Rasanya, Kania ingin sekali membungkam mulut Edward yang seenaknya berbicara tanpa pikir panjang. Tapi di balik tatapan tajamnya, dia sadar—mereka tidak hanya berdua. Wira juga ada di sana, menjadi saksi bisu ketegangan yang hampir pecah itu. Dengan napas berat, Kania menekan amarahnya, mencoba menata kata-kata agar terdengar lembut, meski hatinya berontak. "Edward, kamu dengar, 'kan, tadi? Aku tanya sama papa soal Kak Elisa. Kalau urusan Arya, itu sama sekali bukan urusanku. Lagi pula, dia bagian dari keluarga ini juga, 'kan? Jadi kalau dia ada di sini menemani kakeknya, apa salahnya?" Suaranya bergetar tipis, tapi di bibirnya terbentuk senyuman yang dipaksakan, menyembunyikan api kemarahan yang siap membakar dalam-dalam. Edward menatap santai, senyum sinis merekah di wajahnya. "Iya. Ta