Bab 12. Perasaan Aneh

1090 Kata
Makanan yang dipesan oleh Edward, datang lebih cepat dari perkiraan. Kania masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya, ketika tiba-tiba Edward mengajaknya makan bersama di ruangan CEO. "Sebentar lagi, ya. Ini lagi nanggung," kata Kania, sementara waktu terus berjalan. Tetapi, Edward tidak memberi Kania ruang untuk menolak kali ini. "Tidak ada kata 'nanggung'," katanya tegas, lalu tanpa ampun mematikan layar laptop. Untung saja, Kania sudah menyimpan pekerjaannya tadi di folder, jadi tidak ada yang hilang. Lalu, keduanya pun segera menuju ke ruang CEO, ruangan yang mungkin akan membuat keduanya lebih nyaman karena mencegah orang lain yang akan melihat mereka sedang bersama—bukan dalam urusan pekerjaan. Sebagai sang sekretaris, seharusnya Kania yang menyiapkan makanan untuk bos-nya, tetapi justru Edward yang terlebih dulu melakukannya. Perhatian itu terasa aneh, hampir seperti orang yang sedang mengurus seseorang yang sangat dia sayangi. "Ini untuk kamu," kata Edward sederhana, tapi ada sesuatu dalam suara dan tatapannya yang membuat Kania terdiam sejenak. Kania bertanya-tanya, apakah ini hanya perhatian biasa, atau ada maksud lain di balik semua ini? Kenapa tiba-tiba sikap Edward seperti itu? Perasaannya jadi tak menentu, bingung antara merasa nyaman dan waspada sekaligus. Ia benar-benar tak mengerti atas sikap Edward yang terkadang membuat hatinya deg-degan—berdebar tak menentu, kadang juga membuatnya begitu emosi. "Kenapa malah melamun? Ini makanan untukmu. Kamu harus makan supaya tidak sakit. " Suara Edward memanggil, menyadarkan Kania dari lamunannya yang mengawang. "Oh, iya. Terima kasih." Tangan Kania meraih makanan itu dan langsung menatap menu yang Edward pesan—ternyata makanan kesukaannya. "Dari mana kamu tahu aku suka steak ini?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu. Edward hanya tersenyum santai. "Aku hanya asal pesan saja. Aku juga memesan makanan yang sama." Hati Kania langsung berdebar aneh. "Ya, ampun … Kania, bisa-bisanya aku sampai kegeeran, merasa dia sengaja mencari tahu tentang aku. Padahal ini hanya kebetulan," batinnya, malu sendiri dengan pikiran yang tak beralasan itu. Sedangkan Edward, wajahnya menampilkan senyum misterius yang tak tahu apa artinya itu. "Ya sudah, cepat dimakan. Jangan lupa sebentar lagi ada meeting. Jangan sampai tidak makan mengganggu konsentrasimu," ucapnya. "Iya. Terima kasih, ya," kata Kania dengan sopan. "Sama-sama," balas Edward, lalu mereka pun mulai menikmati makan siang bersama, suasana yang tiba-tiba terasa hangat tapi juga membuat pikiran Kania berkelana sendiri. Sambil menyantap makanannya, sesekali Edward menatap Kania dengan sesuatu yang ada di dalam pikirannya, tetapi tidak tahu apa itu. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Sementara Kania terlihat gugup, dia bahkan merasa tidak bisa menelan makanannya walaupun steak itu sangat enak, apalagi berasal dari restoran yang biasa ia beli. Akan tetapi, lagi-lagi Kania menganggap jika itu hanyalah kebetulan, bukan Edward sengaja memberikan makanan kesukaannya, dari restoran favoritnya pula. Pada akhirnya, Kania pun tidak jadi menyusul Arya dan Sisy ke kantin. Tetapi ia sudah mengirim pesan kepada calon suaminya, memberi alasan jika pekerjaannya tidak bisa ditinggal dan nantinya dia akan mengganti waktu mereka di hari lain. *** Kania melangkah anggun mengenakan gaun panjang dengan bahu yang sedikit terbuka, rambutnya terurai bebas, dipadukan dengan riasan tipis ala Korea yang selalu menjadi ciri khasnya. Ia tahu, penampilannya malam ini memang spesial—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk suatu momen yang dia juga tidak tahu, kenapa serasa penting. Dengan semangat membuncah, Kania menuju pintu utama karena taksi online yang dipesannya sudah tiba. Namun, saat pintu itu terbuka, jantungnya seketika berdebar tak karuan. Di sana berdiri Arya, baru saja turun dari mobil, langsung melangkah menghampirinya. "Sayang, kamu mau ke mana? Cantik banget," puji Arya dengan senyum percaya diri yang khas. Terdiam, Kania bingung dengan maksud kedatangan Arya yang tiba-tiba. Apakah sebenarnya pria itu sudah tahu jika ia akan pergi dan sengaja ingin membatalkannya? "Oh, aku tahu, kamu pasti sudah tahu 'kan, aku mau datang ke sini untuk menjemput kamu." Arya melanjutkan dengan penuh keyakinan. "Aku mau ajak kamu makan malam. Kita sudah lama nggak makan malam bersama, bahkan di kantor pun kamu hampir nggak punya waktu untuk aku. Kali ini, kamu nggak akan menolak, 'kan?" Di dalam hati Kania, bergumul antara perasaan terkejut dan keraguan. Apakah ini benar-benar tentangnya? Apakah Arya tulus ingin meluangkan waktu bersamanya, atau ada maksud lain di balik itu? Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaan yang bergemuruh di dadanya. Malam ini, seharusnya Kania sudah siap melangkah menuju tempat di mana ia berjanji dengan Edward untuk makan malam. Namun, tiba-tiba saja Arya datang, tanpa kabar sebelumnya, lalu mengajaknya pergi bersama. Jika tidak mengiyakan ucapan Arya, ia harus memberi alasan apa dan mau pergi ke mana? Lagi pula, ia yakin, calon suaminya itu akan memaksa mengantarnya juga. Rasanya, ia terperangkap tanpa jalan keluar. "Sebenarnya … aku mau kasih kejutan buat kamu," ujar Kania, akhirnya berbohong. "Aku mau menemui kamu, tapi kamu malah datang duluan." Arya tertawa kecil. "Aku tahu, kamu pasti sengaja 'kan, berpenampilan spesial seperti ini untuk aku? Memangnya untuk siapa lagi? Kita benar-benar sehati, ya?" Mendengar hal itu, Kania memaksa untuk tersenyum. Padahal dalam hatinya memberontak, merasa sangat muak harus terus bersandiwara. "Ya sudah, kalau begitu. Ayo kita pergi, Sayang. Aku mau ajak kamu makan malam di restoran baru, aku yakin kamu akan suka," ajak Arya dengan penuh semangat. Dengan sangat terpaksa, Kania mengangguk dan mengiyakan. Setelah membatalkan taksi yang sudah dipesannya, bersama Arya, ia masuk ke dalam mobil, meninggalkan rencana yang sudah dicipta demi sebuah perjalanan yang tak dia inginkan ini. Akan tetapi sepanjang perjalanan, Kania merasa resah. Apa yang harus dia katakan kepada Edward? Bagaimana jika pria itu sekarang sudah menunggunya di sana? Ia pun mengeluarkan ponsel di dalam tasnya, hendak memberi kabar pada pria itu. Namun, tiba-tiba saja Arya mengerem mobilnya secara mendadak, membuat ponselnya jatuh entah ke mana. "Sayang, kamu nggak apa-apa, 'kan? Maaf, tadi ada kucing yang tiba-tiba lewat, aku hampir saja menabraknya," kata Arya dengan suara penuh kekhawatiran. Kania hanya bisa mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri meski jantungnya masih berdebar. "Iya, aku nggak apa-apa. Tapi kamu harus lebih hati-hati lagi," jawabnya lirih, berusaha terlihat santai meski pikirannya berkelana jauh. Arya mengangguk dan tersenyum, lalu kembali mengemudikan mobilnya. * Tak lama kemudian, mereka tiba di restoran yang Arya pilih. Mata Kania terpaku melihat tempat itu—persis sama dengan lokasi restoran yang Edward kirimkan padanya. Dadanya serasa ditekan oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Seharusnya ia tak merasa apa-apa, mengingat Arya adalah calon suaminya dan dia tak punya hubungan apa-apa dengan Edward. Tetapi kenapa hatinya malah bergolak? Kania justru merasa, ia seperti sedang berkhianat dari Edward. Apakah ini hanya sekedar karena janji makan malam? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar janji? Ia menggigit bibir, mencoba menepis perasaan aneh itu, tetapi keraguan terus menggerogoti. Haruskah ia berhenti mengkhianati perasaannya sendiri? Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN