6

1441 Kata
Sinar matahari mulai menyinari permukaan bumi dengan kehangatannya. Membuat semua orang yang tidur mulai bangun dan melaksanakan aktivitas mereka. Tetapi seorang gadis tampak masih nyenyak tidur diranjang kesayangannya. Masih betah dengan mimpinya yang indah. Hingga sinar mentari masuk melalui jendela yang sudah terbuka lebar membuat gadis itu dapat merasakan hangatnya mentari hari ini. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan bangun dari tidurnya walaupun masih setengah sadar. Ia mengucek-ngucek matanya yang masih terasa berat karena semalaman bergadang hanya untuk membaca semua novel yang ia beli kemarin bersama Lena dan Nadya. Kakinya menyentuh lantai. Ia melihat jendela kamarnya yang sudah terbuka dan menebak pasti Mama-nya lah yang membuka jendela tersebut saat ia masih di alam mimpi. Vanna bangun dan langsung menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan gosok gigi. Ia bisa sesantai ini karena ini hari minggu. Hari dimana ia bermalas-malasan dan gabut tak jelas. Setelah selesai, Vanna menuruni tangga satu persatu untuk menuju lantai bawah. Dilihatnya Mama beserta Papa-nya sedang memakan sarapan mereka. "Pagi Ma, Pa," Sapanya sambil menarik satu kursi disamping Dila. "Pagi juga sayang." Kata Vino dan Dila bersamaan. Dila mengambil satu lembar roti dan menaruhnya dipiring Vanna. "Selai cokelat atau stoberi?" "Tasya rasa sepertinya hari ini cokelat lebih enak." Kata Vanna lalu mengambil selai coklat ditangan Dila dan mengolesnya di roti miliknya. Vino melipat koran yang sedari tadi dibacanya dan menyeruput kopi yang sudah di siapkan Dila didepannya. "Bagaimana sekolahmu Tasya?" Orang terdekat Vanna tidak menyebutnya dengan nama Vanna, melainkan Tasya. Masih dengan mengunyah rotinya, Vanna menjawab. "Baik kok Pa," "Sebentar Papa sama Mama mau kondangan, Tasya kalo mau keluar jangan lupa kunci rumah." "Iya Pa." Jawab Vanna seadanya. Karena hari ini ia sudah menjadwalkan apa yang harus ia buat didalam otaknya. °°° Raffa mengguling-gulingkan dirinya di kasur king size miliknya. Ia tak mempunyai acara hari ini. Pemuda itu lantas menggapai ponsel miliknya di nakas dekat kasur. Diceknya notif aplikasi berwarna hijau dari Jepang tersebut. Tak ada yang istimewa. Kebanyakan dari cewek-cewek disekolahnya yang minta di add back atau berbasa basi dengan kata 'hai'. Jari jempolnya terus men-scroll percakapan dan mendapati pengguna akun yang mulai membuat-nya uring-uringan dan tersenyum tak jelas saat mengingatnya. Dengan telaten, jarinya mengetik apa yang sekarang ada di otaknya. Setelah itu, ia membiarkan ponselnya tergeletak di atas kasur dan ia berjalan menuju kamar mandi yang terdapat didalam kamarnya. °°° Setelah sarapan, Vanna bergegas masuk kembali ke kamarnya. Ia sudah merencanakan apa yang akan ia buat hari ini. Lantas untuk memulai yang telah ia jadwalkan, Vanna berbaring di kasur dan langsung membuka laptop miliknya. Tetapi saat ingin memplay video yang akan ditontonnya, dentingan ponsel yang menunjukan ada notif yang masuk menghentikan niatnya. Diambilnya ponsel miliknya yang ia sengaja simpan di samping laptop dan terpampanglah nama pengguna di layar lock screen miliknya. Ia menekan obrolan tersebut dan menggeser layarnya. Raffa Farellino : Pagi Nat :) Raffa Farellino : Hari ini lo ada acara gak? Vanna Natasya : G Vanna menyimpan ponselnya dan langsung memplay video yang sudah dinanti-nantikannya. °°° Raffa keluar dari kamar mandi dengan celana selutut, bertelanjang d**a, dan rambut yang masih basah. Dibantingnya dirinya sendiri di kasur dan langsung mengambil ponselnya. Senyuman tipis langsung tersungging dibibirnya melihat Vanna yang sudah membalas pesannya. Walaupun hanya satu huruf. Tangannya gatal ingin membalas pesan tersebut dengan cepat. Dan tak butuh semenit, pesannya sudah di send olehnya. Raffa Farellino : Hari ini jalan-jalan yuk. Bebas kemana aja. Kelangit pun gue siap demi lo. Satu menit Dua menit Tiga menit Tiga puluh menit Satu jam Raffa memandang jengkel ponselnya. Dilihatnya pesannya tidak dibalas, di-read pun tidak. Pemuda tersebut lantas tak tinggal diam. Ia langsung menghubungi gadis yang pesannya sedari tadi ditunggunya. By the way, nomor Vanna ia ambil saat ponsel Vanna tertinggal di meja restoran saat akan ke toilet. Bukan maksudnya membuka privasi Vanna. Raffa hanya membuka kontak dan mencari nomor ponsel Vanna. Tak lebih. Tut tut tut Panggilan tersambung, dengan sabar Raffa menunggu panggilannya diangkat. Tut tut tu- "Halo?" "Akhirnya angkat juga." "Siapa ya?" "Gue jemput jam sepuluh." Raffa langsung memutuskan panggilan tersebut dan menuju lemari untuk memilih pakaian yang akan dikenakannya. Ditempat lain, Vanna masih menempelkan ponselnya ditelinga. Masih bingung dengan percakapan tadi. Otaknya saat ini sangat lambat bekerja. Seperti siput. Ia menurunkan ponsel dari telinganya lalu menatap layar ponsel yang menampilkan nomor yang tidak diketahui. "Ini siapa ya? Suaranya cowok. Jemput? Jam sepuluh?" Vanna melihat jam yang tertera dilayar ponselnya. "Lagi satu jam dong. Ih siapa sih? Bikin kepo aja...," Vanna berbicara pada diri sendiri. Mungkin jika ia sedang berada ditempat ramai semua orang sudah menganggapnya gila. Tapi ini salah satu kebiasaanya menyuarakan yang dipikirkannya saat ini jika otaknya berjalan dengan lemot. Menganggap telepon itu hanya sekedar orang iseng, Vanna mengidikkan bahunya acuh lalu memutuskan keluar kamar dan turun kelantai bawah untuk menonton tv. Vanna duduk di depan tv dan mulai mengganti channel. Tangannya berhenti memencet karena saluran tersebut menayangkan salah satu kartun kesukaannya. "Si beruang kasihan banget dah. Ikannya mau hampir dapet eh lepas." "Hahaha. Masha lucu banget." "Bhak. Apaan dah." Vanna terus berkomentar saat menonton. Dan ia tak sadar sekarang sudah sejam ia menonton. Dan saat ia beranjak untuk ke dapur mengambil air minum, suara bel rumah mengurungkan niatnya. Dengan langkah lambat, Vanna berjalan menuju pintu dan membukanya. "Hai Nat." Vanna menatap kaget orang yang sekarang berada dihadapannya. Ngapain Raffa kesini? "Disuruh masuk kek. Ini malah anggurin gue di depan pintu," Vanna tersadar lalu mempersilahkan Raffa masuk. Matanya masih menatap Raffa dengan heran, "Ngapain kesini?" Tanya nya ketika pemuda itu dengan santainya duduk di sofa yang terdapat di ruang tamu. "Kan gue bilang jam sepuluh gue jemput. Lo belum persiapan?" Raffa melihat Vanna dari ujung kaki sampai kepala. Vanna hanya menggunakan kaos polos berwarna hitam dan celana pendek. "Jangan bilang lo pake ini?" Ucapnya membuat Vanna memandangi dirinya sendiri. Otak lemotnya mulai bekerja dan ia langsung teringat telepon itu. "Jadi tadi lo yang nelpon?" Raffa mengerutkan keningnya. "Hooh." Vanna menepuk keningnya karena otaknya yang mulai kambuh, lemot. "Gue kira orang iseng. Tunggu disini gue mau persiapan." Kata Vanna dan langsung lari menuju kamarnya. Melihat itu, Raffa hanya menggelengkan kepalanya. Satu fakta yang ia dapatkan, Vanna orangnya lemot. Setelah menunggu selama dua puluh menit, Vanna muncul dengan celana jeans putih, dipadukan t-shirt hitam dengan sepatu nike dan sling bag. Ini adalah style Vanna. Dia tak sama dengan perempuan yang lain yang harus memakai pakaian anggun dan menarik jika pergi. Karena prinsipnya adalah 'Dirinya bukan diri orang lain.' Ia tak suka jika mengikuti gaya orang, karena ia juga mempunyai gaya tersendiri. Ia tak pernah mengubris orang yang mengatainya, toh itu mulut mereka. Jadi mereka bebas. Dengan penampilan itu saja membuat Raffa tak berkedip. Menurutnya Vanna adalah adalah perempuan pertama yang jalan dengannya menggunakan pakaian seperti itu. Ia biasa menghabiskan waktu ke restoran bersama Vanna saat pulang sekolah dan masih lengkap menggunakan seragam. Biasanya perempuan yang ia ajak jalan dulu selalu menggunakan dress mini. Padahal hanya jalan bersama. Ia tak mengajak wanita itu dinner, mengajaknya ketempat formal atau pun pesta. Tetapi itu dulu. Bahkan pacarnya pun selalu perpakaian seperti wanita lain. Vanna yang melihat Raffa hanya terdiam melambaikan tangan didepan wajah Raffa. "Lo kesambet?" Raffa tersadar dari lamunannya dan menatap Vanna. "Udah selesai? Sekarang kita jalan." Vanna hanya mengangguk dan mengikuti Raffa yang berjalan dahulu didepannya. Tak lupa ia mengunci rumahnya. °°° Mobil Raffa melaju membelah jalanan kota Jakarta. Mobilnya berhenti ketika melihat kemacetan didepan mereka. "Gak papakan kalo nunggu bentar?" Vanna mengangguk lalu menyetel radio di mobil Raffa. Sesekali Vanna bernyanyi mengikuti lagu yang ia tau. Sedangkan Raffa hanya memandangi wajah Vanna. Entah sejak kapan, irama jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Seakan tau apa yang terjadi dengan dirinya, Raffa langsung memalingkan wajahnya kedepan. Dilubuk hatinya, ia merasakan hal yang tak pernah lagi ia rasakan. Tetapi disisi lain, ia masih belum bisa menghilangkan nama yang pernah terukir dihatinya. Nama dan rasa tersebut seperti noda yang susah dihilangkan dari tembok. Setelah menunggu setengah jam lamanya, mobil Raffa bisa terbebas dari kemacetan tersebut. Raffa memarkirkan mobilnya di salah satu mall terbesar di kota tersebut. Melihat itu, Vanna menatap Raffa tak suka. "Kenapa harus kesini sih?" Raffa yang sedang melepaskan seatbelt langsung memandang Vanna heran. "Lo gak suka? Biasanya cewek yang lain suka kalo cowok ajak ke sini," Vanna berdecak sebal. "Gue gak sama kek mereka. Dan jangan samakan gue seperti mereka. Lo tau kan kepribadian orang beda-beda." Mendengar perkataan Vanna, Raffa hanya melongo. Ia tak menyangka jika Vanna yang ia kenal dengan sifat kadang-kadang jutek plus cuek, kadang-kadang lemot otaknya dan kadang bersifat polos itu mengeluarkan kata tersebut. Raffa berdeham. "Sesekali kesini gak papakan? Nanggung nih." Vanna hanya memutar bola matanya malas. "Hanya kali ini aja ya." Katanya dan langsung melepas seatbelt lalu keluar dari mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN