Bab 09. Membantumu Balas Dendam

1328 Kata
Lagi-lagi, Arya datang di saat waktu yang tidak tepat. Edward ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang sekretaris, tetapi keponakannya itu selalu saja mengganggu, bahkan kali ini datang tiba-tiba tanpa aba-aba. "Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu dulu?" tanyanya datar, mencoba menahan rasa kesal. Tetapi, Arya malah balik bertanya dengan tatapan tajam, "Kenapa kalian dekat seperti itu? Apa yang kalian lakukan?" Ada rasa tidak suka yang jelas terpancar dari matanya. Kania yang sudah menjauh dari Edward berusaha tetap tenang, lalu berkata pelan, "Nggak ada apa-apa. Kamu jangan salah paham. Tadi aku hampir jatuh dan Pak Edward menolongku." Alasan yang terdengar masuk akal, tetapi Arya belum puas. Ia menatap Edward, seperti ingin menuntut jawaban dari pamannya juga. "Mau mendengar jawabanku? Bagaimana kalau jawabanku berbeda dengan yang kamu harapkan?" ujar Edward, entah apa maksud ucapannya. Pria itu memang paling suka memperkeruh keadaan. Apalagi membuat hati Kania merasa kacau karena belum siap menghadapi kenyataan yang mungkin harus ia ungkapkan. Ini bukan sekadar permasalahan biasa, bahkan balas dendam saja belum dimulai, tetapi sudah mengintai dalam diam. "Tidak perlu. Aku percaya dengan ucapan Kania," kata Arya, meski terasa ada yang mengganjal di hatinya. "Memang seharusnya kamu percaya, seperti aku yang selalu mempercayai kamu," ucap Kania. "Tapi mulai sekarang, aku tidak akan pernah percaya dengan ucapan kamu sama sekali, Arya," batinnya, mengulas senyum tipis di sudut bibir. "Iya, Sayang, itu pasti. Oh iya, kamu sudah mau keluar, ya? Aku mau bicara sebentar dengan Om Edward," kata Arya sambil membalas senyum Kania. Kania mengangguk pelan. "Ya, urusanku dengan Pak Edward memang sudah selesai. Sekarang aku akan keluar." "Jangan lupa, satu jam lagi kamu harus memberikan laporan terkait kerjasama dengan perusahaan Anugerah. Serahkan langsung kepada saya." Suara Edward terdengar tegas dari belakang. Kania menoleh, menatap sosok CEO yang selalu berhasil membuatnya kesal tanpa perlu banyak berkata. "Baik, Pak Edward. Saya pastikan semuanya selesai tepat waktu," jawabnya dengan suara yang berusaha terdengar yakin. Mendengar hal itu, Edward mengangguk puas. "Bagus. Sekretaris Kania memang selalu bekerja dengan baik." "Apa-apaan ini? Sepertinya dia benar-benar mau berperang denganku," umpat Kania dalam hati, darahnya berdesir panas. Rasanya ingin meluapkan rasa dongkol itu, tetapi Kania memaksa tetap tenang, terutama karena Arya masih di sana. Harus bagaimana? Ia tahu harus kuat, tetapi semakin lama, sikap Edward semakin membuatnya ingin berontak diam-diam. "Baik, Pak Edward. Terima kasih atas pujian Anda. Saya permisi dulu, Pak Edward, Arya," pamit Kania akhirnya dan segera berlalu. Tersenyum puasa, Edward kembali duduk di kursi kebesarannya, disusul oleh Arya yang duduk di hadapannya dengan ekspresi serius. "Ada apa? Apa ada hal penting yang mau kamu bicarakan? Kalau tidak, kamu bisa pergi dari ruanganku," kata Edward tegas. Arya menatap tajam, tanpa basa-basi dia berkata, "Om, sebenarnya maksud Om apa? Apa Om sengaja mau mendekati Kania? Om ingin menikung Kania dariku?" Alis Edward terangkat, rasa heran dan sedikit kesal memenuhi pikirannya. "Di sini kita hanya akan bicara tentang pekerjaan. Kalau tidak ada kepentingan lain, keluar dari sini sekarang juga," usirnya dingin, berusaha menjaga jarak dari segala drama yang bisa mengganggu fokus. Namun Arya tidak menyerah. "Om, aku memang ingin membahas pekerjaan, tapi tolong jawab pertanyaanku dulu. Aku tidak bisa tenang kalau bekerja dalam keadaan seperti ini." Suaranya bergetar, tetapi ada keberanian yang tak tergoyahkan. Edward menghela napas, mencoba menyembunyikan ketidaksabarannya. "Terserah bagaimana penilaianmu. Bukankah Kania sudah menjelaskan semuanya? Apakah kamu tidak percaya? Atau sebenarnya kamu hanya takut?" Tatapannya yang santai justru membuat Arya terlihat gugup, hampir setengah mati. "Lalu, maksud Om sebenarnya apa?” tanya Arya, suara penuh keheranan dan sedikit ketegangan. Di balik pertanyaan itu, Edward bisa merasakan gelombang perasaan yang bercampur aduk, antara curiga, cemas dan keingintahuan yang dirasakan oleh Arya. "Sudahlah, tidak usah terlalu dianggap serius. Aku hanya sedang mempermainkanmu saja. Kalau kamu sendiri tidak pernah berbuat hal yang macam-macam, seharusnya kamu yakin, Kania juga tidak akan pernah berpaling darimu. Begitu juga sebaliknya," ucap Edward, penuh makna. Arya menjawab dengan yakin dan angkuh, "Oh, tentu saja aku tidak pernah bermacam-macam, apalagi berkhianat dari Kania, karena aku sangat mencintainya." Edward tersenyum tipis, ia tahu betul omong kosong Arya itu—seperti drama yang pernah ia tonton berulang kali. "Baguslah kalau memang begitu," katanya dengan nada ringan, mencoba menyembunyikan rasa muaknya. "Semoga hubunganmu dengan Kania bisa bertahan sampai hari pernikahan kalian." "Terima kasih. Aku juga berharap, Om bisa segera mengenalkan wanita yang Om cintai itu di hadapan Kakek dan keluarga kita. Mungkin itu bisa meredakan rasa curiga yang aku rasakan," ucap Arya, menyambut percakapan dengan penuh harap. "Kecuali … itu hanya akal-akalan Om Edward saja untuk menghindari perjodohan." Edward menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan rasa jengkel yang merayap. "Itu urusanku, bukan urusanmu!" jawabnya datar. "Sekarang katakan, ada apa? Kalau kamu menemuiku hanya untuk mengganggu waktu kerjaku yang padat, lebih baik keluar sekarang juga. Aku tidak sepertimu yang punya banyak waktu santai dan bisa berkeliaran kemana-mana." Di balik kalimat itu, Edward sadar bahwa ia sedang berusaha melindungi sesuatu—atau mungkin justru menutupi rasa takut bahwa semuanya tak sesederhana yang ia pikirkan. Namun, ia tidak akan membiarkan keraguan itu mengganggunya terlalu dalam. Arya yang merasa dongkol atas ucapan pamannya hanya bisa menghela napas kasar, lalu segera saja menyampaikan maksud kedatangannya menemui Edward dan tentu saja mengenai pekerjaan. *** Untuk ketiga kalinya, Kania memergoki Arya—pria yang pernah dicintainya dan berharap akan menjadi suaminya, sedang bermadu kasih di ranjang panas apartemen bersama Sisy, sahabat yang dulu ia sayangi tanpa curiga. Ia sendiri tak mengerti mengapa malam itu, yang entah dari mana asalnya, ia begitu ingin menemui Arya, padahal perasaannya seolah telah mati untuk pria itu. Seolah ada suara kecil dalam pikirannya yang memperingatkan, ini bukan kebetulan. Dan benar saja, firasat itu menepati kenyataan yang pahit. Hatinya hancur, bahkan lebih dari sebelumnya. Kania tahu segala kebohongan di balik senyum manis Arya, ia sudah tahu maksud pria yang selama ini pura-pura mencintainya—bahkan sampai membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, hanya karena sebuah tujuan licik. "Kenapa aku harus jadi korban? Apa arti semua itu baginya selain permainan belaka?" batin Kania, getir. Sungguh, ingin rasanya ia membuka semua kebusukan mereka, menghancurkan kebohongan itu sampai tak tersisa. Tetapi ia lagi-lagi menahannya, menolak menjadi bidak murahan dalam permainan mereka. Arya dan Sisy harus tahu apa yang akan mereka hadapi, balasan setimpal darinya. Dengan kedua tangan yang ia genggam erat, Kania merasakan amarah mengalir deras dalam dadanya, berbaur dengan kepedihan yang membakar. Diam-diam, ia keluar dari apartemen Arya, bertekad menyusun strategi pembalasan yang tak terduga. Namun, langkahnya terhenti saat sesuatu meremas mulutnya—tangan dingin yang membekap dengan paksa, membawanya ke apartemen di sampingnya. Seketika, panik dan pertanyaan menumpuk di kepalanya. Apa lagi yang menanti di balik pintu itu? Detik berikutnya, Kania dibuat sangat terkejut, matanya membulat sempurna saat melihat Edward berdiri di hadapannya lalu melepaskan bekapannya itu. "Laki-laki b******n! Apa lagi yang kamu lakukan dan kenapa kamu ada di sini?" tatapannya berubah tajam. Namun, Edward menanggapi dengan santai, suaranya pelan tapi penuh makna, "Hustt ... tidak usah berteriak. Kamu tidak mau 'kan, kalau Arya sampai tahu kamu ada di sini bersamaku?" Kania menggenggam d**a, emosi semakin membuncah. "Kenapa kamu malah membawaku ke sini? Apa sebenarnya yang ingin kamu lakukan?" Suaranya gemetar, tapi ia tetap berusaha tegar. Edward justru menatap dengan tatapan menggoda, yang membuat darah Kania berdesir. "Tentu saja untuk membantumu balas dendam. Aku tahu apa yang mereka lakukan di sana, di belakangmu. Sahabat dan tunanganmu berkhianat, Kania. Apa kamu tidak ingin membalas dengan cara yang sama?" Jantung Kania berdegup keras, pikirannya kacau. "Jangan gila, kamu!" ujarnya singkat, menahan gelombang amarah dan kebingungan yang menyelimuti pikirannya. Namun, Edward malah tersenyum yakin. "Itulah balasan yang paling tepat. Kamu tenang saja, aku akan membantumu balas dendam, menghancurkan mereka berdua." Entah mengapa, Kania merasa ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ia yang biasanya memberontak dan menolak, justru kini mengiyakan. Ketika Edward mendadak mendekat dan mencium bibirnya, ia malah menerima, bahkan membalas ciuman itu. Kenapa ia bisa sebegitu rapuh dan mudah terbuai? Perasaan Kania bertarung antara kehendak untuk melawan dan rasa ingin melarikan diri dari semua kepedihan yang dirasakannya. Mungkin inilah caranya menahan luka, walau untuk sesaat. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN