1. Pertemuan yang tidak di sengaja
Malam ini begitu sepi dan sunyi, aku menghela nafas lelah lalu menghembuskannya secara perlahan. Hari ini aku harus kerja lembur, karena banyaknya pasien yang harus aku tangani, pasien darurat yang membutuhkan operasi dengan segera. Sebenarnya malam-malam begini di rumah sakit adalah hal yang paling mengerikan, karena dimana waktu malam lebih mendominasi banyaknya makhluk tak kasat mata dari pada manusia.
Ah iya, sebelumnya perkenalkan namaku Reyna Briliana Ardiaz, umurku masih tergolong muda belum sampai pada dua puluh lima. Di usiaku yang masih terbilang muda ini aku sudah mendapatkan gelar sebagai dokter spesialis bedah, bekerja di rumah sakit KARTIKA tempat dulu aku melaksanakan koas. Aku sekolah SMA hanya satu tahun. Karena kepintaranku, guru memberikan beasiswa agar meloncat ke jenjang pendidikan yang selanjutnya. Huft, sedih memang tidak bisa menikmati masa-masa SMA, tetapi aku masih bersyukur karena masih dapat menikmati masa-masa rumitnya kuliah.
Ada mungkin dari sebagian kalian yang tidak akan percaya bahwa aku ini indigo, dapat melihat apa yang tidak kebanyakan orang lihat. Aku adalah wanita dengan gelar aneh sering menjerit-jerit sendiri, karena belum terbiasa dengan keberadaan mereka. Jadi tak ayal, jika temanku hanya beberapa orang saja. Lagi pula aku terlalu takut jika harus menjalin persahabatan dengan banyak orang mengingat jika aku ini berbeda.
Jika kalian percaya dengan kemampuan lebihku dan bertanya aku indigo sejak kapan, maka jawabannya adalah sejak lahir. Keturunan dari keluarga ibuku. Kata ayah, almarhumah ibu juga seorang Indigo.
Malam ini aku masih duduk di kursi ruangan dengan laptop dan tumpukan berkas yang ada di hadapanku. Keberadaan makhluk halus sedari tadi membuatku tak nyaman dan ingin segera pulang. Aku terus melihat laptop yang sebenarnya hanya menonton sebuah drama Korea, guna menghilangkan kejenuhan dan ketakutan yang sedang aku rasakan. Tak masalah bukan, bekerja sambil menonton? Asal jangan waktu ada pasien saja. Karena enaknya pekerjaan dokter, tak seperti pekerja kantoran yang harus serius dalam waktu cukup lama.
Jika aku melamun lalu menatap mereka, maka mereka akan tahu bahwa aku dapat melihatnya. Dengan begitu mereka akan terus menguntit ku untuk meminta bantuan yang sama sekali menurutku tidaklah penting. Atau mereka hanya akan sekedar menganggu saja, seperti menakut-nakuti dengan wajah hancurnya. Mengerikan bukan? Seumur hidup aku harus melihat mereka.
Tiba-tiba saja suara ketukan pintu membuatku terlonjak kaget, aku sedikit was-was jika itu hanyalah makhluk halus yang sedang iseng. Aku lama mendiamkan pintu itu hingga suara ketukan sekali lagi terdengar diperdengarkan ku.
"Dokter, apa dokter sedang ada didalam?" suara seorang perempuan yang sangat kukenal dibalik pintu akhirnya membuatku lega. Perlahan aku bangkit dari duduk lalu mulai berjalan ke arah pintu.
Aku membuka pintu dan melihat Fellicia sedang tersenyum ramah padaku. Aku pun balas dengan tersenyum juga.
"Ngapain Fell?" mempersilahkan Fellicia yang merupakan salah satu sahabatku untuk masuk ke dalam ruangan ku.
"Satu jam lagi lo operasi kan? Cepat siap-siap sana!" ujarnya mengingatkan.
Ah hampir saja aku lupa dengan jadwalku sendiri, untung saja Felli mengingatkanku. Drama korea yang aku tonton sangat seru, jadi aku melupakan jadwal kegiatanku berada dirumah sakit malam ini.
"Gue hampir aja lupa kalau lo gak ingetin." Felli terkekeh pelan sembari melihatku yang sedang memakai jas dokter kebanggaan.
"Rekan lo dokter Nina, hati-hati ya!" ujarnya memperingati.
Seketika saja, aku menghentikan langkah saat Felli menyebutkan nama Nina. Dia adalah dokter yang selalu usil padaku, aku tidak pernah suka padanya. Ya! Namanya adalah Chatrine Arsilia Brama. Namun orang-orang mengenalnya dengan sebutan Nina, lebih gampang untuk di ucapkan daripada Chatrine.
"Tenang saja, doktor Fano juga ada kok."
perkataan Felli yang selanjutnya membuat aku mampu menghela nafas lega. Setidaknya jika Nina berbuat yang aneh-aneh dan usil masih ada dokter Fano yang pasti akan membantuku. Dia juga rekan sekaligus temanku dirumah sakit ini.
"Kenapa gak lo aja yang satu jadwal sama gue sih? Atau kalau enggak lo, Siska aja deh." aku menggerutu di sela-sela langkahku, lagi-lagi Felli hanya membalas dengan senyuman dan sedikit kekehan. Tumben banget anak ini tidak bertingkah seperti biasanya, biasanya Felli akan bersikap heboh dan polos yang membuatku jengkel setengah mati. Tapi kali ini, dia begitu kalem dan tenang.
Saat aku sudah tiba di depan lift aku langsung mematung, badanku seakan-akan kaku untuk digerakkan. Di depan sana ada sosok yang menakutkan, bola mata nya keluar, darah mengalir dimana-mana dan menciptakan bau busuk yang amat sangat. Yang lebih parahnya, wajahnya hancur seperti yang di lindas kendaraan, tentu saja yang aku lihat itu bukan manusia melainkan makhluk dari alam lain.
Felli yang sudah paham dengan kebiasaan aku pun langsung menarik tangan ku untuk lari ke arah tangga. Huft, memang menyebalkan memiliki mata batin seperti ini. Ingin kemana-mana pun harus mikir dua kali, kenapa juga dulu aku ngotot jadi dokter.
Akhirnya kita berdua sampai juga di lantai satu, Felli mengantarkan ku ke ruangan dokter Fano, katanya agar saat melewati lorong dan lift aku tidak terlalu takut karena ada dokter Fano yang menemani. Felli memang the best banget. Otaknya tumben encer, hehe.
"Selamat malam, dokter Fano." Felli menyapa dokter Fano membuat dirinya terlonjak kaget.
"Ya ampun Fel, lo itu emang hobby banget ya ngagetin orang" jawab Fano sambil mendengus kesal.
"Hehe, lagian kenapa sih melamun. Ngelamunin siapa hayo. Bucin banget kayak punya cewek aja" goda Felli, yang membuat doktor Fano berdecak kesal. Jika bertemu, mereka berdua ini memang tidak pernah akrab selalu ada saja hal yang diributkan.
"Gue ada ya cewek. Emangnya lo jomblo, lebih tepatnya jomblo ngenes." jawab doktor Fano. Membuat Felli tertawa terbahak-bahak. Tak tahu saja dokter Fano kalau Felli sudah mempunyai kekasih. Meskipun aku juga belum berkenalan dengan kekasihnya Felli.
"Yaudah deh percaya, eh nitip Reyna ya! Gue pulang duluan." Felli langsung saja to the point. Setelah mengucapkan itu Felli segera ngacir sambil mengecup pipiku sekilas. Tentu saja aku jijik dengan perlakuan Felli padaku, dia ini emang orang yang tergolong ceria, rendah hati dan polos. Iya, kadang polos nya bisa membuat kita geram setengah mati.
Setelah kepergian Felli, aku dan doktor Fano segera bergegas ke ruangan operasi karena ada yang harus kita persiapkan terlebih dulu sebelum menjelang operasi. Apalagi ini operasi yang tidak mudah, dan dapat menaruhkan nyawa jika gagal.
Semoga saja, operasi kali ini berhasil kembali.
***
Sepi dan sunyi adalah dua perasaan yang paling tidak mengenakan dalam hidup ini. Tidak ada satupun orang yang menyukai kondisi seperti ini, bagi orang yang memang akrab dengan kesunyian. Terkadang ada suatu waktu dimana mereka lelah dengan keadaan, dan mulai berharap ada seseorang yang mau diajak bicara.
Menceritakan semua jerih payah dan masalah yang terjadi hari ini. Namun sayangnya, semakin orang tersebut berharap maka semakin kesepian juga yang dirasakannya. Begitupun dengan diriku.
Aku terduduk di kursi depan rumah sakit dengan menundukkan kepala, arwah yang ada di belakang tubuhku terus saja mengganggu. Meskipun dia tidak bisa menyentuhku tapi aku dapat melihat dan merasakan seluruh tubuh merinding. Itu rasanya tidak enak sekali.
Rumah sakit sudah sepi karena waktu sudah menunjukkan tengah malam. Mobil dan motor pun sudah lenggang, tidak semacet tadi, hanya ada dua atau tiga saja yang lewat. Aku menangis, saat ini adalah titik terendah dalam hidupku. Dimana hal ini yang tidak aku inginkan sama sekali.
Aku gagal mengoperasi karena dokter Nina salah menggunting sesuatu yang membuat pasien tidak dapat terselamatkan. Arwah pasien tersebut sedang menghantuiku dan meminta agar aku mendonorkan jantungku untuknya.
Kenapa arwah itu segila ini? Kalau dia hidup mungkin aku akan bertanggung jawab atas semua kesalahanku, meskipun tidak semuanya salahku.
"Mbak, kenapa sendirian disini? Sudah malam gak baik." Suara laki-laki menyapaku. Aku tidak menghiraukannya, paling itu adalah arwah yang usil, yang akan menggangguku.
"Mbak, kenapa nangis? Mbak dokter di sini kan ya?" Suara itu sekali lagi membuat aku tersadar, aku mendongak menatap laki-laki jangkung yang tengah berdiri, Ia juga menatapku. Aku terpana pada pandangan pertama, lelaki di depan ini sosok yang sempurna. Menurutku, pahatan wajah nya begitu sempurna membuat aku tidak dapat berkutik. Tapi tunggu..
Aku menghela nafas saat aku melihat kakinya menapak di tanah. Lega rasanya berarti dia bukan arwah atau sejenisnya yang sedang aku takutkan.
"Boleh duduk?" tanya laki-laki itu. Aku mengangguk setuju, dia terlihat bukan orang jahat kok. Baju nya saja baju polisi yang menandakan profesi nya bahwa dia adalah seorang polisi. Tidak aneh jika banyak polisi yang berseliweran disini karena tepat di depan rumah sakit tempat ku bekerja adalah kantor polisi.
"Mbak lagi ada masalah tah?"
Aku menggelengkan kepala pelan, lalu menghentikan tangisku yang entah kenapa susah berhenti. Memalukan sekali bukan?
"Kenalin saya Reynand"
Dia memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangannya.
"Aku Reyna, dan benar saya dokter di rumah sakit ini."
Dia terkekeh pelan saat aku menyebutkan namaku, membuat keningku berkerut heran. Ah apa jangan-jangan dia hantu? Atau dia sedang kesurupan?
"Ke..kenapa?" tanyaku gugup, kali ini aku benar-benar takut dia hantu atau malah lebih parahnya orang yang sedang kesurupan.
"Nggak papa kok, lucu aja nama kita hampir sama." aku menghela nafas lega. Ah benar juga apa yang dikatakannya, nama kita memang benar-benar hampir sama, aku ikut terkekeh. Tetapi ada yang aneh, kemana mereka semua? Maksudku para hantu dan arwah gentayangan. Tadi bahkan begitu banyak aku lihat. Ah masa bodo aku tidak peduli, syukur deh kalau mereka pergi. Tapi aku akan lebih bersyukur lagi jika MATA TERKUTUK ini hilang.
"Ada masalah?" Sepertinya dia adalah tipe orang yang gampang akrab dan dapat mencairkan suasana dengan sangat cepat. Terbukti dengan sekarang ini, caranya berbicara padaku sangat berbeda dari pria lain. Dia tergolong pria yang tak suka berbasa-basi lama. Apakah polisi itu tak ada niat lain selain bertanya?
Tentu saja tak ada yang lain Reyna, dia kan polisi. Harus ramah pada masyarakatnya!