Eps. 14 Terguncang

1427 Kata
Tangan Grisel menggenggam erat tangan Ferrin, seolah itu satu-satunya pegangan yang ia miliki di dunia ini. Ferrin sempat mencoba melepaskan, namun genggaman itu justru semakin kuat. “Tolong… jangan sakiti aku…,” igau Grisel lirih, tubuhnya meremas tangan Ferrin dengan penuh ketakutan. Ferrin menunduk, matanya menatap wajah pucat Grisel yang masih terpejam. “Grisel, ada apa denganmu? Kamu mimpi apa?” tanyanya pelan, mencoba menyadarkan. Namun gadis itu tetap tenggelam dalam igauannya. Tiba-tiba, tangannya bukan hanya menggenggam, tapi juga menarik Ferrin mendekat ke arahnya. Tubuh Ferrin yang tak siap dengan tarikan itu kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, Grisel membuka mata tepat saat Ferrin hampir jatuh ke arahnya. “D-Dokter Ferrin?” serunya kaget, matanya membelalak. Ia tak percaya wajah dokter itu hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Ferrin berusaha menahan tubuhnya agar tidak benar-benar menimpa Grisel. Kedua tangannya menahan pada sisi bahu gadis itu, membuat posisinya seakan mengurung Grisel di kursi panjang itu. Hanya wajah mereka yang begitu dekat, nafas mereka saling beradu. Waktu seolah berhenti. Keduanya membeku, saling menatap tanpa kata. Jantung Ferrin berdetak kencang, lebih cepat dari biasanya, dan ia tahu Grisel pasti bisa mendengarnya. “Grisel… kamu mengigau,” ucap Ferrin terbata, gugup dengan situasi ini. “Sepertinya kamu mimpi buruk… lalu tanpa sadar menarik tanganku. Aku harap… kamu nggak salah paham.” Grisel masih terpaku, wajahnya memanas, pipinya merona merah. Anehnya, detak jantung Ferrin yang keras justru membuat dadanya ikut berdebar tak karuan. “A-aku… aku kembali mimpi buruk. Maaf, aku nggak bermaksud begitu padamu, Dok,” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Nafas mereka tetap beradu. Grisel bisa mencium aroma parfum lembut Ferrin yang bercampur samar dengan keringatnya—aroma maskulin yang justru membuat jantungnya semakin kacau. Ferrin segera menarik diri, namun tatapan mereka yang bertaut sesaat tadi seolah meninggalkan sesuatu yang tak terucap. Sesuatu yang membuat udara di ruangan itu mendadak terasa berbeda. Ferrin segera meraih tubuh Grisel yang limbung dan berusaha menahannya agar tidak jatuh. Dengan sigap ia membantu gadis itu untuk duduk tegak, meski jantungnya masih berdegup kencang akibat momen canggung barusan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, namun tatapannya terus memperhatikan Grisel, khawatir akan kondisinya. “Coba ceritakan padaku… mimpi apa barusan?” tanya Ferrin akhirnya, berusaha memecah keheningan yang tegang. Suaranya terdengar tenang meski hatinya masih bergetar. Grisel menggigit bibirnya, lalu perlahan berkata dengan suara gemetar, “Aku melihat seseorang… seseorang yang mirip sekali denganku… mengejarku, Dok. Rasanya menakutkan sekali… aku takut….” Ferrin tertegun. Kata-kata itu membuat pikirannya kembali berputar. “Seseorang yang mirip denganmu? Maksudmu… wajahnya sama seperti wajahmu? Apa mungkin kamu… kembar?” tanyanya hati-hati, mencoba mencari arah dari misteri yang terus mengelilingi Grisel. Namun Grisel hanya menggeleng cepat. Tangannya terangkat memegangi kepalanya yang mendadak terasa berat. “Aku… aku nggak tahu, Dok. Tapi sekarang kepalaku… sakit sekali…,” lirihnya. Wajah Ferrin mengeras, penuh kecemasan. Ia melihat Grisel menutup mata, tubuhnya melemah, dan perlahan bersandar ke bahunya. “Grisel!” seru Ferrin panik, tangannya langsung menahan kepala gadis itu yang jatuh di pundaknya. Namun tak ada jawaban. Nafas Grisel berat dan tubuhnya terasa lemah. “Astaga… jangan-jangan kamu pingsan,” desis Ferrin cemas. Tanpa pikir panjang, ia segera bangkit sambil menopang tubuh Grisel yang tak berdaya. Dengan hati-hati, ia mengangkat gadis itu ke dalam gendongannya, seolah tubuhnya begitu ringan namun rapuh sekali. Ferrin melangkah cepat menuju kamar pasien Grisel, keringat dingin menetes di pelipisnya. “Bertahanlah, Grisel… kamu aman bersamaku,” gumamnya berulang, seakan meyakinkan dirinya sendiri. Setibanya di kamar, Ferrin membaringkan Grisel di ranjang perlahan, memastikan tubuhnya terlentang dengan posisi nyaman. Ia segera memeriksa denyut nadi gadis itu, lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi Grisel. Syukurlah, nadinya stabil, meski wajahnya pucat pasi. Ferrin duduk di tepi ranjang, matanya tak lepas dari wajah Grisel. Ada rasa takut bercampur iba yang sulit ia jelaskan. Gadis ini bukan sekadar pasien baginya, ia adalah misteri hidup yang entah kenapa begitu ingin ia lindungi. “Siapa sebenarnya kamu, Grisel?” bisiknya lirih. Tangannya dengan ragu membelai pelan rambut Grisel yang berantakan karena terjatuh tadi. “Aku akan mencari tahu, dan sampai saat itu tiba… aku janji tidak akan membiarkanmu sendirian.” Ferrin pun duduk di sisi ranjang, berjaga, menanti hingga Grisel sadar kembali. Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu, apa yang ia rasakan pada gadis ini mulai melampaui sekadar tanggung jawab seorang dokter pada pasiennya. Ferrin dengan cepat menekan tombol intercom di samping brankar. Tak butuh waktu lama, pintu kamar terbuka dan Salma, perawat jaga, masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya terlihat panik, khawatir ada keadaan darurat. “Dok, Anda memanggil? Ada apa?” tanyanya sambil menoleh ke arah Grisel yang terbaring lemah. Ferrin menatap perawat itu dengan wajah serius. “Pasien ini… sepertinya mengalami trauma mendalam atau semacamnya hingga kembali tak sadarkan diri. Kondisinya memang stabil, aku sudah periksa tanda vitalnya, tapi aku belum bisa memastikan apa penyebab pastinya. Tolong periksa dia setiap satu jam sekali sampai dia sadar. Aku ingin laporan rutin soal kondisinya,” ucap Ferrin tegas. Salma menatap Grisel sejenak, lalu mengangguk. “Baik, Dok. Akan saya jaga,” jawabnya singkat meski sorot matanya menyimpan rasa ingin tahu. Ferrin menghela napas pelan, lalu berdiri tegak. Ada keraguan sesaat di matanya, seolah ia enggan meninggalkan pasien itu. Namun akhirnya ia melangkah keluar dari kamar Grisel. Ia tahu ada banyak hal yang menunggu, laporan medis yang harus segera ia tulis, juga beberapa pasien lain yang menunggu giliran diperiksa. Lebih dari itu, ia merasa harus mencari referensi lebih banyak tentang trauma amnesia dan mimpi buruk yang dialami Grisel. Semua itu mungkin bisa membantunya memahami lebih dalam kondisi pasien istimewanya ini. Salma tetap berdiri di sisi ranjang, memperhatikan Grisel yang tertidur lemah. Saat pintu menutup rapat di belakang Ferrin, ia bergumam pelan, seakan berbicara dengan dirinya sendiri. “Aneh… baru kali ini aku melihat Dokter Ferrin begitu peduli, begitu cemas, sampai wajahnya pucat menahan khawatir. Siapa sebenarnya pasien ini? Apa dia orang penting baginya?” Tatapan Salma beralih ke wajah Grisel yang pucat namun tenang dalam tidurnya. “Kamu istimewa sekali, ya? Sampai bisa membuat Dokter Ferrin yang biasanya dingin jadi berubah begini…” bisiknya pelan, masih diliputi rasa heran. Ruangan itu kembali sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar, sementara Salma duduk bersiap untuk berjaga sesuai instruksi. ** Di kamar Nyra, suasana hening hanya diterangi cahaya layar laptop yang menyala terang di meja. Siva duduk menatap layar dengan wajah lelah. Panduan pembuatan laporan keuangan yang sedang ia pelajari tampak penuh angka, istilah, dan aturan detail yang membuat kepalanya hampir pecah. “Ya Tuhan… detail sekali, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan,” desisnya sambil mengacak rambut dengan frustasi. Ia kemudian menarik kedua kakinya ke atas kursi, menekuknya, lalu memeluk lutut seakan mencari kenyamanan. Matanya menatap layar penuh putus asa. “Bagaimana aku bisa menguasai semua ini dalam sehari?” gumamnya hampir menyerah. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. “Non Nyra, makan malam sudah siap,” ucap seorang pelayan dari luar. Siva mendesah berat. Ia baru sadar sejak pulang dari kantor sore tadi, waktunya habis hanya untuk membaca panduan itu, tanpa henti. Kini sudah jam makan malam. “Bawa makan malam itu ke kamar saja, Bi. Aku masih banyak kerjaan,” jawab Siva cepat. Pelayan di luar pintu terdiam sesaat. Tak biasanya majikannya meminta makanan dibawa ke kamar, sebab Nyra selalu makan di ruang makan, menjaga tata krama rumah. Hal itu membuatnya bingung. “Non, apa benar makan malamnya dibawa ke kamar?” “Ya, benar! Aku sudah bilang tadi, bawa saja ke dalam,” balas Siva ketus. “Baik, Non.” Pelayan itu pun pergi, lalu kembali membawa nampan berisi beberapa hidangan. Saat masuk, ia sempat tersentak melihat posisi duduk Siva. Majikannya duduk dengan kaki naik ke kursi, sangat kontras dengan kebiasaan Nyra yang selalu anggun dan sopan, bahkan di rumah sekalipun. Tatapan pelayan itu tanpa sadar membesar. “Apa yang kamu lihat?” lontar Siva ketus, menatap tajam. Tubuh pelayan bergetar. “Tidak, Nona. Makanan ini ditaruh di mana?” “Taruh di sini, di meja samping laptop.” Pelayan meletakkan nampan dengan hati-hati. Namun keganjilan itu masih jelas di benaknya. 'Nona Nyra, jarang sekali membawa pekerjaan ke rumah. Apa sedang sibuk sekali di kantor sekarang sampai pekerjaan dibawa juga ke sini?'. Siva mengerling tajam. “Ada apa? Kenapa masih berdiri di situ? Kalau sudah selesai, kamu boleh keluar.” Suaranya dingin, tapi ada nada mengusir yang halus. “Baik, Nona. Bila ada sesuatu lain yang dibutuhkan, tinggal panggil saja,” balas pelayan dengan nada ketakutan, lalu buru-buru keluar. Begitu pintu tertutup, Siva mendengus. “Kenapa pelayan di rumah ini cerewet sekali sih?” gerutunya sambil melirik makanan, lalu kembali menatap laptop dengan wajah muram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN