Eps. 2 Awal Penyamaran

1048 Kata
Siva duduk di depan cermin besar di kamar utama Nyra, memandangi pantulan dirinya. Senyum lebar mengembang di bibirnya, bibir yang kini merah merona dengan lipstik mahal milik Nyra. Ia membelai rambutnya yang indah, baru saja selesai dicatok rapi. Di tangannya, ia memegang kalung berlian yang berkilauan, salah satu perhiasan kesayangan Nyra. “Nyra,” bisiknya pada pantulan dirinya, suaranya dipenuhi kepuasan dingin. “Semuanya akan jadi milikku. Mulai dari sekarang.” Dia bangkit, berjalan mengelilingi kamar tidur mewah itu. Jari-jarinya menyentuh gaun-gaun sutra yang tergantung rapi, menyusuri deretan tas bermerek, mengagumi perhiasan-perhiasan berkilauan yang tersimpan di dalam lemari kaca. Setiap sentuhan terasa seperti kemenangan. Ini semua bukan lagi milik Nyra, tapi sekarang ini adalah miliknya. “Dan kamu sudah mati,” gumamnya lagi, tawa kecil keluar dari tenggorokannya. Tawa yang terdengar manis, namun menyimpan kegelapan yang tak terhingga. Ponsel Nyra berdering di nakas. Panggilan dari "Sakha ". Siva mengambil ponsel itu, menatapnya sejenak. Ia harus bersikap seperti Nyra. Menghela napas, ia mengangkatnya. “Halo, Sakha? Maaf, tadi aku baru saja mandi,” ucapnya, menirukan intonasi manja Nyra dengan sempurna. “Halo Sayang, aku sejak tadi meneleponmu dan baru sekarang kamu angkat, aku khawatir saja terjadi sesuatu padamu. Syukurlah bila kamu ternyata ada di kamar mandi rupanya.” Terdengar suara lega dari sambungan itu, tanpa rasa curiga sedikit pun. “Aku baik-baik saja, nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Sakha, Sayang,” balas Siva sambil tersenyum lebar penuh kepuasan dan kemenangan, kali ini dia bahkan juga bisa memiliki tunangan Nyra. Panggilan berakhir setelahnya, Siva kembali menatap cermin. Di matanya, terpancar ambisi dan kekejaman. “Tidak ada yang akan tahu kalau Nyra yang asli sudah meninggal. Dan aku yang akan menjadi Nyra mulai dari sekarang.” Ia mengulang kalimat itu, seolah mengukuhkannya sebagai mantra. Malam ini, ia akan tidur di ranjang Nyra, esok ia akan melangkah ke perusahaan Nyra, dan seterusnya, ia akan hidup sebagai Nyra. Hidup yang seharusnya menjadi miliknya sejak awal. Dunia ini telah berhutang banyak padanya, dan kini saatnya ia menagihnya. ** Di sebuah klinik, ruanh praktik. “Apakah ada solusi untuk masalah suami saya, Dok?” Suara seorang wanita paruh baya memecah keheningan ruang konsultasi Ferrin. Wajahnya dipenuhi kecemasan yang mendalam. Ferrin, dengan raut wajah tenang namun tegas, menjelaskan hasil pemeriksaan. “Suami Ibu mengalami penggumpalan darah pada otak bagian belakang. Saran saya, harus segera dilakukan operasi untuk membersihkan gumpalan darah itu. Jika tidak, tekanannya akan semakin besar dan bisa menyebabkan kerusakan permanen, bahkan...” Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya, membiarkan pasien mengerti implikasi yang lebih parah. Pasien itu menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Operasi...apakah tidak ada cara lain, Dok? Bagaimana peluang keberhasilannya?” Ia terus bertanya, menumpahkan semua kekhawatirannya pada Ferrin. Ferrin dengan sabar menjawab setiap pertanyaan, menjelaskan setiap detail risiko dan kemungkinan, hingga beberapa saat kemudian, sang pasien berdiri. “Terima kasih, Dokter Ferrin,” ucapnya, suaranya sarat emosi. “Ya, Bu, saya tunggu keputusan Anda secepatnya,” balas Ferrin, mengangguk. Ia tahu betapa berat keputusan yang harus diambil keluarga pasien. Setelah pasien terakhir pergi, Ferrin menghela napas. Ia berdiri dari kursinya, merapikan beberapa dokumen di meja, lalu keluar dari ruangan periksa. Koridor klinik sepi, hanya ada suara AC yang berdengung. Langkah kakinya membawa Ferrin ke ujung koridor, di mana sebuah ruangan khusus berdiri. Ruangan itu sebelumnya kosong, kini sudah dihuni oleh sosok pasien asing, wanita yang dia temukan semalam sebelumnya di sungai dan masih belum sadarkan diri sampai sekarang. Suara pintu berderit pelan, saat Ferrin membukanya. Aroma antiseptik bercampur dengan bau obat samar memenuhi ruangan. Di ranjang rumah sakit, terbaring Nyra, dengan infus terpasang di lengannya dan perban melilit kepalanya. Wajahnya yang pucat masih belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Ferrin menghampiri ranjang, berdiri di sampingnya dan menatap wajah damai yang ironisnya memiliki luka di sana-sini. Ia memeriksa monitor detak jantung, memastikan semuanya stabil. “Kenapa belum sadarkan diri?” gumamnya lirih. Suaranya terdengar seperti sebuah pertanyaan yang ditujukan pada dirinya sendiri. “Harusnya dia sudah sadar sekarang.” Ia menatap Nyra. Ada perasaan aneh yang muncul setiap kali melihat wajah itu—percampuran antara iba, kekhawatiran, dan rasa ingin tahu yang besar. “Siapa wanita ini? Mengapa ia sampai terdampar di sungai dalam kondisi seperti itu? Luka-lukanya jelas bukan hasil kecelakaan biasa.” Ia merasa memiliki tanggung jawab lebih terhadap wanita misterius ini, melebihi kewajibannya sebagai seorang dokter. Seolah-olah, ada benang tak kasat mata yang mengikatnya pada takdir Nyra. Ferrin masih berdiri di sana, tak beranjak dari sisi ranjang. Mata Ferrin lekat pada wajah pucat Nyra, menanti tanda-tanda kesadaran. Ia berharap, mungkin saja setelah ini pasien itu akan tersadar. Detik demi detik berlalu, menyisakan keheningan di antara mereka, hanya suara mesin monitor jantung yang terdengar mengisi ruangan. Lalu, betapa terkejutnya dia ketika melihat gerak pelan jemari Nyra. Jantung Ferrin seketika berpacu, ada gelombang harapan dan antisipasi yang menyergapnya. Jemari itu bergerak lagi, kali ini lebih pasti. Tak lama kemudian, kelopak mata Nyra bergetar, lalu terbuka perlahan. Pandangan matanya kosong menatap ke sekeliling ruangan yang asing baginya, lalu beralih, terkunci pada sosok Ferrin yang berdiri di dekatnya. “Kamu sudah sadar?” tanya Ferrin, mendekat, suaranya dipenuhi kelegaan. Nyra mengerjap sekali lagi, mencoba memahami situasi. Ia menatap lekat dokter asing di depannya, yang kini menatapnya penuh cemas. “Aku... aku kenapa ada di rumah sakit?” tanyanya, suaranya serak dan lemah. “Kamu terbawa arus sungai dan aku menemukanmu dalam keadaan tak sadarkan diri juga terluka. Lalu aku membawamu ke klinikku,” jelas Ferrin, nadanya lembut. “Apa kamu baik-baik saja sekarang?” imbuhnya, cemas sekaligus penasaran dengan kondisi pasien yang ditemukannya ini. “Aku... merasa sakit di sekujur tubuh,” balas Nyra, mencoba menggerakkan anggota badannya, namun rasa sakit yang tajam membuatnya mendesis pelan. “Tenang, luka kamu akan segera sembuh secara bertahap. Aku senang kamu sudah sadar.” Ferrin tersenyum tipis, berusaha menenangkan. Kemudian, ia mengajukan pertanyaan krusial yang bisa memberinya petunjuk tentang kondisi kepala Nyra. “Sekarang, apa kamu ingat siapa namamu?” Nyra memejamkan mata sejenak, berusaha keras mengingat. Namun, kepalanya terasa berdenyut sakit, dan ia mendesis lagi. “Akh! Sakit! Aku... aku nggak tahu namaku,” ucapnya frustasi, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Kekosongan itu terasa mengerikan. “Jangan dipaksa bila begitu. Kamu baru sadar, pelan kamu akan mengetahui kembali informasi itu nanti,” ucap Ferrin mencoba menenangkan, namun dia Jadi curiga bila kepala pasien tidak baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN