Edward merasakan hawa hangat yang mengalir deras ketika Kania menerima sentuhannya. Dengan penuh keberanian, dia semakin dalam menyatukan bibir mereka, menegaskan janji tanpa suara yang menggebu di dalam d**a. Namun, momen itu tak bertahan lama—Kania menarik diri dan Edward pun mengalah, tidak ingin memaksakan kehendak. Dahi mereka bertemu, napas saling bersahutan, seolah dunia berhenti sesaat.
"Kania, kamu tidak perlu takut. Aku janji, aku akan membantumu membalas semua luka itu," bisik Edward dengan suara serak tapi penuh tekad.
Kania menatap Edward tajam, penuh curiga. "Kenapa kamu mau melakukannya untukku? Apa kamu mencari keuntungan dari semuanya?"
Edward menggeleng pelan, matanya mengalirkan kejujuran. "Bukan, Kania. Tapi, aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Suatu saat, kamu akan mengerti. Tapi percayalah, aku tidak ingin melihatmu terluka atau dikhianati lagi." Suaranya mengeras, menumpahkan perasaan yang tersimpan lama. "Aku benci pengkhianatan. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik dan aku akan pastikan itu terjadi."
Entah kenapa, Kania merasa ucapan yang Edward lontarkan tulus dan membuat hatinya sedikit lebih tenang. "Terima kasih atas bantuanmu. Sekarang aku harus pergi," ucapnya dan membuka pintu apartemen.
Namun baru saja hendak keluar, dia mendengar suara calon suami dan juga sahabatnya yang hendak keluar dari apartemen sebelah, sehingga Kania kembali menutup pintu, lalu mengintip dari view door.
"Kamu semakin hebat saja, Baby, aku menyukainya," puji Arya dengan sangat senang.
Sisy pun menyahutnya dengan bangga, "Tentu saja dong, Darling. Setiap kita melakukannya, aku akan selalu memakai gaya baru untuk memanjakan kamu. Asalkan kamu nggak pernah berpaling dariku, aku jamin akan selalu membuatmu puas."
Arya menatap Sisy dengan senyum setengah menggoda. "Ah, kamu ini, bisa saja membuat aku semakin tergila-gila dengan permainan kamu," bisiknya pelan.
Tetapi, tentu saja Sisy tak mau terlalu gampang diambil hati dan melakukannya dengan cuma-cuma. Dia teringat akan janji yang Arya ucapkan. "Oh, ya? Tapi jangan lupa, aku sudah memanjakanmu malam ini. Bukannya kamu juga janji mau kasih aku uang? Aku butuh uang untuk belanja bulanan, Honey," ujarnya dengan suara mengandung nada penagihan yang manis namun tegas.
"Tentu saja aku ingat." Arya tak menunda. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan dengan cekatan mulai mentransfer sejumlah uang yang cukup besar ke rekening wanita simpanannya itu. "Besok malam, manjakan aku lagi dengan gaya yang baru."
Hati Sisy bergetar saat notifikasi masuk; rasanya seperti kemenangan kecil yang menghangatkan. "Terima kasih banyak, Darling. Kamu benar-benar yang terbaik. Tenang saja, aku jamin besok kamu akan lebih puas," ucapnya dengan nada genit, tak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang mengalir. "Walaupun aku saat ini cuma jadi simpananmu, tapi aku yakin suatu saat kamu akan benar-benar milikku, 'kan?" Suara penuh harapnya menusuk ke dalam diam.
Arya menatap dengan tatapan dingin. "Ya, itu pasti. Kamu tahu 'kan, aku cuma mencintai kamu, bukan wanita bodoh itu!" Kata-katanya begitu sinis, penuh hinaan.
Mendengar hal itu, Kania tercekat. Hatinya seperti diremas-remas tangan tak terlihat. Rasa sakitnya menusuk hingga ke dasar jiwa, membuatnya nyaris roboh oleh gelombang kesedihan yang membuncah. Air matanya ingin sekali jatuh, tapi ia menghalau semua itu—untuk apa menangis atas sesuatu yang kini sudah menjadi serpihan masa lalu? Ia memutuskan untuk mengubur semua luka itu dalam-dalam, mengurungnya rapat di balik d**a yang sesak dan penuh beban.
Tiba-tiba, tubuh Kania tanpa sengaja menyenggol keras meja dekat pintu apartemen Edward. Sebuah benda terjatuh dengan dentingan keras yang memecah keheningan. Suara itu membuyarkan suasana dan langsung membuat Arya serta Sisy terkejut, penuh tanda tanya.
"Lho, Ar, bukannya apartemen di sebelah ini biasanya kosong, ya? Kenapa sekarang ada suara?" Sisy memandang heran, matanya membesar mencari asal bunyi.
Arya mengangkat bahu dengan santai, mencoba menutupi kegelisahannya. "Aku juga tidak tahu. Biasanya memang kosong. Tapi, sudah beberapa hari aku tidak pulang ke sini. Mungkin penghuninya sudah pulang. Tidak usah dipikirkan, yang penting kita masih bisa menikmati waktu kita berdua di sini," ujarnya, berusaha mencairkan suasana meski bayang-bayang ketidakpastian menggelayuti pikirannya.
Akan tetapi, Sisy merasa khawatir. "Iya, tapi kamu juga tetap harus hati-hati. Gimana kalau suatu saat kita lagi berdua, tiba-tiba saja Kania datang. Kania itu tahu 'kan, kode akses masuk apartemen kamu? Gimana kalau kamu ganti saja." Ia memberi usul.
"Iya, Kania memang tahu, tapi dia nggak pernah datang secara diam-diam. Dia pasti akan selalu mengabari aku dulu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Pria itu meyakinkan Sisy, sekaligus dirinya sendiri.
"Oke, kalau begitu aku pulang dulu ya," pamit Sisy, lalu mencium bibir Arya sekilas seraya memegang sesuatu di balik celana Arya.
Perlakuan Sisy, tiba-tiba membangkitkan sesuatu dalam diri Arya, seolah bara yang tak pernah padam. Ia ingin sekali menerkam wanita itu lagi, meski tadi mereka sudah berulang kali meleburkan diri hingga berulang kali dalam hasrat itu. Namun, saat ia hampir mencium Sisy, wanita itu buru-buru menutup mulutnya.
"Jangan, Honey. Bisa-bisa aku nginap di sini," ujar Sisy, tersenyum. Lalu, tanpa memberi kesempatan Arya membalas, dia pergi meninggalkan pria tersebut yang berdiri terpaku di depan apartemen.
Arya hanya bisa tersenyum tipis, menelan gairah yang tiba-tiba mengganjal di d**a. Saat kembali masuk ke apartemen, ia menatap layar ponsel dengan harap. Tetapi, tak ada pesan atau panggilan masuk dari Kania. Entah sejak kapan, calon istrinya itu mulai berubah—tak lagi seperti biasanya yang selalu perhatian dan mengirimi kabar. Ia merasa kehilangan, anehnya, meski tadi ia sedang bersama Sisy, rasa itu justru makin tajam menusuk hati.
"Kania lagi apa sekarang?" gumamnya pelan, jari-jarinya menari mencari nama Kania di kontak ponselnya.
Setelah ditemukan, Arya tak bisa menahan diri, langsung menekan tombol panggil. Ada sesuatu yang harus ia tanyakan, sesuatu yang tiba-tiba ia takutkan.
*
Sementara itu, Kania yang masih berada di dalam apartemen sebelah dan sempat mendengar serta melihat apa yang terjadi di depan apartemen, melihat ponselnya ada panggilan masuk dari Arya membuatnya pun merasa sangat jijik. Dia ingin mengabaikan telepon dari pria itu, namun terdengar suara Edward menyarankan.
"Lebih baik kamu jawab saja. Kamu tidak mau 'kan, Arya merasa curiga sebelum dendam kamu terbalaskan? Semua akan baik-baik saja, aku di sini untukmu," kata pria itu, mencoba menenangkan Kania.
Kania pun membenarkan ucapan pria tersebut, sehingga dia sedikit menjauh dari sana lalu menjawab telepon dari sang pengkhianat.
"Halo, Kania. Kamu lagi apa, Sayang? Sudah mau tidur?" Terdengar suara Arya dari seberang telepon.
"Iya, ini aku sudah mau tidur. Ada apa, Sayang?" tanya Kania dengan suara lirih, berpura-pura ngantuk.
"Oh, ya ampun, maaf ya, aku ganggu kamu. Kenapa kamu nggak ada menghubungi aku, kirim pesan atau apa? Aku pikir kamu kenapa-napa," kata Arya, terdengar begitu peduli dan khawatir.
"Oh iya, maaf ya, hari ini aku capek banget. Aku juga takut ganggu kamu, soalnya kamu juga nggak pernah ada hubungi aku, 'kan?" kata Kania, membalikkan pernyataan itu seolah tidak ingin menjadi bebannya sendirian.
"Iya, Sayang. Maaf, tadi aku ada pekerjaan mendadak, jadi baru sempat hubungi kamu sekarang," jawab Arya, jelas berbohong dan Kania tahu itu. "Kalau kamu mau tidur, ya sudah, kamu tidur saja. Kita ketemu besok pagi, ya. Aku jemput kamu. Ada hal penting yang mau aku tanyakan."
"Ya sudah," jawab Kania singkat sebelum memutuskan panggilan.
Setelah itu, Kania duduk termenung, mencoba menenangkan denyut jantung yang bergejolak. Tak lama kemudian, Edward datang menghampiri dengan langkah mantap. Tanpa banyak kata, ia merangkul Kania dalam pelukan hangatnya. Awalnya, Kania ingin menolak sentuhan seorang pria yang asing baginya. Namun, di saat hatinya hancur dan lelah tak bertepi, pelukan Edward malah menjadi oase peneduh. Perlahan, beban berat di dadanya berkurang dan untuk pertama kalinya, dia merasa sejenak aman di dalam dekapan itu—meski dunia di sekelilingnya tetap bergolak.
Bersambung …