Syahilla merebahkan tubuhnya di ranjang yang empuk. Gadis itu tengah memikirkan bagaimana cara dia membalas kebaikan Bu Manda. Beberapa kali Syahilla tampak meremas hpnya. Bisa dikatakan saat ini Syahilla tengah meratapi nasibnya yang sama sekali tidak dipedulikan oleh keluarganya. Satu pun dari mereka juga tidak ada yang menghubunginya. Biasanya ayahnya yang paling khawatir tapi juga tidak ada kabar.
“Syahilla, kenapa tidak tidur?” tanya Manda yang sejak tadi berbaring si samping Syahilla. Kali ini mereka tidur berbagi ranjang.
“Hanya memikirkan bagaimana cara membalas kebaikan ibu,” jawab Syahilla.
“Itu gampang banget, Syahilla. Cukup kamu menjadi menantu ibu,” jawab Manda dengan spontan.
Syahilla mengerjapkan matanya, apa dia tidak salah dengar. Gadis cacat seperti dirinya diharapkan menjadi menantu wanita kaya.
“Em lupakan!” ujar Manda lagi seraya tersenyum kikuk. Manda jadi tidak enak saat Syahilla terlihat canggung. “Maafkan ibu, ya. Ibu gak bermaksud!” bisik Manda sebelum memejamkan matanya lagi.
Syahilla berdehem sebentar, “Kan, aku pikir juga apa. Tidak ada yang mengharapkan gadis penuh kekurangan seperti aku,” batin Syahilla seorang diri.
Syahilla pikir, Manda serius dengan ucapannya. Setitik harapan sempat Syahilla lambungkan, pasti ayahnya akan senang kalau dia sampai menikah. Namun, semuanya lenyap dalam hitungan detik saat Manda menyuruhnya untuk melupakan kalimat yang sempat wanita paruh baya itu ucapkan.
Syahila memejamkan matanya, lebih baik kalau tidur. Syahilla selalu berdoa, semoga esok hari akan lebih indah dari hari ini.
Pahit manisnya kehidupan memang sudah satu paket. Syahilla tetap percaya, akan ada kebahagiaan yang akan menjemputnya. Entah kapan, pasti suatu saat Syahilla akan mencapai titik itu.
“Roda itu berputar, aku ingin seperti kincir air. Walau keberadaannya kadang di bawah, tetap membawa manfaat untuk orang banyak,” bathin Syahilla sebelum benar-benar memejamkan matanya.
Di kamar sebelah, tengah ada perdebatan konyol antara kakak beradik yang sama-sama keras kepala. Hanya karena posisi tidur pun mereka berebut minta yang sisi kanan.
“Aku yang di kanan, Kak!” ucap Darel meringkukkan tubuhnya di sisi kanan. Namun, Reza segera mengangkat tubuh kecil Darel dan memindahkan di sisi kiri. Darel tidak terima, bocah itu memukul Reza dengan guling kecil.
“Bisa gak sih nurut sama orang tua?” ujar Reza memelototkan matanya.
“Orang tua harus ngalah sama anak kecil!” jawab Darel memanyunkan bibirnya.
“Apasih bedanya kanan kiri? Heran deh gitu aja ribet!” Kesal Reza.
“Lah kakak juga ribet!”
“Kamu masih punya utang ya sama kakak. Berlagak kayak gak punya dosa aja,” ucap Reza menepuk bahu Darel.
“Jangan tepuk-tepuk!”
“Bawel!”
“Situ yang mulai duluan,” kekeuh Darel.
“Jangan ngeles mulu. Sekarang lanjutkan perbincangan kita yang tadi. Kalau bukan karena surga, kenapa orang beribadah?” tanya Reza mulai serius.
“Kakak pernah mencintai seseorang?” tanya Darel balik. Reza berpikir sejenak, Darel mengamati pria dewasa di depannya yang tampak mengetuk-ketukkan jemarinya di dagu.
“Lama banget mikirnya!” keluh Darel menepuk bahu Reza dengan kencang. Reza tergagap dan menatap Darel tajam, yang ditatap pun hanya mengedikkan bahunya acuh.
“Pernah jatuh cinta apa enggak?” tanya Darel lagi.
“Ya, pernah. Baru hari ini!” jawab Reza dengan mantap.
“Hah? Kok baru hari ini?”
“Ya tadi kakak ngecek di internet, kalau tanda-tanda jatuh cinta itu cemburu, gak mau yang dicintai perhatian sama orang lain, mau makan mikir dia, mau tidur mikir dia, dan saat ini kakak juga memikirkan dia,” ucap Reza tersenyum sintiing.
“Hawa-hawanya mau ada perebutan jodoh,” ucap Darel mendelikkan matanya. Reza gentian mendelik lebih tajam.
Sebenarnya Reza heran sekaligus tidak percaya dengan anak seusia delapan tahun tapi pemikirannya Sudah melompat ke depan, Harusnya delapan tahun masih kelas dua SD yang masih suka-sukanya jajan cilok, tapi kenapa Darel bisa secemerlang ini.
“Kamu bisa gak sih serius sebentar? Kakak butuh jawaban!” keluh Reza.
“Oke ini serius, Kak. Kalau kakak mencintai seseorang, apa yang akan kakak lakukan untuk mendapat cintanya juga?” tanya Darel. Lagi-lagi Reza berpikir keras.
“Biar aku bantu jawab, pasti kakak akan melakukan apapun kan, termasuk semua keinginan dan perintahnya. Sama seperti kehidupan ini, kak. Kita ini mahluk ciptaan, mustahil kalau ciptaan tidak ada yang menciptakan. Allah memerintahkan hambanya untuk menyembahnya, mengikuti segala perintahnya. Tanyakan pada hati kakak, apakah kakak sudah mencintai Allah. Kalau belum, kenapa kakak tidak mencintainya? Padahal Allah memberikan kehidupan pada kakak, nikmat dunia yang berlimpah, harta, kedudukan, popularitas, dan segala kebahagiaan yang ada. Allah memberikan itu semua kepada kakak, sudahkah kakak bersyukur?” oceh Darel menunjuk-nunjuk d**a Reza.
“Kalau kakak memberi satu minta imbalan satu, maka kakak akan mendapat satu. Kalau kakak memberi satu tapi minta dua, kakak hanya dapat setengah. Tapi kalau kakak memberi satu tanpa meminta imbalan, maka kakak akan mendapat lebih banyak. Ini gambaran turun temurun, harusnya kakak yang sudah setua ini bisa paham apa makna itu. Kakak mengharap surga, apa suatu saat akan menjadi kenyataan? Surga itu mahluk, sama seperti kita. Lalu kenapa kita berharap pada mahluk? Berharaplah pada sang pencipta, Allah. Yang mencintai akan dicintai, cintailah Sang Pencipta, maka kakak akan menjadi manusia paling bahagia,” tambah Darel lagi.
Mendapat ceramahan panjang lebar membuat Reza bak orang bingung. Reza mencerna setiap kalimat yang diucapkan anak pintar di depannya.
“Kakak tidak pernah beribadah, tidak meyakini keyakinan apapun, tapi uang kakak banyak, kedudukan dan popularitas semua kakak dapatkan,” sangkal Reza.
“Apa kakak pikir semua kekayaaan yang datang adalah bentuk rasa cinta dan rezeki? Harta bisa jadi cobaan, Kak. Kakak sudah diberi banyak, tapi tetap tidak sadar,” jawab Darel.
“Ini sangat memusingkan, Darel!” keluh Reza.
“Pelan-pelan, Kak.”
“Apa kakak terlihat sebagai orang yang tidak pandai bersyukur?”
“Jangan tanyakan padaku, tanyakan saja pada hati kakak. Apa selama ini hati kakak tidak merasa ada yang kosong?”
Reza bungkam, jelas ini lah yang dia tanyakan bertahun-tahun, tentang kekosongan hatinya meski dia punya segalanya. Penjelasan Darel terngiang di pikirannya, menghantam tepat di ulu hatinya.
Saat asik memikirkan ucapan Darel, dering ponsel menghentikan acara berpikir Reza. Pria itu menyambar hpnya di nakas. Panggilan suara dari Audi, siaal dia melupakan pacarnya selama seharian ini. Reza menekan ikon hijau, menempelkan hpnya di telinga.
“Halo!” sapa Reza gugup.
“Apa kamu benar-benar membenciku setelah aku menciummu tadi?” tanya Audi disertai isakan di sebrang sana. Dengan spontan Reza berdiri.
“Audi, jangan menangis!” ucap Reza.