"Nat,"
Vanna bergeming. Masih memusatkan pandangannya pada sebuah buku tebal ditangannya. Berupaya tidak menoleh dan menabok kepala pemuda disampingnya ini menggunakan buku tebal ditangannya karena mengganggu konsentrasinya.
Sedangkan pemuda disampingnya itu menatapnya lamat lalu mendesah pelan. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil melihat sekeliling.
Sepi. Kelas Vanna saat ini sangat sepi, tak ada seorangpun yang berada disini terkecuali mereka berdua.
Lagi-lagi pemuda itu menghela napas, lalu kembali menoleh. Memperhatikan sosok gadis dengan garis wajah tenang disampingnya dengan intens.
Hari ini Vanna tampak aneh baginya. Bayangkan saja, gadis itu tidak berbicara sekata pun dengannya sampai saat ini. Bagi Raffa, itu lebih mengerikan dari pada melihat Vanna yang sedang bad mood dengan segala celotehan dan amukannya yang kadang membuat pemuda itu tertawa lepas dengan sambutan pelototan garang dari Vanna yang melihat itu.
Tiba-tiba Vanna menyimpan buku tebal berwarna hijau yang sedari tadi dipegangnya lalu menatap Raffa tenang. Sedangkan Raffa yang melihat gadis itu sekarang mau menatapnya perlahan tersenyum tipis sambil menaikkan satu alisnya.
Mungkin dia udah kangen gue, Batin Raffa menerka-nerka.
"Ngapain liat-liat!?" Seru Vanna galak dengan garis wajahnya yang berubah datar.
"Selo dong, Nat. Jangan ngegas. Aku belum siap," Jawab Raffa sambil memperbaiki posisi duduknya, menatap Vanna sambil tersenyum bahagia.
Vanna mendelik. "Lo udah gila ya senyam-senyum mulu dari tadi?"
"Gue gila juga karena lo, Nat,"
Gadis itu berdecih lalu membuang muka. Menggigit pipi bagian dalamnya, menahan senyuman yang mungkin saja akan terbit dibibirnya mendengar lontaran dari Raffa barusan.
"Kenapa?"
Kepala Vanna reflek menoleh kearah Raffa yang bertanya. Wajah pemuda itu kali ini lebih serius dari pada yang biasanya. Membuat Vanna sedikit aneh dibuatnya. Desiran yang aneh dirasakan dalam tubuhnya. Merasa aura Raffa yang kali ini sedikit, em... menakutkan.
Mata Vanna terkunci pada mata hitam yang menatapnya intens. Sedikit susah baginya untuk keluar dari mata itu. Rasanya dirinya sudah tertarik masuk kedalam.
"Kenapa?" Tanya ulang Raffa yang membuat Vanna kali ini mengerjap. Ia gelagapan sekarang. Dengan cepat gadis itu membuang muka lagi.
Vanna menghembuskan napas. Tenggorokkannya tercekat. Seolah seperti sesuatu tengah berada ditenggorokannya. Sekarang rasanya ia sangat memerlukan air.
"Enggak." Jawabnya pada akhirnya.
"Lo diemin gue dari pagi Nat, dari rumah lo saat gue jemput sampai sekarang. Dan sekarang dengan enteng lo jawab 'enggak'?" Dari nada Raffa saat ini, pemuda itu seperti gusar.
Vanna sedikit terserentak. Apa katanya? Enteng? Oke. Ia memang sedari kemarin merasa bersalah. Bahkan sampai saat ini. Tapi kenapa sekarang pemuda itu
menyudutkannya?
Raffa mengusap wajahnya sedikit kasar. Ia menghela napas pelan lalu kembali menatap Vanna. "Maaf. Gue ga bisa kontrol emosi gue tadi."
Gadis itu tak menjawab. Ia bergeming ditempatnya. Tak bergerak sedikit pun. Entah kenapa rasanya ia begitu jahat. Membiarkan cowok itu menunggu kemarin dan bahkan ia tidak tahu sampai kapan cowok itu menunggu. Dan hari ini, ia malah mendiamkan Raffa, acuh tak acuh pada cowok itu, dan bahkan berbuat seolah-olah cowok itu tak ada. Padahal masalahnya sepele.
Kali ini hening mengambil alih. Entah kenapa Vanna merasa jika waktu tak berpihak kepadanya. Bagaimana bisa jam istirahat selama ini? Atau kenapa bel masuk belum terdengar? Ia sangat ingin keluar dari situasi yang sangat tak disukainya ini.
Ia melirik pemuda disampingnya melalui ekor mata, yang bisa ia lihat jika cowok itu hanya menatap kedepan dengan tatapan kosong, punggung yang disandarkan pada sandaran kursi, dan tangan yang terlipat di atas d**a bidangnya.
Ingin rasanya Vanna membuka pembicaraan dengan pertanyaan:
'Kemarin pulang jam berapa?'
Atau
'Ngapain nungguin gue kemarin?'
Tapi lidahnya terasa kelu saat ini. Ia tidak mampu berkata apa pun kepada cowok itu. Rasa bersalah sangat mendominasi perasaannya.
Suara ketukan jari pada meja terdengar samar. Bisa dirasakannya Raffa sekarang sedang bergerak. Tetapi entah kenapa, kepalanya bergerak untuk menatap langsung apa yang sekarang cowok itu lakukan. Tetapi matanya malah bertemu dengan mata itu. Mata yang sekarang sedikit memancarkan kehangatan dari dalam sana.
Vanna terserentak kaget karena mengetahui Raffa menatapnya, entah sejak kapan. Dan raut wajah pemuda itu sekarang hangat seperti biasa, tak seperti tadi.
"Nat, emm...." Vanna kembali menatap Raffa yang seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu. "...kemarin pulang jam berapa? Sama siapa?"
Gadis itu mengulum bibirnya yang hendak tertarik keatas. Vanna berdeham. "Sama temen, dan sedikit terlambat sih. Masih ada urusan soalnya. Kenapa?"
"Oh. Kok gue gak liat lo pulang?"
Ingin rasanya Vanna tertawa melihat raut wajah Raffa yang sekarang tampak kebingungan. "Emang kemarin lo pulang jam berapa?"
"Pas gue cek kelas lo udah sepi, dan nunggu beberapa menit di parkiran, gue langsung pulang karena lo ga muncul-muncul."
Vanna memicingkan matanya. Perasaan kemarin ia pulang dua jam setelah bunyi bel pulang terdengar karena masih mempunyai urusan di ruang teater. Dan saat ia pulang, ia bahkan masih melihat cowok itu diparkiran. Jadi kesimpulannya, Raffa berbohong?
"Oh."
Sebenarnya Vanna tidak begitu ambil pusing soal Raffa yang berbohong kali ini. Entah kenapa Vanna merasa jika Raffa tak ingin jika dirinya merasa bersalah membiarkan cowok itu menunggunya lama. Dan Vanna merasa jika Raffa tipe cowok yang tidak mengatakan sesuatu untuk meninggikan dirinya sendiri agar ceweknya tidak berpikir jika dia seorang good boy yang rela menunggu lama demi gadisnya.
Raffa diam kali ini. Sedikit lega melihat Vanna yang mau kembali berbicara kepadanya dan sedikit merasa bersalah karena tak dapat mengontrol emosinya tadi.
Cowok itu mengangkat tangannya lalu menaruh diatas kepala Vanna. Menepuk pelan pucuk kepala gadis itu sambil menatap wajah gadis itu yang sedikit kaget sambil melihat keatas.
Raffa tersenyum tipis. "Maaf soal yang tadi. Gue gak bisa tahan tadi."
Vanna menunduk sambil sedikit manyun. Bukan karena perkataan Raffa barusan, tapi karena telapak tangan lebar Raffa yang bertumpu pada pucuk kepalanya yang terus menepuk membuatnya menunduk dalam. Membiarkan rambut panjangnya menutupi sedikit wajahnya.
"Lo menakutkan tau gak......"
Raffa terkekeh lalu tangannya yang sedari tadi menepuk terangkat, kali ini tangannya memegang dagu Vanna agak mendongak, lalu merapikan rambut hitam yang tadi menutupi wajah gadis itu sambil tersenyum.
"Gue janji gak akan ulangi lagi. Emang semenakutkan itu?" Vanna langsung mengangguk membuat Raffa tertawa renyah.
"Gemes banget sih lo," Raffa mencubit pipi Vanna pelan sambil terkekeh.
"Makanya jangan ngulangin lagi kayak tadi. Lo marah, bad mood, ngamukin gue, celoteh panjang lebar, ceramahin, mukul sampe tabokin gue gak papa kok. Tapi jangan diemin gue lagi. Itu gak enak."
Vanna manyun. Lalu mengangguk pelan. "Iya iya. Maaf."
Raffa terkekeh. "Gak papa. Lo ngomong kembali sama gue aja gue udah seneng. Apa lagi lo senyum untuk gueㅡ"
"Najis. Tambah pinter ya gombalnya."
Pemuda itu tertawa. Melihat itu, Vanna terkekeh kemudian. Perlahan rasa bersalahnya memudar melihat tawa lepas Raffa sekarang. Padahal apa yang dikatakannya sama sekali tidak lucu.
Dasar receh. Batin Vanna bersuara.