14. Insiden Kecil

1773 Kata
Kai mengucek matanya, bias sinar matahari yang menerpa wajahnya membuatnya silau. Lampu kamar telah dimatikan, dan ketika dia mengedarkan pandangannya, dia tidak menemukan sosok dua orang yang amat disayanginya itu, berada dalam kamarnya lagi. 'Kemana perginya Mami dan Papi pagi-pagi begini.' batinnya. Pria itu menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya lalu masuk ke dalam bilik kecil untuk membersihkan diri. "Nak, Sayang ...." panggil Rima. Wanita itu sedikit terkejut ketika dia tak melihat putranya, padahal sebelum keluar tadi, Kai masih tertidur pulas. Pintu kamar mandi berderit dan pria tampan berusia 30 tahunan itu muncul. "Mami kira kau kemana." "Harusnya Kai yang bertanya, Mami sama Papi darimana?" balasnya sambil naik ke atas ranjangnya. "Papi ...." ucapnya menggantung ketika tak melihat sosok ayahnya. "Tadinya kami hanya berniat berkeliling untuk mengecek keadaan rumah sakit ini, tapi akhirnya Papimu memutuskan untuk pulang," ujar wanita paruh baya itu. "Kenapa Mami tidak ikut pulang?" "Jadi kau mengusir Mami?" desis Rima seraya mendelik. "Mami akan lebih leluasa jika istirahat di rumah. Senyaman apapun rumah sakit, tetap lebih nyaman di kamar sendiri," beritahu Kai. "Rencananya nanti gantian. Mami tunggu Gibran datang dulu biar bisa jagain kamu." suaranya mulai melunak. "Memang aku anak kecil?" Kai menggerutu. "Kalau kau bukan anak kecil lagi, sudah sejak lama kau mengenalkan seorang gadis yang akan mendampingi hidupmu, pada Mami dan juga Papi," ujar Rima membelokkan pokok pembicaraan. "Apa tidak ada pembahasan lain selain itu?" balas Kai. Pria itu memutar bola matanya malas, dia sungguh tidak suka jika sudah membahas mengenai masalah pernikahan. "Berapa usiamu sekarang? Disaat orang lain sudah memiliki keluarga, kau masih saja sibuk bekerja," oceh Rima. "Memang kenapa dengan umurku? Ada yang salah dengan pekerjaanku?" "Tidak. Di kantor tentu banyak gadis cantik kan? Kalaupun tidak ada, pasti ada salah satu rekan bisnis atau kenalan wanita yang cantik yang bisa kamu jadikan istri kan?" telisik Rima. "Aku ini seorang CEO, pekerjaanku banyak dan aku tidak punya waktu untuk sekedar mendekati wanita yang Mami sebutkan tadi," balas Kai menyombongkan diri. "Justru karena kau seorang CEO, kau pebisnis sukses makanya kau harus segera memiliki pendamping. Mami takut kau tersesat dalam pergaulan bebas. Kebanyakan anak zaman sekarang itu suka gonta-ganti pasangan atau teman ranjang, terlebih jika pria itu berkantong tebal." "Aku pengecualian. Memang Mami pikir aku pria macam apa? Aku bukan pria murahan, Mi. Aku lelaki terhormat, dan yang paling penting adalah aku Limited edition. Enak saja Mami sembarangan bicara." Kai menekankan setiap ucapannya namun masih dengan nada yang masih lembut di dengar. Rima terkekeh, tidak sia-sia dia dan juga suaminya mendidik putranya dengan ketat. Dia yang semula hanya menguji Kai pada akhirnya dibuat kagum dengan jawaban putra semata wayangnya itu. "Siapa yang tahu, Mami kan hanya berasumsi," godanya lagi. "Tapi asumsi Mami tidak memiliki dasar yang jelas dan itu sama saja menjelekkan nama baikku." Tawa Rima meledak hingga terdengar memenuhi ruangan itu. Sungguh, dia teringat akan suaminya saat ini. Kai begitu mirip dengan ayahnya, keduanya benar-benar memiliki sifat yang sama persis. "Jangan terlalu lebar, Mi. Takut lalat masuk," goda Kai. "Kau ini!" Sesaat kemudian Kai merasa lengannya seolah tersengat. Rima menghadiahi capitan panas di sana akibat dari kejahilannya menggoda wanita yang telah melahirkannya itu. "Aku ini sebenarnya anak Mami atau bukan? Kenapa Mami selalu bersikap kejam padaku," cicitnya menampilkan wajah memelas. "Tentu saja, Nak. Kau satu-satunya putra kesayangan Mami, apa perlu kau bertanya begitu?" "Aku pikir bukan," canda Kai. Pria itu menampilkan barisan giginya yang rapi. Keduanya tertawa renyah bersamaan hingga tak menyadari jika Gibran telah datang. Berulangkali pria itu mengetuk pintu namun tidak ada yang menyahut, membuatnya langsung masuk ke dalam ruangan itu. "Eh, kau sudah datang?" tanya Rima berbinar. "Ya, Nyonya. Tidak ada yang mendengar saya mengetuk pintu, jadilah saya langsung masuk saja." "Tidak masalah. Bagaimana tidurmu, nyenyak?" "Berkat Nyonya." Pria itu mendekat. "Selamat pagi, Tuan," imbuhnya sambil membungkuk. "Hm." Kai berdehem. "Sayang, karena Gibran sudah datang, Mami pulang dulu ya. Nanti Mami kesini lagi," pamit Rima pada putranya. "Tidak perlu, Mi," usul Kai. "Heh, kenapa?" "Kai sudah merasa lebih baik. Rencananya Kai mau pulang hari ini," jelas pria itu. "Ya sudah, kita liat saja nanti." Beralih menatap Gibran. "Saya pulang dulu, titip anak saya." "Dengan senang hati, Nyonya." Kai menggelengkan kepalanya dengan bibir mengerucut. Memangnya dia anak kecil apa pakai acara dititipkan segala. . . Nadira baru saja keluar dari sebuah minimarket yang terletak di seberang jalan rumah sakit, Mutia memintanya membelikan tisu basah juga makanan ringan. Gadis itu menyusuri jalan dengan membawa dua buah kantong plastik yang berisi penuh barang pesanan ibunya. Dia hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit untuk sampai ke bangsal perawatan ayahnya. Ketika dia baru saja menyeberang jalan, ia menyadari kalau papan reklame yang berada di tepian seolah bergoyang-goyang. Angin di musim kemarau memang seringkali bertiup lebih kencang dari biasanya. Mata gadis itu membeliak ketika menyadari papan tersebut semakin berguncang, jantungnya berpacu makin cepat manakala ia melihat seorang wanita paruh baya yang tepat berada di bawah papan tersebut, tak menyadari bahaya yang sedang mengancam nyawanya. Wanita itu terlihat begitu sibuk dengan ponselnya. Nadira berlari begitu menyadari papan telah roboh dan hampir menimpa wanita berbaju abu-abu itu. Brug! Gadis itu memejamkan matanya, sementara wanita paruh baya yang ditolongnya menjerit. Untunglah Nadira datang tepat waktu, secepat kilat dia menarik tangan wanita tua itu hingga membuat keduanya tersungkur dengan posisi wanita itu yang menindih Nadira. "Nyonya baik-baik saja?" tanya Nadira masih dengan posisi tubuh di atas aspal. "Ya, saya baik-baik saja." wanita paruh baya itu menyahut seraya membenahi posisinya. Nadira meringis begitu merasakan nyeri pada bahu kanannya yang ia gunakan untuk menopang berat badannya. Benturan ketika dia jatuh cukup keras karena saking paniknya dia hingga dengan kuat wanita paruh baya itu. "Sepertinya kamu yang terluka, Nak." Wanita itu begitu panik melihat Nadira meringis kesakitan. Ia membantu Nadira untuk berdiri meskipun ia sendiri kepayahan. Beberapa orang yang sedang melintas pun sempat membantu keduanya berdiri. "Ayo kita masuk, saya bisa menyuruh dokter untuk mengobatimu. Kau terlihat sangat kesakitan, bagian mana dari tubuhmu yang terluka?" ulang wanita itu. "Ah ... tidak perlu, Nyonya. Saya tidak apa-apa. Nyonya tidak apa-apa kan?" Nadira kembali bertanya. "Saya jelas tidak apa-apa, kenapa kau begitu menghawatirkanku sementara kau sendiri terluka," balasnya, panik. "Sungguh Nyonya, memang sedikit nyeri tapi mungkin akibat terjatuh tadi tapi ini tidak buruk Nyonya," sanggah Nadira. "Tidak, saya harus membawamu ke dalam, kau harus diperiksa." Wanita paruh baya itu terus membujuk Nadira agar gadis itu mau diperiksa oleh dokter akan tetapi Nadira bersikeras menolak. Di tengah perdebatan kecil yang terjadi diantara mereka, datanglah sebuah mobil mewah berwarna hitam yang berhenti tepat di sana. Seorang pria tua muncul setelah membuka pintu bagian depan mobil tersebut. Jika dilihat dari penampilannya, Nadira bisa menyimpulkan jika pria itu merupakan seorang supir pribadi. "Nyonya, mohon maaf saya terlambat," ucapnya dengan tubuh membungkuk hormat. "Tidak apa-apa, Pak." Wanita paruh baya itu beralih menatap Nadira. "Kau sungguh tidak apa-apa?" "Tidak apa-apa, Nyonya. Saya bersyukur karena Anda juga tidak mengalami luka." "Ini semua berkat pertolonganmu." Wanita itu kemudian merogoh tas tangan mahal berbahan kulit buaya dari pabrik tas ternama dunia. Mengangsurkan tumpukan uang kertas yang ia ambil dari dompetnya, pada Nadira. Namun gadis itu dengan tegas menolak. "Ambillah! Anggap sebagai ucapan terimakasih saya padamu," pinta wanita itu. "Tidak perlu Nyonya. Saya tidak mengharapkan imbalan apapun," tolak Nadira halus. "Saya tahu, tapi tolong terimalah. Saya akan senang jika kamu mau menerimanya," bujuknya lagi. "Tidak, Nyonya. Sungguh, melihat Anda selamat saja sudah membuat saya senang." Wanita itu terus menatap lekat paras cantik gadis di depannya. Untuk beberapa saat lamanya ia begitu terpukau dengan kesederhanaan dan ketulusan yang dapat ia baca dari sorot mata Nadira. "Mari Nyonya, Tuan besar sudah menunggu di rumah," celetuk pria yang diketahui supir wanita itu. "Pergilah Nyonya, sungguh saya tidak apa-apa," ucap Nadira. 'Anak ini benar-benar.' "Baiklah kalau begitu, saya harus pergi sekarang. Terimakasih atas pertolonganmu, saya tidak tahu apa yang akan menimpa saya jika saja kamu tidak menolong saya." Nadira mengangguk. Ia masih berdiri di tempatnya, memandang wanita yang baru saja ia tolong hingga wanita itu masuk ke dalam mobil. Gadis itu memunguti beberapa bungkus makanan ringan yang sempat berhamburan keluar dari kantong plastik yang dibawanya tadi. "Nona, apa kau sudah menikah?" Nadira menoleh begitu mendapat pertanyaan dari wanita yang telah ditolongnya. Ia menggeleng seraya menampilkan senyum terbaiknya. "Sudah memiliki tunangan?" Nadira menggeleng untuk kali keduanya. "Lalu bagaimana dengan kekasih? Apa kau memiliki pacar?" Gadis itu mengernyitkan keningnya, merasa heran dengan pertanyaan konyol macam itu. Namun, Nadira kembali menjawab pertanyaan wanita paruh baya itu dengan sebuah gelengan. "Baiklah kalau begitu, saya pergi. Sekali lagi terimakasih dan semoga harimu menyenangkan." "Anda juga, Nyonya." Dua wanita beda generasi itu saling melambaikan tangan. 'Firasatku mengatakan jika dia gadis yang baik. Aku menginginkan memiliki menantu seperti dirinya. Semoga saja putraku mendapatkan jodoh seperti gadis tadi. Sikapnya yang ramah dan hangat, perbuatannya yang tulus dan juga sopan santunnya yang jarang ditemui pada gadis zaman sekarang.' Wanita paruh baya itu terus memuji Nadira yang tidak hanya memiliki kecantikan fisik semata. Hatinya jauh lebih cantik. Dan sepanjang perjalanan, ia terus mengingat kejadian yang bisa saja merenggut nyawanya tadi. Wanita itu menepak dahinya ketika dirinya teringat akan satu hal. 'Ya ampun, kenapa aku tidak menanyakan namanya tadi. Hah, aku belum terlalu tua tapi daya ingatku mulai memburuk. Dasar payah!' Wanita itu terus mengumpati dirinya jika mengingat kebodohannya. Bisa-bisanya dia lupa menanyakan nama gadis yang telah menolongnya. . . Nadira masuk ruang rawat ayahnya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Gadis itu segera meraih segelas air begitu ia menaruh kantong plastik yang dibawanya, di atas nakas. "Sayang, kenapa bajumu kotor begitu?" tanya Arif. Nadira pun menatap ke sekujur tubuhnya. Lengan, bagian bawah dan bagian belakang bajunya memang terlihat kotor dan dia baru menyadarinya setelah Arif bertanya demikian. "Nak, apa kamu baru saja terjatuh?" tanya Mutia tak kalah paniknya. "Insiden kecil, Mah. Tadi Dira nggak sengaja menolong seorang ibu yang hampir tertimpa papan reklame." "Papan reklame?" "Iya, wanita seumuran Mamah sibuk menelepon seseorang hingga dia tidak menyadari kalau papan reklame yang ada di belakangnya roboh," urai gadis itu. "Ya ampun, lalu bagaimana keadaannya?" "Untung saja Dira berhasil menarik wanita itu, Mah. Dira juga nggak tahu apa yang akan terjadi padanya jika saja Dira terlambat menarik wanita itu." "Syukurlah," Arif menyahut. "Tapi kamu nggak apa-apa kan? Ada yang terluka?" "Tidak, Mah. Jangan terlalu khawatir." Gadis itu melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya. Jam prakteknya akan dimulai lima belas menit lagi. "Ya sudah, Dira pergi dulu ya Mah, Pah. Sudah mau mulai. Nanti begitu selesai, Dira langsung kesini lagi," pamitnya. "Ya. Semangat, Nak." Gadis itu pergi setelah memberikan kecupan di pipi kedua orang tuanya. Karena kejadian papan reklame tadi, ia sempat melupakan orang yang telah mengirimkan nasi tim untuknya, sementara waktu. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN