BAB 1. Seseorang Mengawasi Zara
“Ini aneh! Sumpah ini aneh! Tapi yaa ... sudahlah! Mumpung diizinin ya kannn? Mending sekarang aku mix and match baju untuk nanti malam deh! Yeayyy partyyy!”
Zara Carissa Ambara ber-velocity sebentar di depan cermin besar dalam kamarnya ... yang juga cukup besar. Ceritanya dia lagi selebrasi setelah mendapat izin pergi ke birthday party salah satu bestienya di Zona Club nanti malam. Salah satu club terkenal sebagai tempat nongkrong favorite anak-anak orang kaya. Yahh begitulah, Zara dengan circlenya.
Pilihannya jatuh ke outfit dengan tema seragam sekolah ala siswa Jepang. Terlihat seksi di tubuh ramping Zara yang hanya lebih berisi pada bagian tertentu saja. Dan tidak lupa, gadis itu juga merias wajahnya, dengan set make up yang dipinjamkan oleh Brenda, sahabatnya.
“Ouhhh thank you Mas Faris! Thank you Kak Astrid!” teriaknya sekencang yang dia bisa, lalu menjatuhkan badan di ranjang yang besar dan empuk.
“Siapa itu yang teriak, Astrid?” Krishna berhenti meneguk teh manis hangat di gelasnya, dia memalingkan wajah, menatap ke arah tangga besar menjulang ke lantai dua. Keningnya mnegernyit, ada raut khawatir. Kamar si putri bungsu di lantai atas.
Astrid hanya melirik sebentar mengikuti pandangan papa mertua. Lalu dia tersenyum berusaha semanis mungkin. “Ohh itu palingan si Zara lagi kesenengan karena viewernya bertambah, Pa.”
“Yaa tapi coba kamu tengok dulu ke atas sebentar. Takutnya itu anak berbuat aneh lagi.” Krishna bersikeras. Pokoknya kalau urusan Zara, selalu nomor satu.
Astrid menghela napas pelan. Dia memang tidak pernah bisa dan tidak pernah boleh membantah titah sang papa mertua. Raja dan penguasa dari istana megah yang ditempatinya sejak dua tahun lalu ini. “Baik, Pa.” Astrid manut dengan seperangkat gestur tubuh yang sopan serta suara lemah lembut.
Astrid pamit dari ruang tamu dan berjalan anggun menaiki tangga menuju lantai dua. Dia tahu persis, dari arah ruang tamu, orang hanya bisa melihat hingga ke anak tangga kelima saja, sebab bentuknya yang melingkar mengular ke atas. Dia berhenti di anak tangga ketujuh, diam di sana beberapa saat, sambil memandangi kutek kuku yang baru diganti warnanya tadi pagi.
Itu tadi sore.
Malam ini, tepatnya menjelang tengah malam, birthday party yang bertemakan pesta kostum, digelar meriah di sebuah VIP room. Brenda, seorang putri tunggal pengusaha frozen food, merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh satu tahun. Tamu yang diundang juga VIP. Hanya teman-teman terdekat yang kebanyakan adalah teman kampus. Dan tentu saja semua gadis di dalam ruangan itu memiliki strata sosial yang setara dengan Brenda. Mereka, para gadis manja yang sudah kaya raya sejak lahir.
“Ra, tumben banget diizinin sama Mas Faris ikutan party tengah malam gini?” Kening Brenda mengernyit. Sebagai sahabat terdekat, bahkan Brenda hapal betul bagaimana ketatnya penjara berkedok istana di mansion milik orangtua Zara. Suara Brenda bernada tinggi, berusaha mengalahkan dentuman musik yang tak pernah berhenti sedetikpun sejak acara dimulai.
Zara terkekeh sambil terus menggoyangkan badannya mengikuti musik. “Hemm sepertinya mas dan kakak ipar gue baru sadar, kalau sikap kaku mereka hanya sia-sia belaka selama ini. Dan mulai merelakan adiknya ini menghirup udara di malam hari.”
Zara tidak ingin lama-lama merasa aneh. Meskipun selama ini Mas Faris dan istri tersayangnya itu selalu melarangnya ini dan itu, selalu mengekang dan mengurungnya, memarahi di belakang papanya. Sudahlah, pikir Zara, yang penting malam ini dia happy.
Gadis 20 tahun itu lelah melanggak-lenggok di lantai dansa. Dia kembali ke sofa. Ditatapnya beberapa botol minuman berwarna segar di atas meja bundar. Memberanikan diri, Zara menuang minuman yang berwarna merah darah ke gelas bening.
Keningnya mengernyit sesaat sebelum meneguk minuman itu, dia tahu itu adalah vodka. Ini kali pertama minuman beralkohol ada dalam genggamannya.
“Sudah coba saja biar nggak penasaran,” ucap seorang teman yang Zara tidak terlalu akrab, dan gadis itu segera berlalu setelah mengambil minuman untuk dirinya sendiri.
Tinggallah Zara kembali sendiri di sofa. Ahh persetan dengan mabuk! Kapan lagi aku bisa merasakan vodka ya, kan?! Belum tentu besok-besok aku akan mendapat izin istimewa lagi. Suara batinnya memerintahkan untuk minum.
Dengan sekali teguk, vodka merah itu mengalir di tenggorokan Zara. Sontak kedua bola mata Zara membulat, merasakan sensasi yang selama ini belum pernah dia rasakan. Ternyata tidak buruk kok! Ada rasa manisnya. Dengan tersenyum Zara kembali menuangkan vodka merah ke gelas bening. Dia meneguk lagi. Dan lagi. Sampai kemudian kantung kemihnya terasa penuh.
Mata bulatnya memindai setiap sisi ruangan. Ah! Tidak ada toilet di sini. Zara berdiri, kepalanya terasa agak pusing. Dunia di depannya serasa berputar. Segera dia mengerahkan kedua tangan untuk berpegangan. Agak terhuyung Zara berjalan ke tengah lantai dansa. Tujuannya hanya satu, Brenda.
“Bren! Hei, Bren!”
Brenda yang masih asyik bergoyang bersama dengan para gadis lain menoleh. Menghentikan gerakannya dan mengangkat kedua alis. “Kenapa, Ra? Eh, lo mabuk?”
Zara terkekeh lalu menggeleng. “Dih! Siapa yang mabuk! Cuma pusing aja dikit. Toilet di mana, ya?”
“Di luar ruangan ini. Lo harus keluar, belok aja ke kiri. Nah toiletnya tepat di belakang bar.”
“Ohh oke. Thank you.” Zara membalik badan dan berjalan menuju pintu keluar. Brenda hanya geleng-geleng kepala melihat langkah Zara yang tidak stabil.
“Ra! Mau gue antar, nggak?!” teriaknya khawatir.
Zara tanpa membalik badan mengangkat tangannya dan menggoyangkan tanda kalau dia tidak perlu diantar.
“Oke. Belok kiri. Lalu toiletnya di belakang bar,” gumam Zara berusaha membuat dirinya sendiri berkonsentrasi.
Nah, itu dia barnya, kan! Zara tersenyum tipis. Masih dengan kedua tangan agak melebar ke samping, untuk membantu keseimbangan tubuhnya, Zara berjalan menuju bar yang cukup ramai pengunjung. Ternyata di sini dentuman musik terdengar lebih keras lagi daripada di dalam ruangan tadi.
Tanpa gadis cantik itu sadari, sepasang mata elang seorang pria tampan, tengah mengawasinya. Sejak sesaat Zara keluar dari ruangan, sorot mata itu tak pernah lepas mengikuti pergerakannya. Pria tampan yang duduk sendirian di bar, dengan sebuah gelas bening di tangannya.
Oke. Ciri-cirinya pas. Pria itu membatin. Sudah sejak tadi dia duduk di sana dengan sabar. Menanti seorang gadis keluar dari salah satu VIP room.
Saat dilihatnya Zara sedang berjalan kembali setelah dari toilet, pria itu turun dari kursi tingginya. Dia berjalan perlahan tapi pasti, mendekat ke arah Zara.
“Ouh! Maaf!” Zara tersentak. Dia menabrak seseorang. Tapi dia sendiri yang tersungkur ke lantai.
Pria yang ditabrak Zara ikut berjongkok dan membantunya berdiri perlahan. “Anda tidak apa-apa, Nona?”
Suara bariton khas seorang pria mampu mengalahkan dentuman musik. Zara mendongak dan langsung terpukau pada wajah tampan di atasnya ini. Ya, lehernya sampai harus mendongak ke atas karena pria di hadapannya begitu tinggi menjulang. Sedangkan Zara hanyalah seorang gadis mungil yang bahkan tingginya tidak mencapai 160 cm. Seorang pria beralis tebal dengan topi baseball hitam di kepalanya. Topi itu seperti sengaja dipakai untuk menutupi sebagian wajahnya. Namun begitu, sorot mata elangnya masih bisa terlihat jelas.
“A—apa?”
“Anda tidak apa-apa, Nona?” Tatapan bola mata hazel itu tampak khawatir.
“Ohh iya, nggak apa-apa kok.” Namun detik kemudian Zara tersadar ada pecahan gelas di lantai, dekat kakinya. Dan ... bajunya sendiri ada bekas noda merah yang terciprat. “Ohh! Maaf, minumannya jadi jatuh, ya? Aduh!” Zara benar-benar merasa bersalah. Dia memegang kedua pipi dengan raut menyesal.
“Jangan khawatir.” Pria tinggi tampan itu menoleh ke satu arah lalu melambaikan tangan. Seorang petugas kebersihan segera datang menghampiri.
“Mas, tolong bersihkan ini, ya.” Merogoh saku jeansnya, lalu memberikan selembar lima puluh ribuan.
“Siap, Tuan.”
Pria itu kembali beralih pada Zara. “Bajumu basah dan kotor. Kita kesana yuk untuk bersihkan bajumu.” Nada suara yang datar dan terdengar dingin seperti menghipnotis Zara.
Pria itu berlalu begitu saja, melangkah ke arah lain. Dan Zara mengikutinya.