16. Cinta atau bukan?

1271 Kata
Mobil berwarna putih yang dikendarai oleh Nadira mulai memasuki pelataran rumahnya, gadis itu bergegas turun dari sana dan buru-buru masuk ke dalam rumah. Dia sudah membayangkan betapa nyamannya tidur dalam kasur yang hampir seminggu ini tidak dia tempati itu, sejak masih di rumah sakit. Waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa sudah hari ke tiga, Arif pulang dari rumah sakit. Bobby yang merupakan dokter sekaligus teman Nadira itu mengatakan jika kondisi kesehatan Arif sudah membaik jadi sudah tidak ada lagi alasan baginya menahan Arif lebih lama lagi. "Baru pulang, Nak?" tegur Mutia yang kala itu sedang berbincang santai dengan suaminya di ruang keluarga. "Iya, Mah. Untung jalanan tidak terlalu ramai jadi Dira bisa pulang tepat waktu. Papah belum tidur?" Nadira melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. "Sudah malam lho," imbuhnya. "Kau pikir Papah bayi apa? Tanpa diberitahu pun Papah sudah tahu jika hari sudah malam." pria tua itu menepuk sofa disebelahnya, menyuruh putrinya agar duduk di sana. "Pah, Papah kan baru sembuh. Sudah berulangkali Dira bilang jangan begadang, kan?" omelnya. Arif terkekeh mendapatkan omelan dari putri kesayangannya. "Baru juga jam sebelas," celetuk Arif. "Mah," protes Nadira pada Mutia. Gadis itu bersikap bak anak kecil yang sedang mengadukan perbuatan nakal temannya pada Ibunya. "Sampai berbusa mulut Mamah untuk membujuk Papahmu istirahat. Kau seperti tidak tahu Papahmu saja," jawab Mutia. Arif terbahak kali ini, dilihatnya Nadira terus mencebikkan bibirnya begitu mendengar jawaban dari istrinya. "Kalian pasti sekongkol kan?" serang Nadira lagi. Sontak tawa pasangan suami istri itu pecah secara bersamaan. Bahu keduanya sampai bergetar hebat akibat tawa yang tak kunjung reda. Terlihat Arif menyeka sudut matanya yang basah karena terlalu lamanya tertawa. Nadira tercenung, ada sebuah perasaan yang sulit dia definisikan ketika melihat orang tuanya tertawa begitu lepasnya, seolah tidak memiliki beban apapun. Dia sampai lupa kapan terakhir dia melihat saat-saat seperti ini. Rasanya sudah cukup lama. "Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku?" Suasana mendadak hening selepas Nadira mengatakan hal tersebut. Gadis itu lalu menarik nafas dalam-dalam, dapat dipastikan jika dirinya akan disidang saat ini juga. "Sebenarnya ...," ucap Mutia menggantung. "Tidak masalah Mah, Pah. Katakan saja apa yang ingin kalian bicarakan. Memang sudah seharusnya kita bicara dari hati ke hati," cetus Nadira. "Kau benar, kita memang harus bicara. Masih banyak hal yang belum kami ketahui Nak. Mamahmu ini terlalu mengkhawatirkan Papah padahal Papah baik-baik saja," kata Arif. "Bagaimana Mamah nggak takut, Papah sampai kena serangan jantung. Tentu saja Mamah cemas," tukas Mutia. "Papah hanya begitu terkejut saat itu dan sekarang Papah ingin mendengarkan langsung dari mulut anak Papah sendiri." Nadira menghirup nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Dia ingin mempersiapkan mental terlebih dulu untuk bisa menghadapi sesi tanya jawab dari orang tuanya. Dia tahu jika sudah begini, ayahnya akan berubah seperti oknum polisi yang tengah menginterogasi tahanannya. "Ya, Dira sudah siap, Pah ... Mah," balasnya mantap. "Jadi kalian benar-benar sepakat untuk membatalkan rencana pernikahan ini?" tanya Arif, pria itu harus berhati-hati ketika menanyakan pertanyaan sensitif seperti itu. Nadira mengangguk. "Lebih tepatnya Alby yang memutuskan untuk membatalkan pernikahan ini, Pah." "Masalahnya?" Nadira yang sejak tadi menunduk, kini memberanikan diri menatap Arif dan juga Mutia secara bergantian. Gadis itu terdiam dan kelihatan sedang berpikir keras. Salah bicara sedikit saja bisa menimbulkan masalah baru. "Papah tidak akan memaksamu jika memang itu menyangkut masalah pribadi yang mungkin kamu tidak rela membaginya dengan kami," ujar Arif. "Bukan begitu, Pah. Masalahnya aku nggak mau menceritakan aib seseorang." "Jadi ...," kening Mutia berkerut. Nadira menggendikan bahunya. "Ya sudah kalau begitu. Apa kita perlu mendatangi keluarga besar Alby untuk meminta kejelasan atau bagaimana?" "Tidak perlu, Pah. Alby bilang dia sendiri yang akan mengatakan semuanya pada keluarga besarnya. Aku mohon sama Papah dan Mamah, kalau bisa ... jangan sampai kita berurusan lagi dengan mereka. Aku sudah nggak mau mengingat mereka lagi karena hal terkecil tentang mereka akan bisa mengingatkan aku pada Alby." Mutia meraih jemari putrinya lalu meremasnya pelan, seolah mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. "Tidak ada yang salah denganmu, Papah yakin. Kalian hanya tidak berjodoh dan Papah yakin kamu pasti akan menemukan jodohmu. Laki-laki baik yang memang telah diciptakan untuk mendampingi hidupmu," ujar Arif membesarkan hati putrinya. "Mamah setuju dengan pendapat Papahmu. Pasti ada sesuatu dibalik semua ini, dan apapun itu yang pasti kami sebagai orang tua akan selalu menyayangi dan mendukung setiap keputusanmu," hibur Mutia. Ketiganya berpelukan. Arif mengecup puncak kepala istrinya bergantian dengan Nadira. Apapun masalah yang dihadapi, tidak akan terasa berat jika dilalui bersama. Awalnya gadis itu ketakutan dengan asumsinya sendiri, dia pikir orang tuanya akan memberikan reaksi berlebihan. Namun semua ketakutannya lenyap seketika melihat respon yang sangat baik dari kedua orang tuanya. Lebih dari itu, mereka justru malah mendukung setiap keputusan Nadira. . . . Kai sedang duduk sambil mengecek beberapa file penting pada laptop yang tengah dipangkunya. Dia harus mengejar waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda selama dirinya dirawat di rumah sakit. Padahal selama menjalani rawat inap, Kai pun tak pernah absen dari pekerjaannya, tapi ya beginilah resiko menjadi seorang CEO. Ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, tak kenal waktu dan hari. Tak jarang weekend yang sering digunakan untuk istirahat bagi kebanyakan orang, menjadi hal yang langka bagi seorang Kai. Percayalah, sejujurnya pekerjaan menjadi seorang pebisnis itu tidaklah mudah. Pada kenyataannya, kehidupan Kai sangat jauh berbeda dengan kehidupan seorang CEO yang sering ditulis dalam sebuah novel. Seorang CEO yang suka bergonta-ganti teman ranjang, yang hobi pergi ke club malam. Yang bisa berleha-leha kapanpun dia mau, melihat belahan d**a dan b****g seksi para wanita yang kesehariannya dekat dengannya. Kai pengecualian. Jangankan memiliki waktu untuk menggoda para gadis yang dia temui, melihat b****g-b****g seksi dan wanita dengan baju berbelahan d**a rendah, bisa merasakan santai satu hari saja tanpa dipusingkan dengan pekerjaan sudah luar biasa membahagiakan baginya. Pria itu menoleh ketika mendengar derap langkah seseorang yang mendekat ke arahnya. "Semuanya sudah beres, Tuan. Kita bisa berangkat sekarang," ucap orang itu yang ternyata Gibran. "Hm. Ayo!" Kedua pria itu berjalan beriringan. Sudah dua hari ini mereka berada di Hongkong untuk urusan pekerjaan dan hari ini setelah semua tugas selesai, mereka hendak kembali ke negeri asalnya. "Kita sebenarnya bisa pulang besok, ini sudah tengah malam tapi sepertinya Anda sudah tidak sabar untuk segera kembali," ujar Gibran. "Jadi kau masih ingin tinggal disini? Baiklah, aku bisa pulang sendiri dan kau bisa tinggal disini sampai kapanpun kau mau," tukas Kai. "Saya tidak berkata demikian, hanya saja sepertinya Anda sudah tidak sabar untuk segera sampai di rumah. Untunglah kita memakai jet pribadi, kalau tidak ... mana ada jadwal penerbangan komersil di jam seperti ini," sergah Gibran. "Jangan bersikap kampungan, Gibran. Memang kamu sudah berapa lama bekerja denganku?" tanya Kai dengan nada menyindir. Sepanjang perjalanan Kai tak bisa memejamkan matanya barang semenit pun. Angannya terus saja mengembara jauh yang berakhir dengan munculnya sosok gadis cantik yang selalu berhasil menyita perhatiannya. Selalu seperti itu. Rasanya dia sudah tak sabar untuk dapat segera berjumpa dengan Nadira, padahal baru dua hari dia tidak menemuinya tapi entahlah. Kai merasa ada sesuatu yang kurang. Kai melirik Gibran yang berada disebelahnya, asisten pribadinya telah tidur pulas dengan selembar selimut yang menutupi tubuhnya. Kai merogoh ponsel dalam saku kemejanya lalu mulai menggulir layarnya. Pria itu menampilkan senyum begitu melihat foto seseorang yang dia jadikan sebagai wallpaper. Seorang gadis yang tengah tersenyum sambil menyelipkan anak rambutnya di balik telinga. Foto itu berhasil Kai dapatkan ketika Nadira selesai memeriksa pasien. Secara tersembunyi tentunya. 'Aku tidak tahu apakah yang aku rasakan saat ini adalah cinta atau bukan karena aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Satu hal yang pasti, aku selalu ingin bisa melihatmu setiap hari bahkan setiap waktu.' Kai membatin sambil terus mengusap layar ponselnya penuh kelembutan, seolah dia benar-benar sedang membelai wajah Nadira. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN