Semua mata tertuju pada seorang pemuda yang dengan santainya berjalan di tengah-tengah mall. Tak heran semua wanita berbisik-bisik melihatnya. Tetapi mata mereka memicing ketika melihat seorang gadis yang berjalan disampingnya. Rasa iri, cemburu, dan jengkel terlihat diwajah mereka.
Baru kali ini Vanna terlihat tak suka dengan tatapan para wanita disana. Biasanya ia tak memperdulikan tatapan orang seperti apa, tetapi ini sudah keterlaluan. Mereka menatapnya seakan-akan ingin memakannya. Dipikirannya hanya satu pertanyaan. Apa karena ia sedang bersama Raffa?
Wanita-wanita itu terus menatap Raffa membuat Vanna membetulkan pertanyaan yang ada di pikirannya. Tapi pemuda disampingnya ini bersikap seperti biasa. Tak risih dengan tatapan wanita-wanita tersebut.
Tiba-tiba, tangannya terasa ada yang menggenggamnya. Dilihatnya sekarang telapak tangannya dan Raffa bersatu. Vanna menatap wajah Raffa dengan pandangan bertanya-tanya.
"Jangan jauh-jauh dari gue kalo lo gak mau dimakan mereka." Vanna langsung mengangguk dengan cepat dan sedikit mengeratkan genggaman tangan mereka. Ia sendiri takut melihat mereka.
Raffa yang merasakan genggaman Vanna mengerat tersenyum puas dalam hati. Setidaknya kata-katanya tadi membuat Vanna agak ketakutan dan membuat Vanna lebih dekat dengannya. Itung-itung modus dikit.
Setelah berjalan setengah jam, Vanna mulai capek. Ia melirik Raffa dengan pandangan kesal.
"Sebenarnya lo mau kemana gue sih? Capek tau ga?"
Raffa terlihat berpikir. Jika ia mengajak Vanna makan, pasti gadis itu menolak, karena ia mengatakan tadi pagi sudah sarapan. Jika ia mengajaknya shopping, pasti gadis itu menolak dengan mentah. Jadi, ia harus mengajak Vanna kemana?
Tiba-tiba mata Vanna berbinar. "Ke sana yuk." Vanna langsung menarik lengan Raffa membuatnya -yang sedari tadi melamun- terserentak kaget.
Vanna menyeret Raffa memasuki toko buku. Lalu ia berjalan menuju rak buku pelajaran biologi. Melihat itu Raffa terdiam.
"Lo suka biologi?" Vanna menoleh dan tersenyum lalu mengangguk semangat.
"Lo juga?"
Raffa berjalan mendekati Vanna dan mengambil sembarang buku. "Lumayan. Tapi pas bab reproduksi."
Senyum Vanna memudar digantikan wajah masam. "Semua cowok sama aja."
"Gue beda kok." Jawab Raffa.
"Lo sama aja. Semua cowok pasti pikirannya mesum." Kata Vanna sambil memilih-milih buku.
Raffa menyunggingkan senyumannya. "Yang ngomong m***m siapa sih? Perasaan dari tadi gue gak ngomong apa-apa."
Vanna hanya mendengus.
Setelah selesai memilih bukunya, Vanna berjalan menuju kasir untuk membayar bukunya. Tetapi tanpa dugaannya, ia menabak seseorang.
"Duh, maㅡ"
Mata Vanna membulat melihat siapa yang ditabraknya.
"Vanna?"
"Nadya?"
Kata mereka bersamaan.
Vanna menatap Nadya tak percaya lalu memekik senang. "Lo juga disini?"
Dengan gelagapan Nadya menjawab "A-ah ya. G-gue disini."
"Cewek receh. Lama banget sih."
Kedua gadis itu saling berpandangan dan menatap sumber suara. Dan lagi, Vanna dibuat tercengang. "Kok lo disini sih?"
"Nat, lo gak mauㅡhey bro!" Sapa Raffa langsung ketika melihat Dirga dan mereka bersalaman ala cowok.
"Kok lo disini?" Tanya Raffa.
Dengan malas, Dirga menunjuk Nadya menggunakan dagunya. "Anterin nih cewek."
Mendengar itu, Nadya melotot kearah Dirga. Vanna dan Raffa menatap mereka curiga. "Kalian ..."
"Gak kok." Seru Nadya. Dengan cepat ia menambahkan, "Gini ceritanya, tadi gue gak sengaja ketemu nih orang. Terus ya udah deh, karena kita tujuannya sama, kita pergi bareng."
Raffa memegang dagunya lalu menatap Dirga curiga sambil memicingkan matanya. "Perasaan Dirga yang gue kenal gak akan mau jalan samacewek walaupun kenal."
Vanna menatap mereka bingung. Tangannya mulai pegal memegang buku sebanyak lima. "Raf, udahin aja deh. Mungkin bener kata Nadya. Tangan gue pegel nih. "
Raffa menghembuskan nafasnya. Terpaksa introgasinya ia tunda. Ia mengangguk lalu mengekori Vanna yang sudah berjalan didepan.
Melihat Vanna dan Raffa yang sudah pergi, Nadya menghembuskan nafasnya. Ia menatap Dirga jengkel.
"Kalo mereka tau, lo habis ditangan gue." Ancam Nadya lalu pergi. Dirga hanya mengidikkan bahunya acuh dan mengikuti Nadya.
°°°
Setelah dari toko buku, sekarang Vanna dan Raffa berada direstoran dalam mall.
Hanya dentingan sendok yang terdengar diantara mereka. Keduanya sibuk dalam pikiran masing-masing. Setelah makanan mereka habis, Raffa memandang Vanna. "Lo capek?"
Vanna menggeleng singkat. "Gak."
Raffa bersandar dikursinya. "Dulu gue juga sering gini." Entah kenapa, Raffa teringat pacarnya. Ralat mantan pacarnya.
Vanna menatap Raffa penuh dengan kebingungan.
"Gue sering kesini sama dia." Seakan mengerti yang Raffa ceritakan, Vanna hanya diam dan mendengarkan.
"Dia sering ngajak gue kesini. Padahal gue udah nolak. Tapi akhirnya gue pasrah." Raffa menghembuskan nafasnya. "Dia beda dengan lo. Lo gak suka shopping, dia suka. Lo gak suka diajak ke-mall, dia malahan suka. Lo berpenampilan sederhana, dia lebih ke fashion. Tapi gue suka dia apa adanya. Dan gue gak tau kenapa bisa sesayang ini sama dia ..." Raffa tertawa gentir lalu menatap Vanna. "Lo pasti bingung kenapa gue ceritain ini ke lo."
Vanna hanya mengangkat bahunya. "Yah sedikit."
Raffa menunduk. Menatap piring yang sudah kosong dihadapannya "Gue juga ga tau. Tiba-tiba mulut gue gerak sendiri. Curhat dikit ga papa kan?"
Vanna hanya mengangguk lalu berkata, "Yang gue salut sama lo, lo tetap bersikap seolah-olah gak ada apa-apa meskipun pernah ditinggal sama orang yang lo sayang. Biasanya dinovel yang gue baca, cowok yang ditinggal cewek yang ia sayang pasti sifatnya berubah. Sifatnya jadi tertutup, dingin, dan ga terlalu mentingin sekitarnya. Kalo lo mah kebalikannya."
Raffa terkekeh mendengarkan tuturan Vanna. "Emang gue mau sama kayak mereka apa? Sifat gue gak pasaran kayak gitu." Vanna mendengus karena pembicaraan Raffa mulai ngelantur.
"Canda. Gue sebenarnya kepikiran juga sih seperti itu. Tapi seiringnya waktu gue sadar kalo itu nyiksa diri gue sendiri. Gue emang sayang dia, tapi gue gak mau ngerusakin diri hanya seperti itu. Ngerti?"
Kata-kata Raffa membuat Vanna terhanyut dengan pikirannya sendiri. Ia menatap Raffa dengan tatapan kosong. Raffa mengibas-ngibaskan tangannya diwajah Vanna. "Lo gak kesambet kan? Atau lo mulai jatuh cinta sama gue? Lo terpukau kan? Hah! gue emang keren." Bangga Raffa pada dirinya.
"Gue akui lo emang hebat dalam hal gituan. Tapi gue gak akan jatuh hati sama lo. Dih mit-amit ya." Kata Vanna sambil berekspresi mual.
Dan dibalas senyum simpul dari Raffa.
°°°
Keadaan rumah yang sepi membuat Raffa menghela napas. Setelah mengantar Vanna kembali ke rumahnya, Raffa memutuskan untuk balik, yah walaupun ia tau akan seperti ini.
Kedua orang tuanya sibuk bekerja dengan pekerjaan masing-masing. Jika kalian berpikir Raffa akan membenci orang tuanya karena sibuk dengan pekerjaannya jawabannya salah. Ia memang agak kecewa dulu, karena setiap pulang sekolah, pasti rumahnya seperti ini. Tapi ia menyadari jika orang tuanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Raffa menghargai keputusan orang tuanya jika ingin terus bekerja. Ia menerima keputusan orang tuannya itu walaupun ia kekurangan kasih sayang dari orang tuanya. Cukup diperhatikan dengan menelponnya saja ia sudah senang. Cukup dengan itu.
Biasanya seminggu sekali Mama atau Papanya menelpon untuk sekedar berbasa basi dengan kata 'apa kabar?' atau 'sekolah kamu baik-baik sajakan?'.
Dan jawabannya pun selalu sama. Yaitu 'baik' dan 'ya' setelah itu, tidak ada lagi percakapan diantara mereka.
Pemuda itu melangkah memasuki rumahnya. Ia menuju dapur lalu membuka kulkas. Dilihatnya berbagai macam makanan disana. Tetapi ia hanya mengambil sebotol air mineral dingin dan langsung meneguknya setelah membuka tutupannya.
Raffa melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada dilantai dua. Kamar yang bernuangsa putih hitam itu sangat nyaman dilihat Raffa. Ia berbaring dikasurnya lalu memejamkan mata. Ingin cepat hari berganti besok untuk menghilangkan rasa kesepiannya ini.