Kania mencekik leher Edward dengan sekuat tenaga, seperti sudah kesetanan berusaha menyakiti pria itu. Tetapi tenaganya ternyata kalah kuat dibandingkan Edward, tangannya mudah sekali dilepas oleh lelaki tersebut. Kemudian dengan langkah mantap, Edward mendekati Kania dan tanpa aba-aba langsung meraih bibir wanita itu, mencium dengan paksa serta melumatnya tanpa ampun.
Rasa marah Kania kian meledak, ia memberontak, memukul-mukul d**a bidang Edward. Tetapi Edward cepat meraih tangannya, membekukannya sehingga ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Putus asa, Kania menggigit bibir Edward dengan kuat hingga terasa sakit menusuk, membuat ciuman akhirnya terlepas.
Edward menyeringai sambil mengusap bibirnya yang sedikit berdarah. "Ternyata kamu ganas juga," katanya dengan senyum smirk. "Tapi, aku suka," lanjutnya.
Kata-kata itu membuat darah Kania semakin mendidih. Dengan hati yang terasa panas membara, tangannya melayang hendak kembali menampar Edward. Tetapi sebelum sempat berbuat, tangannya itu sudah ditangkap terlebih dulu, tertahan oleh genggaman Edward yang kuat.
"Percayalah, aku hanya ingin menyelamatkanmu," ucap Edward dengan suara pelan, seolah memohon agar kata-katanya dimengerti dan dipercaya.
"Menyelamatkanku dari apa, hah? Justru, kamu yang sudah menghancurkan hidupku! Kenapa kamu terus mengganggu hidupku, apa maumu Edward?" teriak Kania histeris, penuh kemarahan, suara itu lebih seperti raungan wanita yang terluka.
"Kania, tenang. Aku tahu kamu marah, bahkan membenciku sekarang. Tapi percayalah, suatu hari kamu akan mengerti," ucap Edward dengan nada yang meyakinkan, tetapi di dalam hatinya bertanya-tanya, bisakah Kania benar-benar percaya padanya? "Bukankah kamu butuh bantuanku untuk balas dendam? Aku akan membantumu," katanya lagi, seolah tawaran itu adalah jaminan. "Sekarang, aku akan mengantarmu pulang."
Kania menelan ludah, berjuang menenangkan amarah yang bergemuruh di d**a. Apakah ia memang membutuhkan bantuan Edward? Namun saat ini, tidak ada tempat lain yang ingin dia tuju atau hal yang mau dilakukannya selain pulang, menyendiri di kamar yang sunyi, tempat ia bisa bernapas tanpa beban. Akhirnya, ia mengangguk pelan, membiarkan Edward mengantarnya pulang.
Edward pun tak lagi berbuat macam-macam, setelah memastikan Kania sampai dengan selamat dan pintu rumahnya tertutup rapat, ia bergegas meninggalkan tempat tersebut. Entah mengapa, Kania merasa campuran antara kelegaan dan ketidakpastian yang membuncah di dalam d**a.
***
Sementara itu di kediaman Drax, Arya masih menemani kakeknya mengobrol tentang banyak hal. Salah satunya, mereka juga membahas tentang pernikahan Arya dan Kania yang sudah semakin dekat.
"Aku pastikan pernikahanku dan Kania pasti akan berjalan dengan lancar, Kek. Asalkan tidak ada orang lain yang mengacaukannya," ucap Arya tiba-tiba, membuat Wira merasa terkejut.
"Apa maksudnya? Apa ada orang ketiga yang mengganggu hubungan kalian?" tanya pria paruh baya itu.
"Ti-tidak. Tidak ada, Kek. Ya … aku mengatakan seperti itu, mungkin saja nanti ada. Misalnya seorang laki-laki yang datang tiba-tiba dan ingin menghancurkan hubunganku dengan Kania," jawab Arya gugup, mengingat dialah yang sebenarnya sudah menciptakan orang ketiga dengan berselingkuh, tetapi malah playing victim dan mencurigai orang lain.
"Maksudmu, apa ada seorang laki-laki yang sedang mendekati kania?" tanya Wira, ingin memastikan.
"Ya, mungkin saja. Bisa jadi itu adalah Om Edward," kata Arya tanpa ragu.
"Edward? Kenapa kamu bisa berkata seperti itu?" tanya Wira dengan nada penasaran yang sulit disembunyikan.
Arya menatap kakeknya sejenak, mencoba merangkai kata yang selama ini terpendam dalam d**a. "Kakek juga tahu, Om Edward selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Sementara aku? Aku harus berjuang mati-matian." Suaranya agak berat saat ia mengatakan hal itu. Rasanya seperti ada beban yang menekan setiap helaan napasnya.
"Aku tidak pernah menang melawan Om Edward, termasuk saat dia bisa mendapatkan posisi yang bagus di perusahaan Kakek. Padahal, sudah bertahun-tahun aku bekerja di perusahaan Kakek, tapi Kakek hanya menjadikan aku Direktur Keuangan. Sementara Om Edward, dia baru saja kembali dari luar negeri, langsung diangkat sebagai CEO," ujar Arya dengan nada yang hampir tak tersembunyikan, seolah menyisipkan sedikit iri di balik ucapannya. Ia ingin kembali bersuara, tetapi suara Wira tiba-tiba memotong.
"Tutup mulutmu! Seakan-akan kamu mengatakan Kakek sudah pilih kasih. Padahal, Edward bisa langsung menjadi CEO di sini karena di luar negeri dia sudah punya pengalaman itu. Dia juga memulainya dari nol. Kalau kamu mau mendapatkan posisi yang bagus, tunjukkan kemampuanmu. Jangan iri pada pamanmu sendiri atau orang lain. Itu memang batas kemampuanmu."
Kata-kata itu menusuk, tetapi Arya tahu kakeknya tidak sepenuhnya salah. Apakah dia sudah berusaha semaksimal itu? Apakah dia terlalu cepat menyerah ketika semua terasa berat? Atau memang selama ini, ini saja batas kemampuannya? Rasa frustrasi dan ketidakadilan bergulat di hatinya, sementara di luar sana, Edward terus melangkah dengan langkah yang pasti.
Menatap serius, Wira kembali berbicara, " Soal Kania, Kakek yakin Edward tidak akan merebutnya darimu. Dia sudah memiliki wanita yang dia cintai. Jadi, kamu tidak perlu khawatir."
Mendengar itu, entah kenapa Arya ragu, masih merasa ada sesuatu yang tersembunyi. "Om Edward sudah punya wanita yang dicintainya? Apa itu benar, Kek? Jadi, apa itu alasan dia menolak perjodohan yang Kakek atur?" Dia cukup terkejut, tidak menyangka kakeknya punya cerita seperti itu.
Wira mengangguk pelan. "Ya, mungkin begitu. Tapi, Kakek juga tidak tahu kapan dia akan membawa wanita itu ke hadapan Kakek." Rasa penasaran itu memang belum terjawab, tetapi ia bersabar. "Sudahlah, ini sudah malam. Kalau kamu mau pulang, pulang saja sekarang. Kakek juga mau istirahat." Wira lalu memberi pesan dengan serius, "Jangan lupa katakan pada ibumu, kalau dia masih menganggap Kakek ini ayahnya, suruh dia sering-sering ke sini menjenguk Kakek."
Arya mengangguk, hatinya campur aduk antara lega dan cemas. "Iya, Kek. Selamat istirahat, ya. Aku pamit dulu." Setelah menyalami sang kakek, ia pergi meninggalkan kediaman Drax, membawa sejuta pertanyaan di benaknya.
***
Rutinitas pagi ini berjalan seperti biasa, tetapi hati Kania bergolak mencoba menyembunyikan kekacauan yang kemarin terjadi antara dirinya dan Edward. Ia berusaha tetap profesional, menata wajah tenang seolah tak ada apa-apa. Semua berkas sudah ia selesaikan, ia sudah mengantarkannya tepat ke meja CEO dan kini, ia ingin segera pergi.
Tapi tiba-tiba, suara Edward memanggil dari belakang, "Tunggu!"
Jantung Kania langsung berdetak lebih cepat. Ia menoleh perlahan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya, berharap Edward tak akan membuat situasi makin canggung.
Tetapi Edward tak menjawab, wajahnya mendekat tanpa sepatah kata pun. Kania merasa risih, seluruh tubuhnya tiba-tiba kaku, gugup menyeruak tanpa kuasa ia lawan.
"Maaf, Pak. Kalau tidak ada yang ingin Bapak bicarakan, saya harus keluar sekarang. Masih banyak pekerjaan yang menunggu," ucap Kania dengan suara yang bergetar sedikit.
Namun, Edward bukanlah orang yang mudah menyerah. Dia menarik pinggang Kania yang ramping, mendekatkan tubuhnya ke arah wanita itu, hingga mereka berjarak begitu dekat.
Deg!
Jantung Kania berdetak semakin kencang, bahkan mungkin Edward bisa merasakannya. Tetapi, tiba-tiba saja pintu ruangan CEO terbuka tanpa ketukan dan tanpa panggilan sebelumnya, hingga berdiri seseorang yang kini menatap mereka dengan mata terbelalak.
"Apa yang kalian lakukan?"
Bersambung …