Nadira meletakkan gelas kosong ke tempat semula, setelah menandaskan isinya terlebih dulu. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu kursi sembari memejamkan mata. Rasanya ia perlu meminum pil pereda nyeri. Sepanjang memeriksa pasien tadi ia terus merasakan sakit pada bahunya dan itu sangat mengganggu.
Baru saja dia hendak bangkit mengingat dirinya masih harus mengecek pasien, sudah terdengar ketukan pintu dari luar. Dia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat siapa yang datang.
"Dok," lirihnya hampir tak terdengar.
"Boleh saya masuk?"
"Tentu saja," sahut Nadira datar.
"Kenapa Anda selalu memasang tampang begitu setiap kali kita bertemu? Memang saya ini hantu apa?"
Dokter Jeremy menarik bangku dan menghempaskan bokongnya di sana tanpa seizin Nadira.
"Bukan begitu, hanya saja saya kira pasti ada sesuatu yang mendesak hingga membuat Anda menemui saya, Dok."
Jeremy terkekeh melihat ekspresi wajah Nadira, terlihat sekali gadis itu menampilkan wajah waspada. Seolah kehadiran dirinya di sana membawa sebuah masalah.
"Anda berlebihan. Kita ini rekan jadi tidak ada sesuatu yang aneh jika kita sering bertemu kan."
"Tapi firasat saya mengatakan Anda akan melimpahi saya sesuatu yang memberatkan," tebak Nadira.
Nadira berjengit manakala melihat Jeremy tertawa seperti itu. Pasalnya, pria berusia 34 tahun itu baru pernah tertawa lepas di depan Nadira. Gadis itu sampai menggelengkan kepalanya heran. Memang bagian mana dari ucapannya yang mengandung unsur lawak?
Mendapatkan sorotan tajam dari bawahannya membuat Jeremy tersadar, setengah mati dia menahan tawanya agar tak kembali meledak. Gadis itu selalu saja membuatnya tercengang dengan segala pemikirannya. Seperti sekarang ini, bagaimana bisa Nadira mengetahui maksud kedatangannya kemari sementara dia sendiri belum sempat mengatakannya.
"Selain cerdas apa Anda memiliki indra ke enam? Anda membuat saya semakin takjub saja," puji Jeremy.
"Hm, sudah kuduga." Nadira bersungut, menyadari tebakannya benar.
"Baiklah, karena Anda sudah mengetahui alasan saya kemari jadi saya rasa saya tidak perlu lagi berbasa-basi."
Nadira mengangguk. "Jadi ...."
"Saya mau meminta bantuan Anda." Jeremy mengecilkan volume suaranya.
"Bantuan?" kedua alis hitam nan lebat milik gadis itu saling bertautan.
"Hm. Anda tahu pasien VVIP kan?"
Nadira manggut-manggut, dia paham pastilah yang sekarang sedang dibicarakan oleh Jeremy, adalah Kai.
"Tolong bantu beri pengertian pada pasien itu."
"Memangnya kenapa?" tanya Nadira masih belum bisa menangkap arah pembicaraan dokter tampan berkacamata, dihadapannya.
"Anda tahu, dia itu pasien yang menyebalkan. Hampir setiap hari, setiap jam dia terus menganggu saya," beber Jeremy.
"Jadi?"
"Tolong bujuk dia agar mau pulang, dia hanya mengalami sakit punggung biasa yang bahkan tidak memerlukan perawatan intensif. Pasien saya bukan hanya dia, bisa gila saya jika terlalu lama berhadapan dengan orang itu."
Nadira terdiam, gadis itu masih menyimak setiap ocehan Jeremy dan menanggapinya serius.
"Dia menghubungiku hampir setiap jam, ah tidak. Dalam satu jam saja dia bisa meneleponku sampai lima kali," ralatnya sembari menunjukkan kelima jarinya. "Jika itu sesuatu yang penting aku tidak akan mempermasalahkannya. Dia mungkin seumuran adikku, dia pebisnis sukses, tapi aku tetap saja dibuat heran. Bagaimana bisa dia menangani perusahaannya sementara di sisi lain dia sungguh kekanak-kanakan."
Mendengar penuturan Jeremy membuat Nadira ingin tertawa sebenarnya. Dia belum pernah terlibat perbincangan santai selain membahas masalah pekerjaan seperti sekarang ini. Dia sungguh melihat sisi lain dari seorang Dokter Jeremy, dokter yang terkenal tertutup dan pendiam di mata orang-orang. Itu juga yang membuat orang mengira pria di depannya itu betah melajang di usianya yang tergolong matang. Jeremy terkesan menutup diri dari banyaknya pesona gadis rupawan yang ada di sekelilingnya.
"Saya tidak janji," sahut Nadira.
"Hah." Jeremy mendesah panjang. Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia terlihat begitu frustasi dan itu membuat Nadira tidak tega.
"Anda sudah paham betul mengenai pasien itu, saya sendiri tidak yakin."
"Justru karena itu aku meminta bantuanmu. Ah ... lupakan soal pembicaraan formal, aku sungguh stress saat ini," ucap Jeremy putus asa. "Aku pernah sekali melihatmu menjinakkan hati seorang mafia yang terluka sewaktu di IGD, apa kau ingat?"
Nadira memundurkan tubuhnya dari meja kerja. Angannya kembali melayang pada kejadian satu tahun lalu dimana saat itu dia baru saja mulai mengabdikan diri di rumah sakit ini. Gadis itu berada di rumah sakit lain sewaktu menjalani koas.
"Aku yakin kali ini kamu juga bisa, ya ... kumohon," pinta Jeremy memelas.
Persetan dengan bahasa formal yang selalu mereka gunakan selama ini, posisinya saat ini benar-benar sedang terjepit hingga merasa itu sudah tidak penting lagi. Yang terpenting adalah menyelematkan kebebasannya.
Nadira menyerah, mau tidak mau dia harus menuruti permohonan atasannya. Dia tak mau ambil pusing mengenai latar belakang hubungan antara Jeremy dan Kai, mengingat pria itu sepertinya ketakutan jika membicarakan tentang Kai, itu sebabnya dia tidak mengajukan pertanyaan apa-apa. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah segera melaksanakan tugasnya agar cepat selesai dan dia bisa istirahat lebih awal.
.
.
Kai merasa begitu senang melihat kedatangan gadis bermata cokelat bak kacang almond yang telah lama dinantikan olehnya. Matanya tak lepas barang sedetik pun dari wajah gadis itu.
Wajahnya yang berbentuk oval dengan sapuan make up tipis, bibir yang merekah semerah buah ceri ranum. Rambut panjangnya yang tergerai bebas menyeruakan aroma mewangi, ketika Nadira melakukan hal kecil dengan menyelipkan anak rambutnya yang menjuntai di balik telinga pun, entah kenapa selalu terasa mendebarkan bagi seorang Kai. Tidak hanya rambutnya saja, aroma tubuh gadis itu pun mampu menggetarkan hati Kai, dan Kai paham betul jika harum itu bukan berasal dari parfum.
Belum lagi penampilannya yang anggun, tubuh semampainya yang hanya dibalut dengan dress selutut warna peach yang menampilkan kaki jenjang. Kai benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesona gadis itu.
"Semuanya normal."
Kai terkesiap begitu Nadira melepaskan tensimeter dari lengannya, dia sampai tidak menyadari kalau ternyata Nadira telah selesai dengan tugasnya.
"Hm, begini ... jika dirasa sudah tidak ada keluhan apa-apa lagi, sebaiknya ...,"
"Aku mau pulang," sambar Kai.
Nadira dibuat tertegun dengan pernyataan mendadak pria dihadapannya. Matanya terus menatap intens tepat di netra Kai, seolah meminta penjelasan.
"Aku sudah sembuh, dan lagi aku sudah tidak nyaman berada di sini ditambah lagi pekerjaanku yang sudah menumpuk," jelas Kai.
'Tidak nyaman, hah ... memang dia pikir ini hotel apa? Ini kan rumah sakit dan tentu saja tempat menginapnya pesakitan. Memang mana ada rumah sakit yang membuat orang nyaman sekalipun dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas. Yang benar saja.' Nadira membatin.
"Sampai kapan kau akan terus memegangi tanganku?"
Reflek Nadira segera mengangkat jemarinya yang sejak tadi mendarat di tangan Kai.
"Baiklah, akan saya resepkan vitamin untukmu."
Gadis itu meraih secarik kertas lalu mulai membubuhkan tintanya di sana. Matanya sedikit menyipit begitu melihat nama lengkap pasien pada gelang yang dipakai oleh Kai. Menyadari ada satu hal yang dia lewatkan.
'Hyuningkai Adyasta Wijaya. Tunggu ... dia menyandang nama Wijaya di belakang namanya, ada hubungan apa dia dengan pemilik rumah sakit ini? Pantas saja Dokter Jeremy seolah ketakutan jika menyangkut pria ini.'
Nadira merasa tak sopan jika harus menanyakan perihal tersebut jadi dia lebih memilih untuk memendamnya.
"Nah, Tuan."
"Jangan memanggilnya begitu, dia itu asistenku."
Nadira berjengit ketika Kai menginterupsi dirinya yang menyebut Gibran dengan panggilan 'tuan' seraya menyodorkan secarik kertas, seolah pria itu amat tidak rela Nadira melakukannya.
"Kau cukup memanggilnya 'Gibran' saja."
Lagi-lagi gadis itu dibuat heran saat Kai menekankan kata terakhir. Jika dia membantah, akan semakin mempersulit dirinya.
"Ya, sesuai dengan permintaanmu saja." Nadira mendengus kesal, beralih menatap Gibran. "Tolong kau tebus obatnya dan pastikan tuanmu rutin meminumnya, OK?"
"Baik, Dok."
"Ingat, jangan terlalu sering begadang. Jangan sampai telat makan, kau punya masalah dengan lambungmu aku tahu betul itu. Kau bisa sakit jika sampai terlambat mengisi perutmu." gadis itu beralih menatap Kai.
Pria itu tersenyum menanggapi ocehan Nadira, itu dilakukan olehnya selayaknya dokter menasehati pasien pada umumnya akan tetapi Kai merasa ada yang berbeda.
Mungkin akan lebih baik jika peringatan itu diucapkan oleh seorang istri terhadap suaminya.
"Saya masih harus memeriksa beberapa pasien lagi," ucapnya sambil mendorong bangkunya ke belakang.
"Gibran, ingat pesanku tadi. Kau wajib menjaga pola makan atasanmu, aku yakin dia tipikal orang yang abai. Pastikan juga untuk tidak membiarkan dia terus bekerja keras sampai lupa waktu. Jika perlu, ingatkan dia kalau dia itu manusia dan bukannya robot."
Gibran mengangguk.
"Tidak mulai saat ini," celetuk Kai. "Aku pasti akan menjaga diriku sendiri dengan baik," imbuhnya.
'Lebih menyenangkan jika bertemu denganmu dalam keadaan sehat.'
Bibir pria itu terus melengkung ke atas, ada sebuah senyum yang tak bisa diartikan.
"Saya harus pergi. Saya akan lebih senang jika kita bertemu sebagai teman daripada bertemu menjadi seorang dokter dan pasien. Selamat pulang, semoga harimu menyenangkan."
Gadis itu mengambil langkah meninggalkan ruangan tersebut. Namun, tepat pada saat kakinya telah sampai di ambang pintu, Nadira membalikkan badannya.
"Kai."
Yang dipanggil pun menoleh ke arah sumber suara.
"Kau lupa menyampaikan sesuatu?" tebak Kai.
"Ya," balas Nadira singkat.
"Apa itu?"
"Kau memiliki nama yang indah," sahutnya kemudian.
"Apa?"
"Namamu sangat indah," ulang Nadira.
Gadis itu melanjutkan langkahnya tanpa menoleh. Ia pun tersenyum ketika didengarnya Kai yang berteriak memuji namanya.
Ada semburat merah yang muncul di pipi Kai. Sepeninggal Nadira, pria itu lalu berbaring dengan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Kakinya menendang-nendang tak karuan sambil menjerit kecil kegirangan.
Gibran sungguh tak percaya kalau yang dilihatnya saat ini adalah benar Kai, pria yang sudah lebih dari lima tahun ini menjadi atasannya.
Bersambung ....