BAB 3. Dia Masih Perawan!

1246 Kata
Zara berusaha duduk dengan susah payah. Dia pikir, mungkin ini adalah pengaruh alkohol yang membuatnya mabuk berat dan sakit seluruh badan. Kan memang sebelumnya aku belum pernah minum alkohol, ya mungkin ini salah satu efek sampingnya. Uhh, andai tahu akan begini, nggak mau deh minum alkohol yang warna seperti teh itu, rasanya memang manis, tapi udahannya nyeri semuanya. “Bisa berdiri?” Arion mengulurkan kedua tangan. Zara menatap curiga, lalu menepis tangan Arion begitu saja. “Nggak usah!” Dia kesal karena sudah diberi minuman yang dia sendiri tak diberi tahu apa namanya, meskipun sudah bertanya beberapa kali. Arion mengangkat kedua alisnya dan menarik kembali tangannya. Dia tidak terlalu peduli jika memang gadis ini keras kepala. Zara berdiri sambil berpegangan pada sandaran sofa. “Aduh!” Zara memegangi perut bagian bawah. Raut wajahnya jelas melukiskan betapa ada yang sangat sakit di bawah sana. Kening Arion mengernyit melihat itu. Jangan-jangan .... “Sshh uhh!” ringisnya lagi ketika mulai melangkah. Sakitnya bukan main sampai-sampai Zara berjalan seperti robot. “Kenapa sakit sekali, minuman apa tadi itu?!” Kini Zara menatap Arion dengan sorot penuh tuduhan. Gadis itu berpikir dia sepertinya telah menenggak racun, yang sekarang sedang bekerja merusak organ dalam tubuhnya secara perlahan. “Whiskey,” jawab Arion dengan nada suaranya yang khas, datar dan singkat. “Uh! Apa itu whiskey?” Zara mengedarkan pandangan. “Mana sepatuku?” Arion ikut mencari, tapi pencahayaan yang remang membuat mereka kesulitan. Akhirnya Arion menyalakan lampu tengah, neon putih yang langsung membuat ruangan terang-benderang. “Nah gitu kek’ dari tadi!” Zara kembali memindai lantai tapi tetap tidak ketemu. Dia sudah mau meledak karena kesal sepatunya hilang, tapi urung saat dilihatnya seutas tali sepatu menyembul dari bawah meja di depan sofa. Zara berjongkok untuk mengambil sepatunya. Arah pandangan Arion mengikuti pergerakan tubuh Zara. Dan saat itulah sorot matanya tidak sengaja melihat bercak merah segar di atas sofa. Jelas sekali sebab kain sofa itu berwarna putih. Keningnya mengernyit, mendekat ke arah sofa untuk melihat lebih jelas. Setelah yakin itu adalah noda darah, lutut Arion serasa lemas. b******k! Si b******k itu nggak bilang kalau gadis ini masih perawan! Pantas saja rasanya pulen sekali sampai aku lupa daratan tadi! Ah, sial! “Ouh!” Zara mengusap kepalanya yang menabrak lutut Arion saat dia keluar dari kolong meja. “Ngapain di sini sih?!” Namun Arion diam saja. Fokusnya masih hanya pada satu titik, yaitu noda merah di atas sofa putih. Sehingga Zara jadi mengikuti arah pandangan Arion. Dia penasaran, sedang melihat apa pria itu? “Apa itu?” “Hah!” Arion kaget. Dia sontak menoleh pada Zara di sampingnya. Lalu tubuh Zara dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sampai membuat Zara jengah, dia silangkan kedua tangan di depan d**a. “Kok liatinnya gitu sih? Dasar m***m! Aku mau keluar!” Zara segera memakai sepatunya lalu berjalan ke arah pintu. “Umurmu berapa?” Suara bariton yang membuat langkah Zara terhenti. Gadis itu mengernyit, bingung dengan arah pertanyaan Arion. Tapi dia tetap membalik badan. “Kenapa tanya umur segala?!” Zara galak karena sedang bertahan. Ini adalah tempat asing baginya. Dan dia sadar, sangat salah tadi dirinya mau mengikuti pria asing ke ruangan tertutup seperti ini. Sekarang Zara menyesal, dan berharap pintu di sana tidak terkunci. “Kamu masih perawan?” Zara mengepalkan kedua tangan di sini badan, geram sekali dia mendengar pertanyaan-pertanyaan Arion. “Aku 20 tahun dan masih perawan! Puas?!” Sontak Arion menepuk jidat. “Astaga!” Arion tidak percaya dia baru saja meniduri seorang gadis dua puluh tahun! Jarak usia mereka bahkan sebelas tahun! Dan lebih parahnya lagi, anak kecil itu masih perawan ... tadinya. Arion memijat kening, di antara kedua alis tebalnya. Arion sama sekali tidak menyangkan umur gadis itu masih 20 tahun. Penampilan Zara yang memakai riasan cukup tebal di wajahnya membuat gadis itu tampak seperti usia 25 atau bahkan lebih. Zara jadi curiga melihat gelagat Arion. “Kenapa sih? Pusing banget kelihatannya! Umur-umur aku! Yang perawan juga aku! Apa urusanmu?!” Zara berkacak pinggang. Sejenak dia melupakan nyeri di tubuhnya. Arion menatap Zara lekat-lekat. Tatapan mereka beradu. Mata elang hazel milik Arion, dengan bola mata bening bulat khas anak kecil milik Zara. “Mulai sekarang kamu jadi urusanku. Karena, kamu sudah nggak perawan ... karena aku.” Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Zara mencibir. “Cih! Ngomong apa sih kamu! Mabuk, ya?!” Arion menggeleng, pelan. “Satu botol penuh whiskey pun, nggak akan bikin aku mabuk. Dan aku sadar saat melakukannya.” Arion menunjuk ke arah noda darah di atas sofa. “Ini buktinya. Dan ... itumu sakit, kan?” Sontak Zara menunduk, melihat ke arah tengah selangkangannya. Tiba-tiba sekali bagian itu kembali dia rasakan nyeri. Untuk beberapa saat Zara mematung. Kemudian dia kembali menatap Arion, tidak ada raut tidak serius di sana. “Kamu serius?” Suara Zara terdengar lemah. Terdengar jelas oleh Arion karena tadi dia matikan musiknya bersamaan dengan menyalakan lampu tengah. Arion mengangkat jari telunjuk dan tengah tangan kanan, membentuk huruf V. Dia mengangguk beberapa kali, lalu tersenyum tipis. Kedua netra Zara semakin membulat. Napasnya menderu. “Aaarrgghhh!!!” teriaknya kencang yang langsung membuat Arion berlari ke arahnya. Arion langsung menutup mulut Zara dengan kedua tangan. “Jangan teriak! Nanti orang kira kamu lagi diperkosa!” Zara mencoba mengatur napas, meskipun emosi dalam dadanya begitu meluap, ingin rasanya meledak saat ini juga. Isi kepalanya campur-aduk dengan segala hal pikiran buruk. Berusaha keras Zara memendam perasaan, semata supaya dia dilepaskan oleh Arion. Akhirnya Zara mengangguk pelan. Arion melepaskan tangannya dengan tetap memasang sikap waspada. “Tapi memang kamu sudah perkosa aku, kan?!” Zara menunjuk tepat ke arah wajah Arion. “Kamu jahat! Kamu siapa sih segitu jahatnya sama aku! Hah?!” Nada suara sebisa mungkin dia tahan supaya tidak berteriak. Dia tidak mau dibekap lagi oleh Arion. Pria yang telah merenggut keperawanannya. Pria yang baru malam ini bertemu dengannya tapi akan menjadi mimpi buruk selamanya, itu yang ada dalam pikiran Zara saat ini. Gadis 20 tahun yang bahkan hanya berani pacaran dengan bergandengan tangan saja, sebab semua orang di rumah begitu mengekangnya. Justru dengan begitu mudah disentuh seluruh tubuhnya dengan pria ini. Yang sedang berdiri menjulang di depannya dengan raut wajah tanpa rasa bersalah sedikitpun. “Zara, dengarkan aku—“ “Diam!” Zara memukuli d**a Arion bertubi. Belum puas lalu dia juga mendorong tubuh Arion dengan sekuat tenaga. Namun tentu saja tenaga Zara hanya sepersekian dari tenaga Arion. Pria berwajah dingin itu hanya diam dan terus menatap dengan mata elangnya. Arion menghela napas dalam. Dia memeluk Zara untuk menghentikan amukannya. Karena sudah terlalu lelah, Zara tidak sanggup lagi berontak. Dia menangis sesenggukan dalam pelukan Arion. Dunia Zara hancur lebur. Tadi pagi Zara masih seorang anak manja, putri tunggal seorang miliarder yang sangat menyayanginya. Memiliki segalanya dan dikelilingi fasilitas mewah. Tapi malam ini, dia merasa tidak punya apa-apa lagi yang berharga dari dirinya. Semua sudah hilang, direnggut Arion. Dengan sekuat tenaga Zara melepaskan pelukan Arion. Lalu dia lari keluar ruangan. Arion sudah akan mengejarnya, tapi terhenti karena handphone di saku celana berdering. Begitu melihat nama yang tertera di layar handphone, Arion mendengkus malas. Namun tetap diangkatnya panggilan itu. “Hallo!” “Hallo, bro. Gimana? Beres, kan?” “Heh! b******n! Kenapa nggak bilang kalau dia masih perawan?!” Suara di seberang telepon sunyi beberapa saat. Detik kemudian terdengar helaan napas berat. “Lo tidurin si Zara? Gila! Kan gue bilang cuma bikin dia ketakutan aja! Teror dia, Arion! Ah, teserah deh. Lo lanjutin aja, teror dia, oke?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN