bc

Mengambil Kembali Milikku

book_age18+
60
IKUTI
1K
BACA
dark
HE
heir/heiress
drama
tragedy
like
intro-logo
Uraian

Hidup Nyra Vilja sempurna, seorang CEO muda, punya tunangan idaman, masa depan gemilang. Sampai ia bertemu Siva Isabel, wanita asing dengan wajah yang identik dengannya. Pertemuan itu mengubah segalanya.

Dikhianati, dicelakai, dan dibuang, Nyra dianggap mati. Namun takdir mempertemukannya dengan Ferrin Cyrus, dokter yang menolongnya ketika amnesia melumpuhkan ingatan.

Saat potongan kenangan kembali, Nyra tersadar, identitas, perusahaan, dan bahkan tunangannya telah direbut oleh Siva.

Kini, hanya ada satu jalan, bangkit dan mengambil kembali miliknya.

Namun harga yang harus dibayar jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.

chap-preview
Pratinjau gratis
Eps. 1 Percakapan Di Jembatan
Nyra, dengan senyum tipis di bibirnya, menikmati sore yang tenang di balkon apartemen mewahnya. Di tangannya, sebuah majalah bisnis menampilkan wajahnya di halaman depan sebagai CEO muda yang visioner. Sakha, tunangannya, baru saja menghubunginya, mengabarkan bahwa ia akan terlambat makan malam karena rapat mendadak. Meski sedikit kecewa, Nyra memahami tuntutan pekerjaan Sakha di perusahaan multinasional mereka. Pintu apartemen terbuka, dan Siva masuk. Wajahnya yang persis sama dengan Nyra, kini tak lagi lusuh. Berkat Nyra, Siva kini lebih terawat, rambutnya rapi, pakaiannya sederhana namun elegan. Nyra menyambutnya dengan hangat. “Siva, ada apa? Aku kira kamu sedang sibuk mengurus pekerjaan barumu.” Siva tersenyum, senyum yang bagi Nyra terasa tulus, namun di dalamnya tersimpan ketajaman yang tak terlihat. “Aku hanya ingin menemuimu, Nyra. Ada yang ingin kubicarakan, empat mata.” “Tentu,” sahut Nyra, sedikit heran namun tak menaruh curiga. Ia melihat Siva sebagai teman yang ia lindungi, seorang kembaran takdir yang baru ia temukan. “Kamu ingin bicara di sini, atau kita keluar?” “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?” ajak Siva, matanya memancarkan sesuatu yang aneh. “Ada tempat yang ingin kutunjukkan. Rasanya penting untuk kita bicara di sana.” Nyra setuju. Mereka meninggalkan apartemen dan memasuki mobil mewah Nyra. Siva mengambil alih kemudi, beralasan ingin menguji mobil baru Nyra. Nyra tertawa, menikmati perhatian yang diberikan Siva. Mereka menyusuri jalanan kota yang mulai sepi, menuju pinggiran. Nyra mulai merasa aneh ketika jalanan semakin gelap dan sunyi, hanya diterangi lampu jalan yang jarang-jarang. “Siva, kita mau ke mana? Ini bukan jalan menuju restoran yang kamu bilang.” Nyra mulai merasa tidak nyaman. "Sedikit lagi, Nyra. Ini tempat yang istimewa bagiku," jawab Siva, tanpa menoleh. Wajahnya tetap datar, namun rahangnya sedikit mengeras. Akhirnya, mobil berhenti di dekat sebuah jembatan tua yang sepi, jauh dari keramaian kota. Di bawah jembatan itu, sungai mengalir deras, suaranya menderu-deru. Angin dingin berembus kencang. Nyra menatap Siva dengan bingung. “Siva, tempat apa ini? Kenapa kau membawaku ke sini?” Siva mematikan mesin mobil. Keheningan yang mencekam menyelimuti mereka, hanya diselingi deru sungai. Siva menoleh ke arah Nyra, senyumnya kini menghilang, digantikan oleh ekspresi dingin dan penuh kebencian yang belum pernah Nyra lihat. “Kau tahu, Nyra,” Siva memulai, suaranya pelan namun menusuk, “Kau selalu mendapatkan segalanya dengan mudah. Lahir di panti, lalu diadopsi keluarga kaya. Hidupmu sempurna. Sementara aku?” Ia tertawa pahit. “Aku harus berjuang untuk setiap remah makanan. Aku harus tahu rasanya dibuang, diinjak-injak, diperlakukan seperti sampah.” Nyra merasakan ketakutan mulai merayapi hatinya. "Siva, apa maksudmu? Aku tidak pernah bermaksud—" "Tidak bermaksud?" Siva memotong, suaranya meninggi. "Kamu nggak tahu apa-apa! Kamu nggak tahu bagaimana rasanya melihat pantulan dirimu sendiri hidup dalam kemewahan, sementara kamu hidup dalam neraka! Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bayangan, menjadi sesuatu yang tidak diinginkan!" Nyra berusaha menenangkan dirinya. "Siva, aku nggak mengerti. Aku sudah membantumu. Aku ingin kamu juga punya hidup yang baik." "Hidup yang baik? Dengan sisa-sisa darimu?" Siva mengejek. "Aku nggak butuh sisa-sisamu, Nyra. Aku butuh semua yang kamu miliki. Aku butuh hidupmu!" Siva tiba-tiba meraih pergelangan tangan Nyra dengan kuat. Nyra terkejut, mencoba melepaskan diri. "Siva, apa-apaan ini? Lepaskan aku!" “Nggak!” Siva membentak, matanya menyala. “Kamu yang harus melepaskan semuanya! Kamu harus melepaskan Sakha, perusahaan ini, nama Wijaya itu! Semua itu seharusnya milikku!” Mereka berdua kini berdiri di tepi jembatan. Deru sungai di bawah mereka terdengar semakin mengancam. Nyra merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya. “Siva, kamu sudah gila! Ini nggak akan menyelesaikan apa-apa!” “Oh, ini akan menyelesaikan banyak hal,” Siva menyeringai. Ia mendorong Nyra dengan kekuatan penuh. Nyra limbung, kakinya tergelincir di tepi jembatan yang licin. “Siva, jangan!” teriak Nyra, kepanikan memenuhi suaranya. “Selamat tinggal, Nyra,” bisik Siva dingin, sebelum memberikan dorongan terakhir. Nyra kehilangan keseimbangan, tubuhnya terpelanting ke udara sebelum jatuh bebas ke dalam kegelapan dan kederasan air sungai di bawah jembatan, terhempas oleh arus yang kuat. Siva berdiri di sana, memandangi pusaran air yang menelan kembarannya, wajahnya kini dipenuhi kepuasan dingin. ** Malam telah larut, namun Ferrin Cyrus, dokter bedah saraf berusia 28 tahun itu, masih merasa gelisah. Operasi yang baru saja ia selesaikan, meski berhasil, meninggalkan jejak kelelahan dan rasa bersalah yang samar. Seorang pasien anak kecil yang ia obati, terus terbayang. Ia membutuhkan waktu untuk menjernihkan pikiran. Klinik dan tempat tinggalnya berada di pinggir kota, tak jauh dari aliran sungai yang membelah hutan kecil. Ini adalah tempat favoritnya untuk menepi, merenung, dan mencari ketenangan setelah hari-hari yang panjang dan menegangkan. Dengan langkah gontai, Ferrin berjalan menyusuri tepian sungai yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang sesekali menembus rimbunnya dedaunan. Deru air yang mengalir deras selalu menjadi musik pengantar kontemplasinya. Ia mencari tempat biasa favoritnya, sebuah batu besar yang menjorok ke sungai, di mana ia bisa duduk dan membiarkan pikirannya hanyut bersama arus. Namun, malam itu ada yang berbeda. Seiring mendekatnya ia ke arah batu tersebut, sebuah siluet samar menarik perhatiannya. Sebuah benda tersangkut di antara akar pohon yang menjalar di tepi sungai, dekat bebatuan tajam. Ferrin mengernyitkan dahi. “Mungkin hanya batang kayu atau sampah yang hanyut,” gumamnya. Tapi naluri dokternya mendesaknya untuk mendekat. Semakin dekat, jantung Ferrin berdebar kencang. Itu bukan batang kayu. Itu adalah sesosok tubuh manusia, tergeletak tak berdaya, separuh badannya terendam air, separuh lagi tersangkut di akar. Seragam biru tua yang dikenakannya, kini robek dan kotor, sebagian besar telah hanyut terbawa arus. Ferrin bergegas. Dengan sigap, ia melompat ke bawah, berusaha meraih tubuh itu. Arus sungai sangat kuat, membuat usahanya sulit. Setelah beberapa kali percobaan, dengan sekuat tenaga ia berhasil menarik tubuh wanita itu ke daratan yang lebih aman. Ia meletakkannya dengan hati-hati di atas rerumputan, lalu menyalakan senter ponselnya. Cahaya senter menyinari wajah pucat itu. Ada luka memar di pelipis, bibir pecah-pecah, dan beberapa goresan di lengan serta kakinya. Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah tidak adanya tanda-tanda kehidupan yang jelas. Ferrin segera memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan dan leher. Lemah, sangat lemah, nyaris tak terasa. Tidak ada respons pernapasan. Tanpa membuang waktu sedetik pun, Ferrin memulai CPR. Napas buatan, kompresi da-da, ia melakukan dengan cekatan dan fokus penuh, seolah ini adalah pasiennya di meja operasi. Deru sungai menjadi saksi bisu perjuangannya menyelamatkan nyawa yang nyaris hilang ini. Setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, tiba-tiba wanita itu terbatuk, mengeluarkan sedikit air, dan ada tarikan napas pendek yang memancing harapan. Ferrin menghela napas lega, namun masih dalam ketegangan. Wanita itu belum sadar, tapi setidaknya ia hidup. Ia segera meraih ponselnya, menghubungi ambulans. Sambil menunggu, ia memeriksa luka-luka wanita itu. Selain memar di kepala, ada beberapa goresan dalam yang menunjukkan perlawanan, atau mungkin terseret arus. “Dia bukan korban kecelakaan biasa.” Mata Ferrin menyipit, mencurigai sesuatu yang lebih gelap di balik insiden ini. Wanita ini, siapapun dia, telah melalui sesuatu yang mengerikan.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King [updated daily]

read
267.3K
bc

Too Late for Regret

read
156.3K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.3M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.0M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
98.6K
bc

The Lost Pack

read
102.7K
bc

Revenge, served in a black dress

read
97.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook