9

1047 Kata
Gadis itu menatap pemandangan didepannya dengan wajah berbinar. Dengan pemandangan kota saat matahari terbenam yang diterangi oleh lampu-lampu jalanan maupun rumah menambah kesan keindahannya. Masih memperhatikan didepannya, Vanna merasakan seseorang yang mengenakan jaket di pundaknya. Ia menoleh dan mendapati Raffa yang sudah diberada sampingnya. Keningnya sedikit berkerut melihat Raffa yang memberi jaketnya kepadanya. Sedangkan pemuda itu hanya menggunakan kaos tipis berwarna abu-abu. Padahal ia tau jika suhu ditempat ini bertambah dingin mengingat ini sudah malam. Ditambah lagi dengan angin malam yang tidak baik untuknya hanya menggunakan kaos. "Lo gak kedinginan?" "Dinginlah." "Kalo dingin, napa jaket lo kasih gue?" Raffa menghadap kearah Vanna, mengulurkan tangannya dan merapatkan jaket yang berada ditubuh Vanna. "Karena lo gak boleh sakit." Vanna semakin bingung dengan arah pembicaraan Raffa. "Emang kenapa kalo gue sakit?" Senyuman simpul hanya diberikan Raffa. Ia kembali memandang kedepan sambil memasukan kedua telapak tangannya kesaku celana. "Baguskan?" "Iya. Gue baru tau kalo lo punya tempat sebagus ini." Jawab Vanna memandangi kota dari dataran tinggi. Ia tak menyangka Raffa akan membawanya kesini. Ia kira pemuda itu akan membawanya ketempat yang membosankan seperti mall, restoran, kafe, atau taman. Tapi dugaannya salah. Setelah menempuh perjalanan sekitar sejam lebih, Vanna bisa melihat pemandangan indah yang jarang ia lihat seperti sekarang. "Lo orang pertama yang gue bawa ke sini." Vanna menatap wajah Raffa. Didalam hatinya bertanya-tanya mengenai kebenaran yang dikatakan Raffa. "Beneran?" "Hm. Gue nemu tempat ini pas kelas sepuluh." "Temen lo gak tau?" "Maksud lo Dirga dan Randi? Gak. Mereka ga tau." Vanna terlihat berpikir. Ada rasa senang dilubuk hatinya mendengar ia orang pertama yang Raffa ajak ketempat ini. Mungkin tempat ini akan menjadi tempat favorite untuknya. "Terus kenapa lo ngasih tau gue?" Raffa mengidikkan bahunya. Sebenarnya ia sendiri pun bingung kenapa ia bisa mengajak gadis disampingnya ketempat ini. Ia hanya mengikuti kata hatinya yang ingin membawa Vanna ketempat ini. Sejujurnya, Raffa suka melihat wajah berbinar Vanna yang tampak menggemaskan. Dan mungkin sekarang wajah berbinar gadis itu akan masuk dalam list incarannya. Ia melirik wajah Vanna yang memandangi pemandangan kota. Bibirnya memucat dan tubuhnya mulai menggigil. Raffa melihat arloji yang berada dipergelangan tangan kirinya lalu merutuki dirinya sendiri. Sekarang hampir jam delapan. Dan artinya mereka sudah disini selama selama dua jam. Tanpa berkata apa-apa, Raffa menarik lengan Vanna, menuntun gadis itu menuju mobil. Ia membukakan pintu mobil dan menyuruh Vanna memasuki mobil. Setelah itu, ia memutar dan duduk dibangku pengemudi. Raffa menyalakan mobil lalu menginjak pedal gas dan pergi dari tempat tersebut. Dalam perjalanan sesekali ia melirik Vanna yang masih membungkam. Rasa khawatir melandanya melihat wajah Vanna yang sangat pucat. "Lo gak papa?" Vanna menoleh dan tersenyum tipis. "Gue gak papa kok. Harusnya gue yang bilang gitu ke lo." "Ya gue gak papa. Secara gue cowok kuat dan gentle.  Yang kek gini ga ada apa-apanya." Gurau Raffa. Vanna berdecih lalu terkekeh. "Garing lo." Tangan Raffa terulur dan mengelus rambut Vanna. "Iyain aja deh yang lucu." Wajah Vanna memerah merasakan lembutnya belaian tangan Raffa di rambutnya. Detak jantung mulai tak kontrol dan seketika suhu disekitarnya terasa panas. Dan untungnya Raffa sibuk memerhatikan jalanan sehingga tak melihat wajah Vanna yang sudah seperti tomat matang. Raffa menarik tangannya kembali dan melirik Vanna. "Jam begini bonyok lo udah pulang?" "Mungkin." Raffa mengangguk. Sesampainya dirumah, Vanna keluar dari mobil Raffa setelah mengucapkan terima kasih. Setelah melihat Vanna yang sudah memasuki rumahnya, Raffa tersenyum tipis lalu pergi meninggalkan rumah Vanna. °°° Rasa dingin terus menusuk kulitnya. Raffa menaikan selimutnya hingga sampai dagu sambil menggigil. Sekarang jam 2 malam, tapi ia tak kunjung mengunjungi alam mimpi. Ditambah kepalanya sangat pening. Salahnya sendiri bersikap sok gentle. Tapi jujur saja ia tak ingin melihat Vanna yang akan merasakan sakit ini. Padahal malam tadi Vanna menggunakan kemeja lengan panjang yang mungkin cukup menghangatkan dirinya. Tapi rasa khawatir masih saja melandanya dan ia lebih memilih jika ia yang sakit seperti sekarang dibanding Vanna. Perlahan, matanya mulai memejam dan langsung mengunjungi alam mimpi. 2 jam kemudian Matanya perlahan terbuka. Rasanya berat saat membuka matanya. Dan Raffa mencoba menggapai ponselnya di nakas. Seluruh badannya sangat lemas. Yang ia butuhkan saat ini adalah tidur. Setelah berhasil mengambilnya, Raffa mengetik pesan kepada seseorang. Saat sudah men-send pesan tersebut, Raffa membuang ponselnya kesembarang tempat dan mulai memejamkan matanya lagi. Berharap jika saat ia bangun, rasa pening ini akan hilang. °°° Vanna keluar dari rumah karena melihat sebuah mobil terparkir didepan rumahnya. Ia melihat mobil asing, tak seperti mobil Raffa yang sering dipakainya. Tak mau membuat sang pengemudi menunggu, Vanna membuka pintu mobil. Pikirnya mungkin laki-laki itu mengganti mobilnya. Mata melebar langsung tertera diwajahnya. Ini bukan pria yang sering bersamanya. Tetapi ini sahabatnya, Dirga. Masih dengan wajah terkejut, Vanna mencoba mengembalikan kesadarannya. "Kok lo disini sih?" Dilihatnnya Dirga mengotak ngatik ponselnya dan memperlihatkan layar ponselnya. Dan terteralah sebuah pesan. Raffa Farellino : Dir, lo bisa jemput Vanna kan? Gue lumayan ga fit. Dirga menyimpan ponselnya kembali lalu menjalankan mobilnya tanpa bicara sekata pun. Vanna masih membungkam. Dipikirannya terus menerus memikirkan Raffa. Pemuda yang semalam dengannya dan bersikap gentle itu sekarang sakit karena dirinya. Ia merutuki Raffa karena sok bersikap baik. Sekarang lihatlah, siapa yang sakit. Ia melirik Dirga yang sedari tadi diam, sibuk memperhatikan jalanannya. Jujur saja, ia kira jika ia dengan orang yang selalu bersikap cool, dingin, dan irit bicara pasti sangat keren seperti di novel yang dibacanya. Impiannya ingin bersama dengan cowok seperti Dirga punah seketika. Dikacangi seperti ini rasanya tak enak. Dipikirannya langsung tertera Raffa yang sering berbicara dan harmonis. Vanna menggeleng pelan karena pikirannya mulai ngelantur. "Kak, bisa kasih alamat rumah Raffa?" Tanya Vanna. Sebenarnya ia berencana jika pulang nanti akan mengunjungi Raffa. Dirga mengangguk pelan. "Bentar gue kirim alamatnya." Gadis itu mengangguk acuh. Pikirannya terus tak bisa lepas dari Raffa. Yang ia pikirkan pasti sekarang laki-laki itu sedang tidur. Lagi-lagi rasa khawatir melandanya. Siapa yang akan merawat Raffa? Pasti orang tuanya bukan? Vanna melirik Dirga lalu bertanya. "Raffa tinggal dengan orang tuanya kan?" "Bonyok nya kerja." Ia mendapatkan jawabannya. Berarti sekarang Raffa sendirian dirumah? Apakah pria itu sudah minum obat? Apakah pria itu sudah makan? Sungguh, ia tak bisa menghilangkan rasa khawatirnya. Melihat gadis disampingnya bergerak risih, Dirga berdeham. "Raffa orangnya kuat. Jadi lo gak usah khawatir. Bentar gue anter ke rumah dia." Vanna mengangguk lalu menatap jendela mobil Sesampainya disekolah, Vanna mengucapkan terima kasih kepada Dirga dan langsung melangkahkan kaki jenjangnya memasuki gedung sekolah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN