Sejak malam itu, sikap Kania terhadap Edward mulai berubah. Dia awalnya membenci pria asing yang dengan arogan sudah berlaku kurang ajar, lalu mengutarakan penjelasan yang baginya hanya berisi omong kosong. Tetapi sekarang, entah kenapa, ia mulai bisa memaafkan dan bahkan mempercayai Edward sedikit demi sedikit. Mungkin karena dirinya yang pernah datang pada pria itu, meminta bantuan, sebagai bentuk balas budi. Bukankah secara tidak langsung ia juga pernah menolong lelaki tersebut?
Edward sendiri merasa sangat senang melihat sikap Kania yang kini lebih ramah. Di perusahaan, mereka memang harus bersikap formal sebagai atasan dan bawahan. Namun saat berdua, suasana itu mencair—dari sapaan hingga gaya bicara keduanya jadi lebih santai, seperti dua teman lama.
"Kania, apa nanti malam, kamu mau makan malam bersamaku?" Edward memberanikan diri untuk mengajak Kania, saat sekretarisnya itu baru saja mengantar berkas ke ruangannya.
"Makan malam? Untuk apa?" Kania mengerutkan dahi, bingung dengan maksud sang CEO.
Apa keinginan Edward sebenarnya? Apa ada sesuatu yang ingin pria itu sampaikan padanya secara pribadi, atau apa? Rasanya aneh, tetapi ia juga penasaran.
"Ya, aku hanya ingin makan malam denganmu saja. Mungkin bisa dikatakan sebagai pendekatan. Bagaimanapun juga, kita berdua adalah partner. Partner balas dendam," ucap Edward, mengecilkan volume suaranya, khawatir ada yang mendengar dari luar.
Kania berpikir sejenak, lalu menjawab. "Baiklah, nanti kirim saja alamatnya. Aku akan datang."
"Oke," jawab Edward cepat.
"Aku permisi," ucap Kania, lalu keluar dari ruangan tersebut dan menutup pintu kembali dengan rapat.
"Yes!" ucap Edward yang merasa sangat senang. "Akhirnya, Kania mau menerima ajakanku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Kania, perlahan tapi pasti, aku pasti akan menunjukkan siapa diriku sebenarnya. Kamu harus tahu kalau aku bukan laki-laki jahat seperti yang kamu pikirkan, justru aku ingin membuatmu bahagia," gumamnya, rasa bahagianya saat ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
***
Meski jarum jam sudah menunjuk angka dua belas, Kania masih terpaku di depan layar, tenggelam dalam tumpukan tugas yang tak kunjung selesai. Para rekannya satu per satu meninggalkan ruangan, meninggalkannya sendiri dalam keheningan yang membuat ruangan itu terasa semakin sempit. Tubuhnya meronta ingin berhenti, tapi otaknya menolak memberi jeda—semua harus selesai hari ini juga.
Tiba-tiba, sosok Arya muncul di depan Kania dan suaranya menyentak kesunyian itu. "Sayang, sampai kapan kamu mau bekerja seperti ini? Apa kamu nggak lapar?" ucapnya lembut, penuh kekhawatiran.
Kania terkejut, seolah baru tersadar dari mimpi panjangnya. "Oh, iya. Sebentar lagi, ini nanggung," jawabnya tanpa beranjak.
Arya melangkah lebih dekat, menatap tunangannya dengan tatapan penuh kasih namun tegas. "Sayang, pagi tadi kita nggak sempat bicara dan kamu janji siang ini kita punya waktu untuk berdua. Kalau kamu terus menunda seperti ini, kapan kita bisa menikmati itu?"
Kania mendongak, matanya menatap tajam ke mata Arya, membalas dengan nada serius, "Arya, sekarang ini aku lagi kerja dan nggak ada waktu untuk bermain-main. Toh, siapa bilang kita nggak ada waktu berdua? Kita selalu bisa mengatur waktu kalau memang mau. Itu pun, kalau kamu nggak terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri."
Tiba-tiba Arya merasa gugup, seperti menyembunyikan sesuatu. "Iya, maaf, Sayang. Tapi, kalau aku sibuk itu 'kan, itu juga karena pekerjaan," ujarnya.
"Itu artinya, kamu sekarang juga harus mengerti kalau aku lagi kerja," kata Kania, nada suaranya sedikit emosi.
"Arya, kalau misalnya memang Kania masih sibuk, gimana kalau kamu ke kantinnya sama aku saja dulu," ujar Sisy yang baru datang menghampiri keduanya.
Arya terkejut, ia ingin langsung menolak karena takut Kania merasa curiga jika ia menolak tawaran wanita simpanannya. Tetapi, calon istrinya itu justru memberi dukungan kepada mereka.
"Oh iya, boleh juga tuh. Arya, kamu sudah lapar, 'kan? Kalau iya, nggak apa-apa kamu pergi sama Sisy dulu. Aku akan nyusul nanti," ujar Kania, senyum titip terulas di sudut bibirnya agar terlihat semakin meyakinkan.
Tetapi, Arya seakan tak percaya. "Kamu serius, Kania? Kamu nggak keberatan?"
"Iya, Kan. Kamu nggak curiga, aku dan Arya hanya berdua ke kantin?" timpal Sisy, ingin memastikan.
Kini, Kania tersenyum lebar, lebih meyakinkan. "Nggak, karena aku percaya sama Arya. Dan kamu, kamu 'kan, sahabatku, Sy. Mana mungkin aku curiga sama kalian."
Tapi di balik ketenangan itu, hati Kania bergolak liar. Sebuah rahasia menggerogoti sisi terdalam jiwanya, menguji batas kepercayaannya — sesuatu yang tak ingin dia tunjukkan pada Arya maupun Sisy. Namun, kata-katanya tetap tegar, bagaikan benteng yang kokoh. Dia bahkan tak peduli lagi dengan apa yang akan dilakukan oleh dua pengkhianat itu, satu hal yang pasti; ia hanya ingin balas dendam.
"Terima kasih ya, Sayang. Sebenarnya aku nggak mau meninggalkan kamu, tapi aku memang benar-benar sudah lapar. Janji ya, nanti kamu susul aku," kata Arya, seolah tak rela.
"Iya, Kania. Jangan lama-lama, ya. Kami ke kantin dulu," kata Sisy, berusaha terdengar santai meski dalam hatinya mengharap sebaliknya. "Aku berharap, kamu nggak usah nyusul, Kania. Biar aku selalu ada waktu untuk berdua sama Arya. Dasar bodoh, mau saja ditipu," batinnya, jahat dan juga licik.
Kemudian, Sisy melanjutkan ucapannya, "Kamu tenang saja, Kania, aku akan jaga Arya dari para wanita genit di kantin. Mereka pasti nggak akan berani ganggu dia karena tahu aku sahabat kamu." Ucapannya terdengar penuh kepastian, seolah-olah sedang melindungi sahabat terbaiknya. Padahal kenyataannya, ia sendiri adalah penikung yang sebenarnya.
"Kamu sedang mengatai dirimu sendiri, Sisy," gumam Kania dalam hati. Ia hanya tersenyum kecil, lalu berkata, "Iya. Ya sudah, kalian makan saja dulu. Sebentar lagi aku juga selesai, nanti aku nyusul."
"Oke. Bye, Kania," ucap Sisy dengan antusias, kapan lagi ia bisa berdua dengan Arya terang-terangan dan atas izin Kania.
Arya ikut pamit sambil mencium lembut rambut Kania. Sementara Sisy yang berdiri di samping mereka, menahan emosi yang bergulung dan cemburu yang kian membara, menyaksikan perlakuan manis Arya kepada Kania—perlakuan yang seharusnya ia inginkan menjadi miliknya seutuhnya.
Setelah Arya dan Sisy bergegas pergi, tangan Kania dengan cepat mengusap rambutnya, rasa jijik merayapi setiap hela napasnya. Ia teringat ciuman Arya tadi serta pengkhianatan yang nyata. Kania ingin menyangkal, bagaimana mungkin, calon suami dan sahabatnya sendiri tega melakukan hubungan terlarang di belakangnya? Tapi itu kenyataannya. Perasaan itu menyesakkan, seolah-olah ia menghirup racun yang diracik oleh mereka berdua. Apa lagi yang harus ia percaya setelah ini?
"Cih, benar-benar menjijikkan! Bisa-bisanya kalian berdua bersandiwara sok manis seperti itu di depanku. Kalian pikir, aku bodoh dan nggak tau apa-apa?" umpatnya dengan sangat kesal.
"Butuh kain lap?" Tiba-tiba, Edward muncul di samping Kania dan menyerahkan sebuah sapu tangan tanpa banyak bicara.
Kania mengernyit. "Untuk apa?"
Edward tersenyum kecil dan jawab tanpa ragu, "Tentu saja untuk membersihkan rambutmu dari najis itu."
Tanpa ragu, Kania membalas senyum itu, tetapi hatinya tetap ragu. "Sekalipun aku lap pakai sapu tangan, najis itu nggak akan hilang begitu saja. Mungkin aku harus mandi kembang tujuh rupa," celetuknya, meski tahu pikiran itu terdengar aneh.
Akan tetapi, Edward malah terkekeh. "Kamu belum makan, 'kan? Mau makan bersama di luar?" tawarnya tiba-tiba.
"Belum, tapi terima kasih tawarannya. Lagi pula, aku nggak lapar," tolak Kania dengan sopan.
"Kalau begitu, aku akan pesan makanan untuk kamu. Aku tidak mau kalau sekretaris aku sampai sakit dan tidak bisa bekerja dengan baik," kata Edward dengan nada tegas tapi hangat.
Tanpa menunggu jawaban, ia segera membuka ponselnya dan mulai memesan makanan lewat online.
Sedangkan Kania menatap punggung Edward yang sedang asyik dengan layar ponselnya, perasaannya bercampur antara bingung dan penasaran. "Siapa Edward sebenarnya? Kenapa sikapnya selalu berhasil membuat aku kehilangan kata-kata?" Ia bertanya-tanya di dalam hatinya.
Bersambung …