Eps. 3 Amnesia

1097 Kata
Ferrin segera bergerak, naluri profesionalnya mengambil alih. Ia menyalakan senter kecilnya, memeriksa pupil mata Nyra. “Ikuti cahaya ini, ya,” katanya lembut, menggerakkan senter ke kiri dan kanan. Pupil Nyra merespons, meski sedikit lambat. Ia juga memeriksa refleks Nyra dengan mengetuk lututnya menggunakan palu refleks kecil. “Apakah ada bagian tubuh yang terasa mati rasa atau tidak bisa digerakkan?” Nyra mencoba menggerakkan jari-jari kakinya, lalu mengangkat lengannya perlahan. “Tidak, Dok. Semua terasa... sakit, tapi bisa bergerak.” Ferrin mengangguk, sedikit lega. “Bagus.” Ia kemudian meletakkan jari telunjuknya di hadapan Nyra. “Bisa kamu sentuh hidungmu, lalu jariku secara bergantian?” Nyra melakukannya dengan sedikit gemetar, tapi cukup akurat. Itu menandakan koordinasi motoriknya masih baik. Setelah serangkaian pemeriksaan fisik neurologis singkat, Ferrin beralih ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih menguji kognitif. “Oke, sekarang coba ingat, apa warna bajumu sebelum ini?” Nyra mencoba berpikir keras, keningnya berkerut. Matanya menatap langit-langit seolah mencari jawaban di sana. “Aku... aku tidak ingat. Sepertinya... biru?" jawabnya ragu, seakan meraba-raba di kegelapan. “Sekarang tanggal berapa?” “Aku... tidak tahu.” “Kamu ingat bagaimana kamu bisa sampai di sungai itu?” Gelengan kepala Nyra terasa berat. “Tidak. Semuanya gelap sebelum aku terbangun di sini.” Ferrin menghela napas. Hasil pemeriksaan fisiknya relatif normal, tapi respons Nyra terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar itu mengindikasikan sesuatu yang lebih serius. “Dari hasil pemeriksaan awal, sepertinya kamu kemungkinan besar mengalami amnesia. Ini bisa disebabkan oleh benturan keras di kepala saat kamu jatuh atau terbawa arus sungai.” Wajah Nyra memucat. “Amnesia? Jadi... aku nggak ingat siapa aku? Atau keluargaku?” Suaranya terdengar panik. “Tenang, kita belum bisa memastikan sepenuhnya. Untuk memastikan tidak ada kerusakan yang lebih serius pada otakmu, aku ingin melakukan rontgen kepala. Ini prosedur yang cepat dan tidak sakit, hanya untuk melihat bagian dalamnya.” Ferrin mencoba menenangkan. “Apakah kamu bersedia?” Nyra menatap Ferrin, matanya dipenuhi ketakutan dan kebingungan, namun juga ada secercah harapan. Ia mengangguk pelan. “Ya, Dokter. Tolong... tolong bantu aku mengingat.” Ferrin tersenyum lembut. “Itu pasti. Sekarang istirahat dulu. Setelah ini perawat akan membawamu ke ruang rontgen.” Ia tahu jalan di depan mereka masih panjang, tapi setidaknya, langkah pertama menuju pemulihan sudah dimulai. Wanita ini adalah misteri, dan Ferrin bertekad untuk menyibaknya, sekaligus membantunya menemukan kembali siapa dirinya. Tak lama kemudian, pintu ruangan khusus itu terbuka, menampakkan seorang perawat wanita dengan senyum ramah. “Mari, Nona,” ujarnya lembut, membantu Nyra duduk tegak di ranjang yang kini bisa dinaikkan. “Waktunya rontgen.” Meskipun Ferrin sudah menjelaskan prosedurnya, ketakutan masih menyelimuti Nyra. Ia merasa rentan, kehilangan kendali atas tubuh dan ingatannya sendiri. Proses rontgen terasa asing dan menakutkan, dengan mesin besar yang bergerak mengelilingi kepalanya, mengeluarkan bunyi dengungan. Ia mencoba menenangkan diri, berpegangan pada harapan bahwa ini akan membawa kembali kepingan-kepingan masa lalunya. Setelah beberapa menit yang terasa lama, prosedur selesai. Perawat kemudian membawa Nyra ke sebuah ruangan tunggu kecil di samping area radiologi. Ferrin sudah berada di sana, menunggunya. Wajahnya serius, memegang sebuah tablet yang menampilkan gambar-gambar hasil rontgen. “Bagaimana, Dok?” tanya Nyra, suaranya tercekat. Jantungnya berdetak tak keruan, antisipasi bercampur ketakutan akan kebenaran yang akan diungkap. Ferrin menghela napas, menatap Nyra dengan tatapan prihatin. “Nona, berdasarkan hasil rontgen... tidak ada kerusakan struktural yang signifikan pada otakmu. Tidak ada pendarahan internal atau patah tulang di kepala.” Nyra sempat merasa lega sesaat, namun ekspresi Ferrin yang masih serius membuatnya kembali tegang. “Lalu?” “Tapi ini mengkonfirmasi dugaan awal kita,” lanjut Ferrin. “Secara medis, semua baik-baik saja, namun ketiadaan ingatanmu menunjukkan bahwa kamu memang mengalami amnesia.” Ia menjeda, memilih kata-kata yang tepat. “Lebih tepatnya, amnesia disosiatif atau amnesia total, yang dipicu oleh trauma fisik dan emosional yang intens. Otakmu, sebagai mekanisme pertahanan, telah memblokir ingatan masa lalumu.” Dunia Nyra serasa runtuh. Kata 'amnesia total' menggema di kepalanya. Ia tidak hanya melupakan nama dan peristiwa, tapi seluruh identitasnya. Sebuah kekosongan yang mengerikan. Air mata yang selama ini ia tahan, kini tak terbendung. “Jadi... aku benar-benar tidak ingat apa-apa?” Suaranya nyaris seperti bisikan, sarat dengan kesedihan, ketakutan, dan keputusasaan. “Aku... aku tidak punya siapa-siapa? Aku nggak tahu siapa diriku?” Ferrin melihat kehancuran di mata Nyra. Ia merasakan empati yang mendalam. “Untuk saat ini, ya. Tapi ini bukan berarti permanen. Banyak kasus amnesia disosiatif yang bisa pulih seiring waktu dan dengan bantuan terapi. Otak adalah organ yang luar biasa, Nona.” “Tapi... bagaimana? Bagaimana aku bisa mengingat?” Nyra menatap Ferrin, mencari pegangan di tengah kebingungannya. Ferrin duduk di sampingnya, meletakkan tangannya di bahu Nyra dengan lembut. “Kita akan mencobanya pelan-pelan. Kita tidak akan memaksamu. Yang terpenting sekarang adalah kamu pulih secara fisik. Setelah itu, kita akan fokus pada pemulihan ingatanmu. Aku akan menjadi dokter dan juga membantumu dalam proses ini.” Nyra hanya bisa mengangguk, masih terisak. Setelah beberapa saat, ia mencoba menenangkan diri. “Apa... apa yang akan kita lakukan sekarang, Dok?” Ferrin tersenyum menenangkan. “Sekarang, kita kembali ke kamarmu. Kamu perlu istirahat. Aku akan memastikan kamu mendapatkan semua perawatan yang diperlukan. Dan besok, kita akan mulai dari awal. Mencoba mencari petunjuk tentang siapa dirimu, sedikit demi sedikit.” Ia berdiri, mengulurkan tangannya. “Mari, Nona. Aku akan menemanimu.” Ferrin dengan sabar menuntun Nyra kembali ke kamarnya. Tangannya yang hangat sesekali menopang punggung Nyra, memastikan wanita itu tidak limbung. Di ruangan khusus itu, suasana terasa lebih akrab dan personal. Ferrin menyelimuti Nyra, memastikan ia nyaman. “Terima kasih, Dokter Ferrin,” ucap Nyra, menatapnya dengan tatapan penuh penghargaan. “Berkat Anda, aku selamat. Mungkin sampai kapan pun aku nggak akan pernah bisa membalas budi ini.” Ferrin tersenyum tipis. “Itu sudah tugasku, Nona.” “Tapi... setelah ini aku harus ke mana?” Nyra tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. “Aku nggak tahu siapa diri ku. Nggak kenal siapa pun. Aku nggak punya tujuan...” Suaranya memudar, kembali diliputi keputusasaan. “Bagaimana kalau nggak ada yang mencari ku?” Ferrin menatap Nyra. Ada tekad kuat di matanya. “Jangan khawatirkan itu dulu. Prioritas kita adalah pemulihanmu.” Ia mengambil napas dalam. “Untuk sementara, kamu bisa tinggal di sini, di klinik ini. Aku punya ruang kosong yang bisa kamu gunakan. Aku akan merawat dan menjagamu.” Mata Nyra membulat, terkejut sekaligus tersentuh. “Anda serius, Dok?” “Aku serius, Nona. Sampai kamu pulih sepenuhnya, atau sampai kita menemukan siapa dirimu. Aku nggak akan membiarkanmu sendirian.” Kata-kata Ferrin mengalir tulus, menawarkan sebuah jangkar di tengah badai amnesia yang melanda Nyra. Sebuah janji untuk menemani Nyra dalam kegelapan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN