Laura tersenyum saat melihat Davina muncul dari pintu keluar, lobi rumah sakit.
Wanita yang selalu menutupi wajahnya dengan masker itu melambaikan tangan ke arahnya, begitu juga dengan dirinya.
“Ayo, aku lapar!” ajak Laura, membuka pintu mobil untuk Kakaknya.
“Aku juga, nggak sempat makan siang.” keluh Davina.
“Sesibuk itukah, sampai nggak sempet makan?” Laura tersenyum jahil ke arah Davina, yang sudah duduk di sampingnya.
“Sedikit sibuk.” balasnya, membuka masker yang menutupi wajahnya. “Kamu? Kenapa belum makan?”
“Aku nggak boleh sembarang makan, Kak. Aku punya jadwal untuk makan, yang nggak boleh dilanggar setiap harinya dan hari ini sengaja nggak makan dari pagi untuk makan malam denganmu.”
Davina berdecak, “Bohongnya, biasa juga makan sama si pengusaha itu,”
“Siapa? Noah?” Laura balik bertanya.
“Entahlah, gosip tentangmu terlalu banyak, aku nggak tahu mana yang asli dan tidak.”
Laura tidak tersinggung saat Davina mengatakannya, sebab beberapa gosip memang sengaja dilakukan hanya untuk keperluan bisnis saja.
“Restu Oma adalah salah satu kunci keberhasilan hubungan, artinya yang benar-benar menjadi calon pacarku nanti harus lulus seleksi Oma dulu.”
Davina mengangguk, “Jadi, antara kamu dan Noah?”
Tidak pernah merasa begitu penasaran pada dunia yang dijalani Laura, jikapun adiknya itu terlibat skandal atau gosip tentang hubungan pribadinya, Davina akan lebih memilih abai. Tiba-tiba saja ia begitu penasaran dan tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu, walaupun detik berikutnya ia merasa sangat menyesal.
“Entahlah, aku merasa nggak cocok sama dia. Jual mahal dan nggak ada aura romantisnya. Selain judes dan songong.” Laura bergidik.
“Baru kali ini Nemu lelaki yang nggak tertarik sama aku, padahal aku udah menurunkan sedikit egoku untuk menghubunginya lebih dulu, tapi hasilnya bikin geleng-geleng kepala.”
Davina terkekeh, “Kenapa emang?”
“Balesnya lama, tapi sekalinya balas cuman iya dan tidak. Aku ngerasa lagi kejar-kejar dia, kayak nggak ada harga dirinya banget.”
Tawa Davina semakin kencang, apalagi melihat ekspresi kesal yang ditunjukkan Laura, ketika menceritakan pengalamannya saat berusaha menghubungi Noah.
“Bingung banget, kenapa Oma begitu suka sama dia,”
“Mungkin kaya dan mapan, tampang juga oke ko,”
Laura menoleh di sela mengemudi, “Serius dia ganteng? Kamu nggak lagi sakit mata kan, Kak?”
Davina menggeleng, “Nggak. Memangnya kenapa? Noah jelek di mata kamu?”
“Jelas lah!! Banyak lelaki yang jauh lebih tampan dari dia dan nggak jual mahal seperti Noah! Gila aja!”
Davina kembali tersenyum. “Ya sudah, bilang sama Oma minta retur, Noah nggak termasuk dalam kriteria kamu.”
“Aku udah bilang gitu, dan untungnya Oma mau mempertimbangkan.”
Davina mengangguk, “Baguslah, setidaknya Oma masih memikirkan perasaanmu dan tidak memaksakan kehendak.”
Oma memang selalu memperhatikan Laura dalam segala hal, apalagi masalah jodoh. Oma pasti tidak akan gegabah dalam menjodohkan Laura dengan lelaki sembarangan apalagi status Laura saat ini adalah artis ternama ibu kota, jelas harus lebih hati-hati dalam memilih pasangan hidup.
“Tapi, tumben banget loh kak, kamu bilang cakep. Biasanya nggak gitu,”
“Aku juga normal, Lau. Walau selama ini aku lebih akrab dengan alat-alat medis tapi aku juga masih bisa membedakan mana lelaki tampan dan tidak.”
“Dan menurutmu, Noah tampan?”
“Sedikit,”
Laura menggelengkan kepalanya, sebab dimatanya Noah tidak begitu menarik. Memang memiliki ketampanan di atas rata-rata, tapi masih banyak lelaki yang jauh tampan dari Noah yang berusaha mencari perhatian nya. Harga dirinya benar-benar tersentil, saat mendapati reaksi Noah selama masa pendekatan beberapa hari terakhir.
Keduanya mengunjungi sebuah restoran yang memiliki ruangan khusus, sebab popularitas Laura yang kerap memancing perhatian banyak orang membuat keduanya memutuskan untuk memilih tempat khusus.
“Makan yang banyak kak, kamu kelihatan kurus banget.” Laura menambahkan potongan ikan ke atas mangkuk nasi milik Davina.
“Kamu juga,” balas Davina.
“Aku memang sengaja kurus, tapi aku selalu mengutamakan kesehatan.”
Davina menaikan satu alisnya, “Apakah kamu lupa, aku ini dokter?”
Laura terkekeh, “Ah,, iya. Hampir saja lupa.”
Saat keduanya tengah asik menikmati makan malam bersama, tiba-tiba saja ponsel Davina berdering. Ia lantas menerima panggilan dengan terburu-buru, bahkan sampai menaruh sendok di kedua tangannya.
“Iya, maaf nggak bilang dulu tadi,” ucapnya dengan nada lembut. “Udah jemput ya?” Ia menoleh ke arah Laura yang terlihat tidak peduli, namun bisa dipastikan mendengarkan obrolannya.
“Ini lagi makan, ketemu di rumah aja ya? Aku lagi makan bareng Laura, mau ngobrol sama dia?”
Laura mendengus pelan, dimana Davina pun langsung menoleh ke arahnya.
“Oh,, gitu ya.. yaudah sampai ketemu nanti di rumah, ya?”
Davina buru-buru mematikan sambungan, menaruh ponselnya di atas meja.
“Ayah?” tanya Laura.
“Dia nggak akan mau bicara denganku,” ucapnya ketus.
“Dia begitu perhatian padamu, Kak. Tapi akan membalas pesanku satu minggu kemudian, kesenjangan Ayah.” Laura tertawa, tapi ekspresinya jelas terlihat sangat terluka.
“Ayah juga nanyain kabar kami, Lau. Dia juga khawatir.”
Laura hanya mengangguk saja, walaupun tidak mempercayai.
“Aku lebih percaya kita rebutan si Noah, daripada ayah sayang sama aku.”
“Laura,,,”
Laura mengangkat satu tangannya, mengisyaratkan Davina untuk berhenti bicara.
“Noah,,,” Laura menunjukkan layar ponselnya dimana nama Noah muncul disana.
“Ngapain?”
Laura menggeleng, lalu segera menerima panggilan dari lelaki itu.
“Iya, Noah.” jawab Laura, sesaat setelah panggilan terhubung.
“Aku lagi makan malam bareng Kak Davina, mau gabung?”
Davina seketika menggelengkan kepala, berharap Noah menolak ajakan Laura.
“Boleh, aku kasih alamatnya. Kami tunggu.”
“Lau…” protes Davina, sesaat setelah panggilan terputus.
“Kenapa ajak dia sih?!”
“Kenapa? Dia mau gabung, katanya mau lebih dekat sama calon kakak ipar,” Laura hanya terkekeh saja
“Kita lihat seberapa besar usahanya untuk meyakinkan perjodohan ini.”
Laura terlihat begitu penasaran, namun yang dirasakan Davina justru sebaliknya. Ia selalu merasa bahaya setiap kali dekat dengan lelaki itu, entah apa alasannya.
Namun kebetulan selalu saja mempertemukan mereka dalam kesempatan yang tidak menguntungkan untuk Davina, contohnya hari ini. Dua kali ia harus bertemu Noah, dengan situasi dan kondisi yang tidak mengenakkan.
Jikapun pada akhir Laura akan menikah dengan lelaki itu, Davina berharap hubungan mereka hanya sebatas ipar. Davina tidak akan membangun hubungan harmonis dengan adik iparnya nanti, hal tersebut dilakukan untuk menghindari tuduhan Oma yang kerap menyudutkan Davina.
“Aku tidak ingin dilibatkan dalam pendekatan kalian, cukup kenal aku sebagai kakak dan kakak ipar saja.” Davina menyudahi makannya,
“Libatkan aku di hari besar kalian nanti, jangan saat masa pendekatan seperti ini. Kalian butuh waktu bersama, saling mengenal satu sama lain dan,,”
“Aku butuh pendapatmu Kak, itulah tujuan kita bertemu sekarang.” Laura menahannya.
“Aku tidak punya sosok ibu yang selalu menasehati dan memberi saran, aku juga nggak punya ayah yang siap menjadi garda terdepan di hidupku, tapi aku punya Kakak yang begitu peduli dan sayang sama aku. Jadi, tolong tetap disini dan Kak Davina, bisa menjadi juri untuk masa depanku. Aku akan menikah dengannya setelah mendapat restu dari Oma dan juga Kakak Davina.” Laura memegang tangannya.
“Aku sangat butuh pendapatmu, kak.”
Davina tidak bisa menolak, ia merasa sangat bertanggung jawab atas keputusan besar yang akan dipilih Laura nantinya.