“Audi, jangan menangis!” ucap Reza. Reza bangkit dari ranjang dan menjauhi Darel. Darel mengedikkan bahunya acuh dan memilih untuk memejamkan matanya.
“Maafkan aku, Reza. Aku tidak akan mengulangi lagi … hikss hikss ….” Isak Audi di sebrang sana.
“Audi sudah! Aku sudah melupakan kejadian itu,” jawab Reza.
Di sebelah sana, Audi memukul-mukul dadanya untuk menyalurkan rasa sakitnya ketika mendengar ucapan Reza bahwa Reza sudah melupakan adegan ciuman tadi. Audi yakin, kalau dia tidak berarti apa-apa untuk Reza. Namun Audi tidak bisa menyerah, Audi ingin mempertahankan Reza, oranntuanya terlanjur menumpangkan harapan besar hubungannya dengan Reza.
“Sudah ya, jangan menangis. Kalau aku sudah selesai urusan, aku akan menemuimu,” ujar Reza.
“Kamu ada di mana?” tanya Audi yang suaranya masih serak. Audi berusaha untuk menghentikan tangisannya, tapi tidak bisa. Saat mendengar suara Reza, membuat Audi merasakan sakit hati.
“Aku ada urusan sebentar. Ini sama mama,” jawab Reza.
“Kita masih pacaran?” tanya Audi lagi. Reza menghela napas. Helaan napas Reza sampai di pendengaran Audi, lagi-lagi Audi harus menelan pil pahit kalau Reza memang sudah tidak ada rasa terhadapnya.
“Kamu sudah bosan sama aku?”
“Bukan begitu, Audi. A … aku ….” Reza berucap dengan terbata-bata.
“Ya sudah, fokus saja sama yang menjadi urusanmu. Kalau sudah selesai, temui aku!” ujar Audi mematikan sambungan telfonnya sepihak.
Reza membanting tubuhnya ke sofa. Ia tidak tau harus berbuat apa. Di sisi lain dia kasihan dengan Audi, tapi di sisi lain dia ingin mengejar Syahilla. Reza bimbang, kenapa dia harus bertemu Syahilla dengan terlambat. Andai dia bertemu Syahilla sebelum ia bertemu dengan Audi, tanpa pikir panjang Reza akan melamarnya. Meski mau meminta mahar semahal apapun, akan Reza turuti.
Reza keluar kamar, dia menuju dapur karena perutnya yang keroncongan. Mamanya tadi membawa mie instan, sekadar mengganjal perut pastilah kenyang.
Sebelum sampai di dapur, alangkah terkejutnya Reza saat melihat seorang wanita sedang duduk di sofa, rambut wanita itu panjang tergerai.
“Benarkah ini Syahilla?” tanya Reza pada dirinya sendiri. Reza melihat Syahilla yang tampak merenung. Pandangan perempuan itu kosong, sesekali Syahilla akan menimang hp nya.
Tadi Syahilla terbangun dan tidak bisa tertidur lagi karena memikirkan orangtuanya, karena tidak mau mengganggu Manda, Syahilla memutuskan untuk keluar. Mungkin Syahilla melupakan satu fakta bahwa di rumah ini ada laki-laki dewasa, hingga dia melupakan hijabnya.
Tiba-tiba otak Reza langsung terpikir sesuatu. Seorang perempuan Muslimah biasanya tidak suka saat auratnya kelihatan, Reza yang biasanya acuh akan hal itu seketika membalikkan tubuhnya kembali ke kamar. Reza tidak mau kalau dia melihat rambut Syahilla terus menerus. Reza tidak ingin lancang menikmati aurat yang selalu dijaga Syahilla ke mana pun gadis itu pergi.
Reza menggelengkan kepalanya beberapa kali, dia ingin menghilangkan bayangan wajah cantik Syahilla. Namun, ia tidak bisa. Syahilla sudah merasuki hati dan pikirannya, tidak mau pergi walau sekuat apa dia memaksa.
“Maafkan aku Syahilla, aku tidak sengaja melihatmu!” rutuk Reza dalam hati.
Belum ada dua belas jam Reza bertemu Syahilla. Nmaun perubahan drastis itu sudah dia rasakan. Dia yang biasa senggal-seggol dan peluk-peluk perempuan partner menyanyinya atau pun Audi, kini dalam hatinya terus mengatakan jangan sampai itu terjadi lagi.
Sejak bertemunya Reza dengan Darel dan Syahilla, hatinya yang selama ini merasakan kekosongan, hambar dan kebingungan, perlahan seperti mendapatkan cahaya.
Menginjak pukul sebelas malam, Syahilla merebahkan tubuhnya di sofa. Gadis itu mendengkur halus. Sedangkan Reza, dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Reza ingin kelur melihat Syahilla, tapi dia tidak mampu untuk melihat wajah gadis itu lagi.
Sampai pada pukul dua dini hari Reza masih betah membuka matanya. Suara ayam berkokok kencang membuat Reza berjingkat. Sebelumnya Reza tidak pernah mendengar suara ayam berkokok karena dia hidup di kota besar. Yang Reza tau tentang suara ayam berkokok di malam hari adalah munculnya setaan. Seketika bulu kuduk Reza meremang. Ia celingak-celinguk ke penjuru kamar. Rasanya tampak horror dan sunyi.
“Eghh …..” suara erangan membuat Reza berjingkat lagi. Ia menoleh ke arah Darel yang menggeliat. Sayup-sayup Darel membuka matanya.
“Bocil, kenapa kamu bangun?” tanya Reza. Darel mengucek matanya dan beranjak duduk.
“Heh bocil, ditanya gak jawab!” ketus Reza.
“Apa kakak tidak dengar kalau ada suara ayam berkokok? Itu tandanya ada malaikat lewat. Aku mau salat malam,” jelas Darel.
“Bukannya ayam berkokok di malam hari itu tanda setaan lewat, ya?” tanya Reza bingung.
“Iya, kakak setannya!” jawab Darel. Darel bergegas menuju kamar mandi. Reza tidak tinggal diam, laki-laki itu mengikuti langkah Darel. Namun lagi-lagi dia melihat Syahilla yang sedang berwudlu di kamar mandi. Dan lagi-lagi juga Reza lari tunggang langgang menuju kamarnya.
Darel yang melihat kakaknya lari bak orang melihat Setaan pun hanya kebingungan. Mau bertanya tapi dia harus mengambil wudlu. Darel terlatih untuk tidak meninggalkan salat malam.
Reza heran dengan Syahilla. Apa gadis itu tidak tidur? Beberapa jam lalu dia melihat Syahilla duduk di sofa, dan kini gadis itu mengambil wudlu di kamar mandi. Reza berjanji kalau dia menikahi Syahilla, Reza akan memastikan Syahilla tidur dengan cukup.
Reza berdiri menghadap cendela kamarnya. Setitik air mata menetes di pipi pria dewasa itu. Reza merasa kalah dengan orang-orang yang menjaga imannya. Reza lahir sebagai seorang muslim, tapi saat remaja dia melepas keyakinannya. Reza tidak meyakini keyakinan apapun dan merasa hidupnya sudah nyaman tanpa menganut agama tertentu.
Namun hari ini, hati dan pikirannya diporak-porandakan. Dua orang yang baru Reza kenal, membuat pria itu jungkirbalik.
Cklek!
Suara pintu terbuka membuat Reza menghapus air matanya. Dia melirik ke pintu mendapati Darel. Bocah kecil itu mengambil sarung dan dengan lihai mengenakannya. Tanpa basa-basi lagi Darel menjalankan salat sunnah. Reza menatap tidak berkedip.
Malu, jelas saja Reza sangat malu dengan dirinya sendiri. Apa yang sudah dia perbuat hingga dia merasa punya segalanya. Kalau Tuhan mau, segala jenis popularitas, harta dan segalanya yang dia miliki, bisa musnah dalam sekejap mata.
Reza tidak kuat, dia harus apa? Mau ikut salat? Dia sudah lupa. Mau meyakini ajaran apa, dia juga bingung. Namun, keinginan hatinya dia ingin seperti Syahilla dan Darel. Salat wajib, mengaji dan melakukan sunah.
Reza keluar dari kamar, dia menghampiri mamanya dan membuka pintu kamar mamanya dengan kasar. Syahilla yang masih berdoa pun tersentak kaget. Msih menggenakan mukenannya, Syahilla berusaha menatap Reza.
“Syahilla. Apakah orang yang sudah banyak dosa masih bisa bertaubat?” tanya Reza tanpa basa-basi.
“Maaf, kenapa kamu lancang membuka pintu tanpa permisi?” Syahilla menjawab dengan pertanyaan. Reza menggaruk tengkuknya canggung.