8

1151 Kata
Hari senin adalah hari yang paling tak disukai semua siswa siswi SMA Pelitaㅡtermasuk Vanna. Hari yang mengawali kegiatan sekolah setelah akhir pekan, dan ditambah lagi harus mengikuti upacara. Berdiri dibawah sinar matahari membuat peluh bercucuran dipelipis dan sekitar area wajah mereka. Seperti saat ini, semua pelajar dan guru SMA Pelita berkumpul di lapangan upacara sambil menghormati sang merah putih yang berkibar. Setelah itu, mereka harus menunggu sejenak karena masih mendengar cerita pak Hudin a.k.a kepala sekolah yang semakin membuat jenuh semua. Cerita yang sama setiap upacara. Tetapi kini semua mata -para siswi- tertuju pada seorang pemuda yang dengan kokohnya berdiri dibarisannya. Peluh memenuhi pelipisnya membuat semua siswi menahan jeritannya. Tak terkecuali Vanna. Entah kenapa ia terhipnotis dengan Raffa yang diam berdiri dibarisannya. Mengamati gerak gerik Raffa yang menyingkirkan keringat yang membanjiri wajahnya menggunakan lengan dan memperhatikan Raffa yang sesekali berbicara dengan Randi atau Dirga. Sesekali pandangan mereka bertemu membuat Raffa langsung menyunggingkan senyumannya membuat Vanna langsung melihat kearah lain. Didalam hati, Vanna merutuki dirinya sendiri karena terus memandangi Raffa. Tetapi ia sekarang baru menyadari jika Raffa tampak keren hari ini. Entahlah. Menurutnya begitu. Kata hati tak pernah salahkan? Ia bingung dengan dirinya sendiri. Sejak kapan ia menganggumi Raffa? Apa karena kata-kata Raffa kemarin yang membuat Vanna terus memikirkannya? Vanna menggelengkan kepalanya pelan lalu memfokuskan diri untuk mendengarkan celotehan pak Hudin. "...itu saja yang ingin bapak sampaikan. Sekian dan terima kasih." Semua bernapas lega lalu mendengarkan komando untuk membubarkan barisan. °°° Vanna memperhatikan objek didepannya dengan seksama. Memperhatikannya tanpa berkedip, seperti jika ia berkedip objek didepannya akan hilang. Raffa yang ditatap seperti itu hanya menyunggingkan senyuman kikuk, karena Vanna memperhatikannya dengan mata melotot seperti ingin menghabisinya. "Lo kenapa sih?" Masih menatap Raffa, Vanna hanya menggeleng pelan. "Gak pa-pa kok." Jawabnya membuat Raffa menghela napas karena jawabannya selalu sama. Pemuda itu terus mengaduk minumannya lalu mendengar Vanna menghela napas. "Gue balik ke kelas dulu." Katanya lalu bangkit dari tempat duduknya. Melihat itu, Raffa menahan Vanna. "Kok cepet banget perginya?" "Gue bete liat lo." Ketusnya lalu pergi. Melihat itu, Raffa menatapnya bingung lalu mengidikan bahunya. Mungkin lagi PMS. Pikirnya. Vanna berjalan ke kelasnya dengan perasaan bercampur aduk. Entah kenapa ia selalu memandangi Raffa. Itu membuatnya risih kembali terhadap sikapnya itu. Sesampainya didepan kelas, Vanna menghentakkan kakinya kesal. "Vanna! Lo kenapa sih?!" Gumamnya sedikit gusar. Dilihatnya kelas yang masih sepi. Ia lagi-lagi menghela napas lalu berjalan ketempatnya dan duduk disana. Matanya memandang langit melalui jendela. Entah kenapa ia rindu melihat langit yang nampak biru itu. Seolah-olah ia tak pernah melihatnya lagi. Sejak mengenal Raffa, Vanna jarang menatap langit. Perasaan nyaman, damai dan tentram menyelimutinya. Hingga suara yang sangat ia kenali merusak semuanya. "Cerah bat ni hari." Gadis tersebut memejamkan matanya, menahan rasa kesalnya lalu menatap seseorang yang mengganggunya itu. "Biarin gue tenang dikit bisa gak?!" Raffa hanya diam. Seakan teringat sesuatu, Raffa tersenyum manis lalu menarik tangan Vanna. "Ikut gue." Dengan malas, Vanna bangun dan mengikuti Raffa dengan tangannya yang masih digenggam pemuda itu. Vanna memandangi Raffa dari belakang. Badan yang tinggi dan atletis, punggung yang lebar dan kokoh. Vanna membayangi dia berada dipelukkan Raffa membuat wajahnya memerah. Ia langsung menepis pikiran laknatnya tersebut. Nih otak nggak bisa apa dikit aja gak mikirin itu mulu. Gerutunya dalam hati. Tak terasa, Vanna dibawa ke rooftop. Angin sepoi-sepoi langsung menerpa wajah mereka. Vanna menatap sekitarnya lalu dengan wajah berbinar, Vanna menatap Raffa. "Gue gak nyangka kalo rooftop setenang ini." Melihat wajah gadis dihadapannya, Raffa hanya tersenyum lalu melangkah mendekati kursi yang ada disana. Vanna menatap langit yang biru tanpa adanya awan. Melihat langit yang sangat cerah membuatnya tersenyum. Vanna mengikuti Raffa dan duduk disebelahnya. Raffa menoleh lalu memandangi wajah Vanna dari samping. "Tipe ideal lo seperti apa?" "Emm. Baik, ganteng pastinya, selalu sayang sama gue, gak nakal, nggak ngerokok, pinter. Itu aja sih..." Vanna menatap Raffa dan melanjutkan "Tapi itu bukan tipe ideal juga sih. Itu semua kepribadian cowok yang gue suka aja ." "Gue gak ada peluang dong." Vanna menyeritkan keningnya "Lo ngerokok? Emang lo sayang gue?" Raffa menatap langit. "Ya, gue perokok." Vanna hanya mengangguk. "Gak usah ngerokok lagi." "Dih, yang ngarep gue jadi tipe idealnya." Goda Raffa. Vanna mendengus pelan. "Siapa yang ngarep coba, orang gue bilang gitu karena rokok gak baik buat tubuh. Ngerti gak?" "Gue gak ngerokok lagi kok..." sejak gue kenal lo. Sambung Raffa dalam hati. "Bagus." "Balik yuk, udah bel masuk." °°° Vanna menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Sekarang, ia sedang berpikir. Kenapa hari ini ia sangat aneh? Vanna menggigit bibir bawahnya. Kok gue aneh ya? Jangan-jangan gue udah mulai sukaㅡoh Lord menyebutkan kata itu saja sangat susah. Tak tau harus melakukan apa, Vanna mengambil ponselnya dan mulai men-stalking sosmed milik Raffa. Vanna mengerjap-ngerjapkan matanya lalu menjauhkan ponselnya. "Gue kenapa sih!" Jeritnya. Sekarang Vanna terdiam. Bingung harus melakukan apa. Lalu ia memilih mengerjakan tugas matematika yang tadi pagi sempat diberikan gurunya. Ting Mendengar suara notifikasi dari ponselnya, Vanna langsung mengambil dan membukanya. Raffa Farellino : Hai Nat :) Raffa Farellino : lagi ngapain? Vanna Natasya : Lagi ngerjain tugas. Lo? Vanna mengerjakan soalnya, dan sesekali melirik ponselnya. Raffa Farellino : Lagi mikirin kamu. Vanna tertawa melihat jawaban Raffa. Vanna Natasya : Receh banget dah. Raffa Farellino : Gue ngomong fakta dibilang receh. Raffa Farellino : Gue gak pernah ngomong hoax ya. Jadi lo bisa percaya sama gue. Lagi, Vanna tersenyum dibuatnya. Vanna Natasya : Dih. Raffa Farellino : Jalan-jalan yuk. Vanna Natasya : Sip. Raffa Farellino : Oke. 20 menit lagi gue jemput. Dengan cepat, Vanna menutup bukunya lalu bergegas menuju kamar mandi. Setelah persiapan, Vanna turun dari kamarnya dan menunggu Raffa diruang tamu. Dilihatnya mobil yang biasa Raffa gunakan. Vanna mengunci rumahnya dan langsung menemui Raffa. Orang tua Vanna sedang bekerja, dan itulah yang menyebabkan Vanna tinggal sendiri di rumah. Vanna masuk kedalam mobil dan langsung disambut oleh Raffa. "Hai, Dek." "Dih apaan dah." Raffa mengerucutkan bibirnya. "Muka gak usah digituin juga kali. Jijik liatnya." Tutur Vanna. Satu alis Raffa terangkat, "Gini-gini banyak cewek yang ngejar gue ya." Bangga Raffa sambil merapikan jambulnya. Melihat itu, Vanna mengerutkan keningnya. "Sejak kapan lo jambulan?" "Sejak tadi." "Yaudah kalo gitu. Kapan jalannya sih?" "Panggil gue kakak." "Hah?" Apa Vanna tidak salah dengar? Raffa mau dipanggil kakak? Permintaan yang aneh. "Panggil gue kakak." "Dih ngarep amat." "Kita gak akan jalan sebelum lu manggil gue kakak." "Yaudah gue balik. Repot amat." Kata Vanna dan berniat membuka pintu mobil tapi langsung dikunci Raffa. "Iihhh lo apaan sih. Buka cepet." "Gak sebelum lo panggil gue kakak." "Gak mau." Ketus Vanna Raffa melipat kedua tangannya didepan d**a dan bersandar di sandaran kursi mobil sambil memejamkan mata. "Yaudah. Kita disini aja terus." Vanna memutar bola matanya. Raffa sangat kekanak-kanakan. "Kakak." Mata Raffa terbuka. "Apa? Gue gak denger." "Gak ada pengulangan." "Yaudah kalo gitu." Vanna menghembuskan napasnya. "Kakak. Kapan jalannya sih!" Seru Vanna kesal sambil menekankan setiap kata. Senyuman langsung terukir dibibir Raffa. "Oke. Kita jalan dek!" Seru Raffa juga membuat Vanna mendelik sebal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN