dok. Sudah lama kita tidak kebagian jaga bersama. Terakhir kali kita ketemu jaga malam sekitar dua minggu yang lalu." seorang suster pria tersenyum ramah.
"Iya, dan berita bagusnya, sekarang kita ketemu lagi."
Nadira meletakkan bungkusan makanan yang sengaja dia beli untuk rekan-rekannya. Hal itu sudah sering dia lakukan jika sedang jaga malam, dia yang terkenal ramah mudah bergaul dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan jabatan seseorang. Entah dokter, suster, cleaning service, atau siapapun itu, asal dia merasa nyaman berteman dengannya, dia akan mudah akrab.
"Ini, aku bawakan buat kalian makan malam, sama ada beberapa camilan juga. Biar nggak ngantuk," ujar Nadira.
"Kebiasaan yang bikin orang bahagia ini, Dok," celetuk suster yang diketahui bernama Rani.
"Semoga kalian suka ya?"
"Terimakasih, Dok."
Nadira pergi begitu selesai berbasa-basi.
Di sisi lain.
Kai yang sejak tadi memperhatikan Nadira di tempat tersembunyi, sedang tersenyum.
Sejak kepulangannya dini hari tadi, sejujurnya dia sudah sangat ingin bertemu dengan gadis itu tapi nyalinya menciut karena dirinya tak memiliki alasan yang tepat.
"Tuan," panggil Gibran.
Pria itu tak tahan saat harus berdiri lama tanpa melakukan apapun. Sejak tadi mereka berdua sudah bersembunyi dan mengendap-endap layaknya seorang pencuri.
Kalau hanya untuk menemui Nadira, kenapa tidak langsung bertemu saja, begitu pikir Gibran. Padahal sang wanita sudah jelas-jelas ada di depan mata, tapi Kai lebih memilih melihatnya diam-diam.
"Kita pulang."
Gibran mengurut dadanya, lega begitu melihat tuannya mulai berjalan meninggalkan rumah sakit dan mengambil jalan yang berlawanan dengan yang dilalui Nadira tadi.
Sepanjang perjalanan pun Gibran terus menangkap senyuman yang seolah tak kunjung pudar dari wajah Kai.
"Kita sudah sampai Tuan."
Ucapan Gibran membuyarkan lamunan Kai. Pria itu merasa baru saja masuk ke dalam mobil dan ternyata dirinya sudah sampai di rumah.
"Kau boleh pulang," kata Kai.
"Baik, Tuan. Selamat beristirahat."
Gibran membungkukkan badannya sebelum meninggalkan kediaman Kai.
"Tampan, kau baru pulang?" tegur Rima melihat kedatangan putranya.
"Iya, Mi. Capek," balas Kai datar.
"Cepatlah mandi, Mami sama Papi tunggu di meja makan ya."
"Iya, Mi. Kai naik dulu," pamitnya.
Kai meniti anak tangga yang membawanya menuju kamarnya di lantai atas.
Satu jam berlalu.
Seusai makan malam, keluarga kecil itu berkumpul di ruang keluarga dengan ditemani secangkir teh jahe dan juga beberapa potong choco truffle yang disajikan maid, tadi.
Anjas dan Rima duduk berdampingan sementara Kai duduk di depan mereka yang hanya terhalang meja kecil.
"Ada apa?" tanya Kai yang menyadari jika saat ini kedua orang tuanya sedang menatapnya intens.
Sepasang suami istri yang tak lagi muda itu pun saling bertatapan. Rima terlihat ragu saat hendak mengucapkan sesuatu.
"Seperti bukan Mami saja," celetuk Kai. "Mami biasanya cerewet, lugas dan tegas kalau mau membicarakan sesuatu," sindirnya.
"Begini ... hm, itu ... apa kamu," ucap Rima tersendat.
"Ada apa sebenarnya Mi? Katakan saja kenapa Mami kelihatan bingung begitu," desak Kai.
"Pi, Papi saja yang ngomong," bisik Rima tepat ditelinga suaminya.
Melihat gelagat aneh orang tuanya membuat Kai penasaran.
Anjas menghela nafas panjang sebelum akhirnya mulutnya mulai bergerak.
"Apa ... apa kamu sudah memiliki kekasih?"
Deg.
Kai sudah membatin sejak tadi, ternyata benar dugaannya.
"Jangan mengelak kalau Papimu sedang bertanya."
Belum sempat Kai membuka suara, tapi sang ibu sudah memberikan peringatan.
"Cukup jawab saja!" seru Rima lagi.
"Belum." Kai menggeleng.
"Tuh, kan Papi. Benar kan dugaan Mami?" Rima begitu panik.
"Memangnya Mami menduga apa?" Kai memangku tangannya seraya menunggu jawaban dari wanita yang telah melahirkannya itu.
"Mamimu mengatakan kalau kau gay."
Sedetik kemudian Anjas meringis ketika mendapatkan hadiah berupa sebuah pukulan di lengannya.
"Kenapa Mami memukul Papi!" seru Anjas tak terima.
Rima tidak ingin Anjas membawa-bawa namanya saat pria itu menanyakan hal tersebut pada Kai.
Sementara Kai terbahak.
"Jangan tertawa," ucap Rima galak. "Cukup jawab saja pertanyaan Papimu."
'Awas saja kalau sampai ketahuan kau seorang gay, Mami sendiri yang akan membunuhmu Kai.' geram Rima.
"Tentu saja tidak, Mi. Mami sama Papi yang benar saja, masa anak tampan begini dibilang gay. Ada-ada saja." Kai menyeka sudut matanya yang berair akibat tawanya.
"Mana buktinya!" tantang Rima.
"Ya ampun, memang bagaimana aku bisa membuktikannya, Mi. Mami aneh."
"Bawa gadis itu kehadapan Mami dan Papi. Mami tidak peduli siapapun itu, cepat kenalkan wanita yang akan kamu nikahi."
"Mami pikir semudah itu apa mencari calon istri," tukas Kai. "Kai perlu waktu, Mi."
"Tidak bisa, Mami sudah sering mendengar alasan seperti itu sebelumnya," tolak Rima. Tak ingin tertipu untuk kesekian kalinya.
Wanita itu melirik suaminya, mengkode agar pria itu melakukan sesuatu.
"Ya sudah kalau begitu. Papi beri waktu untuk kamu membawa calon istri atau pacar kamu dan mengenalkannya pada kami," sela Anjas.
"Baik." Kai mengangguk.
"Kapan?" cecar Anjas.
Rima bersorak girang melihat suaminya yang bertindak tegas kali ini.
"Satu bulan. Beri Kai waktu satu bulan," ucap Kai mantap.
"Dua minggu," tawar Anjas.
"Dua minggu terlalu cepat Pi," rajuk Kai.
"Terserah, Papi hanya memberimu waktu dua minggu. Jika dalam tenggat waktu itu kau tidak membawa kekasihmu ke rumah ini, jangan salahkan Papi dan Mami jika kami menjodohkanmu dengan gadis yang kami pilihkan untukmu."
Kai terkesiap mendengar penuturan ayahnya.
"Tapi ...,"
"Tidak ada tapi-tapian Kai," potong Anjas. "Kami sudah tua, kami memutuskan untuk menetap disini dan menjalani hari tua kami dengan cucu yang lucu. Tolong jangan pikirkan pekerjaanmu saja tapi sekali-kali pikirkanlah perasaan kami. Kami iri dengan teman kami yang sudah memiliki cucu. Papi tahu kau begitu menyukai pekerjaanmu tapi ingat, kau juga memiliki kehidupan pribadi. Apa kau tidak ingin membina rumah tangga? Kau tidak iri melihat teman seusiamu yang sudah menggendong anak?"
Kai terdiam, ditatapnya lekat manik mata pria yang telah membuatnya hadir ke dunia.
"Mamimu hampir setiap malam menangis sebelum tidur. Ada banyak ketakutan yang membuatnya tak bisa tidur, salah satunya itu, beranggapan kalau kamu gay. Saking parahnya Mam sampai mengira kalau pacar tak lazimmu itu adalah Gibran."
"Mami yang benar saja," cebik Kai.
"Kami akan memilihkan gadis terbaik untukmu," sambung Anjas.
"Tidak perlu," tolak Kai. "Aku sudah memiliki gadis idaman yang sesuai dengan keriteriaku."
"Sungguh?"
Rima berteriak, saking senangnya wanita itu sampai bangun dari tempatnya dan beralih mendekati Kai.
"Aku tidak pernah membohongi Mami ataupun Papi."
Rima mengecup kening putranya begitu memastikan jika anak itu tulus mengucapkannya.
"Kau membuat Mami takut. Kenapa tidak sejak lama saja kau mengatakannya pada kami," cicit Rima.
"Aku akan memberikan banyak cucu untuk kalian."
Kai bangkit, lalu berjalan menuju anak tangga yang membelit rumah tersebut.
"Kai lelah, mau istirahat. Bukankah untuk menikahi anak orang, Kai harus bekerja keras?" ucapnya tanpa menoleh.
Anjas bangkit mendekati istrinya, keduanya saling berpelukan sambil memandangi Kai hingga pria itu luput dari jangkauan mata kedua orang tuanya.
Bersambung ....