Meliana memandang Emilio dengan penuh pemujaan. Dari semenjak kakaknya meninggal, ia sudah jatuh cinta pada Emilio. Laki-Iaki yang pernah menghiburnya di kala sedih, menjadi pelindungnya sekaligus seorang kakak. Meliana pernah menjalin hubungan dengan banyak laki-laki tapi tidak satu pun yang mendekati kriteria Emilio. Baik sikap, sifat, maupun ketampanan. Terlebih kekayaan yang seolah tidak terbatas. Laki-laki yang menjalin hubungan dengannya memang rata-rata tampan, tapi hanya sekedarnya saja. Tidak ada yang mampu membuatnya berdebar bahagia.
“Kaak, kenapa sinis begitu? Padahal niatku baik loh.” Meliana melangkah gemulai, mendekati Emilio sambil menyandarkan pinggul ke meja. Duduk menghadap langsung pada Emilio dengan harapan dadanya yang menyembul keluar bisa terlihat jelas. “Bagaimana kalau malam ini kita makan bersama? Kamu pasti butuh teman mengobrol.”
Emilio menaikkan sebelah alis lalu mengalihkan pandangan dari Meliana kejendela. “Bukannya kamu bilang kangen, Orley? Kenapa malah ingin mengajakku keluar makan?”
“Ah, Kak Emilio nggak peka. Tentu saja kita makan malam bersama dulu, setelah itu aku ikut ke rumahmu untuk bertemu keponakanku yang lucu itu.”
“Nggak bisa!” tolak Emilio tegas. “Ada masalah di kantor dan aku harus kerja lembur.”
“Masalah apa? Barangkali aku bisa bantu.”
Meliana bangkit, mendekati Emilio untuk berdiri di sampingnya. Dengan sengaja menyenggol lengan Emilio. Ingin melihat bagaimana reaksi laki-laki itu. Ia yakin kalau mantan kakak iparnya pasti menahan gairah. Bagaimana tidak, selama empat tahun hidup tanpa belaian istri. Ia yakin kalau diberi kesempatan, akan membuat Emilio takluk.
“Bayangkan, Kak. Kita makan malam di tempat romantis, minum anggur dengan musik lembut. Saat itu Kakak bisa cerita apa saja ke aku. Mungkin aku nggak akan bisa ngasih solusi tapi seenggaknya, aku bisa jadi pendengar yang baik. Gimana?”
Dengan berani Meliana melingkarkan lengannya di lengan Emilio. Tersenyum menggoda sambil mengedipkan sebelah mata. Emilio menghela napas panjang, memaki Ricko karena belum muncul juga untuk mengusir Meliana. Ia melepaskan cengkeraman Meliana di Iengannya dan bergerak untuk mengambil rokok dan menyalannya. Sengaja membuka sedikit kaca jendela dengan begitu Meliana tidak akan mengikutinya. Rata-rata perempuan tidak suka dengan asap rokok.
“Sudah aku bilang nggak bisa. Rapat berakhir sampai jam berapa saja aku nggak tahu.”
Meliana mencebik, berpura-pura marah. “Gimana kalau besok? Masa nggak bisa juga?”
Emilio menggeleng. “Nggak tahu, aku sibuk sekali.”
“Kaaak! Masa nolak terus, sih?”
Pintu diketuk dari luar, Ricko menerjang masuk dan bicara dengan gugup. “Pak, baru saja staf Bank Indonesia menelepon. Beliau minta Anda menelepon balik sekarang.”
Emilio mengernyit. “Terjadi sesuatu?”
“Iya, Pak, Darurat dan penting.”
“Oke, aku akan meneleponnya sekarang. Ricko, kamu antar Meliana pergi.”
Ricko mengangguk, hendak menghampiri Meliana tapi perempuan itu membentak keras.
“Nggak usah pakai diantar-antar, aku tahu jalan keluar. Selalu saja kamu mengangguku kalau lagi bicara penting ke Kak Emilio. Sekretaris nggak guna!”
Ricko tercengang, menjadi sasaran kemarahan untuk hal yang tidak pernah dilakukannya. Ia melirik Emilio untuk meminta bantuan dan bossnya itu bersikap seakan tidak mengerti apa pun. Dengan pasrah Ricko mengangguk.
“Maaf.”
“Nggak usah minta maaf atau sok merasa bersalah. Emang kamu nggak pernah suka sama aku!”
Meliana melotot ke arah Ricko, bersikap garang seakan ingin menelan hidup-hidup. Ricko mencuri pandang pada Emilio yang memberi tanda padanya untuk tetap diam.
“Kak, aku pergi dulu. Aku tunggu undangan makan malam, kalau nggak mamaku pasti meneleponmu.”
Adair bergegas membuka pintu, Meliana melewatinya sambil memaki pelan. “Menyebalkan!”
Setelah sosok Meliana menghilang dan pintu ditutup rapat, Ricko menghela napas panjang sambil mengusap keningnya yang berkeringat dengan sapu tangan.
“Pak, kenapa perempuan itu mengerikan?”
Emilio mematikan rokok dan terhenyak di kursi sambil tertawa. “Kamu baru tahu kalau perempuan itu mengerikan? Aku bertemu dengan beberapa yang seperti Meliana. Mereka melihatku dengan pandangan lapar, seolah aku ini duda yang sangean. Kalau aku mau, mereka pasti dengan suka hati menemaniku ke ranjang. Luar biasa perempuan jaman sekarang.”
Ricko hanya terdiam mendengar cerita bossnya yang mengatakan banyak menemukan perempuan. Bagaimana bisa itu terjadi sedangkan dirinya yang setua sekarang bahkan belum pernah berpacaran. Hidup memang tidak adil.
Sepulang kerja, Kiara memutuskan untuk nongkrong bersama dua temannya. Mereka tinggal berdekatan, di perkampungan yang sama. Kiara sudah berteman dengan mereka dari semenjak SMU. Sudah saling mengenal kepribadian masing-masing.
Sahabat perempuannya bernama Tiffany, yang merupakan mahasiswi fashion design. Bertubuh tinggi, cantik, dengan kulit kecoklatan. Orang tua Tiffany cukup berada dibandingkan dua temannya. Satu lagi laki-laki yang lebih suka bekerja dari pada kuliah. Bernama Hansen, yang merupakan anak juragan elektronik. Orang tua Hansen mempunya banyak toko yang menjual ponsel, laptop, dan barang lainnya. Saat ini Hansen memegang satu toko yang jaraknya tidak jauh dari rumah.
Tempat nongkrong mereka adalah warung bubur dan mie instan di pinggir jalan komplek yang cukup sepi tapi pembeli selalu datang silih berganti.
“Gimana rasanya kerja jadi pelayan? Lo pakai baju seragam?” tanya Hansen. Mengeluarkan sebungkus kuaci biji labu dari dalam tas dan meletakkan di atas meja. “Makan, nih. Rasa green tea kesukaan kalian.”
Tiffany membuka bungkus kuaci dan mengambil segenggam. “Kiara bilang ada yang aneh di rumah majikan barunya.”
“Apa yang aneh?” tanya Hansen keheranan.
Kiara meneguk es teh manis lalu mendesah. “Gimana, ya. Kerjaan gue tuh cuma nyuci sama beberes lantai dua yang juga kamar pembantu. Tapi, seharian gue kerja kagak lihat nyonya rumah. Di tempat cucian juga nggak ada pakaiannya.”
Tiffany mengernyit. “Cuma itu? Yang lo bilang aneh ternyata begitu doang?”
Kiara mengangguk. “Iya, aneh aja menurutku. Biasanya di rumah besar pasti ada nyonya yang mengawasi. Biasanya pula sangat cerewet. Kenapa ini nggak ada?”
“Bisa jadi dia pisah rumah sama istrinya, atau bisa juga istinya yang bekerja dari pagi ketemu malam. Semua pakaian di laundry, ada banyak kemungkinan, sih.”
Kiara menatap Hansen lalu mengangguk. “Masuk akal juga omongan lo. Bisa jadi gitu Padahal Pak Emilio cakep banget, mana wangi lagi.”
“Heh, dilarang naksir laki orang!” Tiffany mengetuk permukaan meja. “Nggak peduli mau secakep apa pun dia, tetap aja laki orang!”
“Iya, emang gue bilang naksir apa?”
“Mata lo kelihatan!” sela Hansen. “Nggak usah mungkir. Kalau Pak Emilio masih sendiri, lo pasti naksir.”
Kiara menggebrak meja dan berujar tegas. “Itu sudah pasti, mana dia wangi banget lagi. Aduuh, sakit!”
Tiffany mencubit lengan Kiara dengan gemas. “Dibilangin jangan naksir malah muji wangi.”
“Muji doang, sumpah. Udah gitu dia juga baik. Ngecek wajah gue luka nggak. Pegang-pegang pipi loh. Bayangim kalian jadi gue, apa nggak deg-degan.”
“Dia megang-megang lo di mana?” tanya Hansen.
“Di wajah.”
“Maksud gue tempatnya.”
“Di teras.”
“Teras rumahnya?”
“Iyalah, masa teras kecamatan.”
“Berani banget dia, emang nggak takut istrinya lihat?” komentar Tiffany membuat Kiara berpikir keras.
“Eh, ada kepala rumah tangga namanya Bu Nina yang lihat dan kayaknya biasa aja tuh.”
Tiffany bertukar pandang dengan Hansen. Merasa kini sepakat kalau ada yang aneh dengan majikan Kiara. Bagaimana bisa laki-laki beristri sembarangan menyentuh perempuan lain di teras rumah. Mereka berada di pemahaman yang sama kalau Emilio adalah orang yang tidak bermoral.
“Lo butuh duit napa nggak minjam gue atau Hansen. Malah ke rumah bokap lo. Udah tahu nggak bakal dikasih sama istri bokap lo itu.” Tiffany berkata pelan, mengubah topik pembicaraan. “Udah gue bilang berkali-kali, nggak ada hal bagus kalau menyangkut mereka.”
Kiara menunduk, memainkan gelas di tangannya lalu menenpelkan ke pipinya. Kesejukan dari gelas yang dingin, mengurangi rasa sakit di pipi.
“Gue punya utang banyak sama kalian,” ucapnya sendu.
Hansen berdecak. “Utang lo nggak ada apa-apanya dibandingin kerabat gue sendiri. Lo minjem tapi bayar biarpun nyicil. Lo nggak bayar juga gue iklas. Dari pada lihat lo bonyok gini karena dipukuli. Heran, di dunia ini ada ya, bokap tega sama anak sendiri.”
“Adaa, itu bokapnya Kiara. Semua gara-gara bini kedua. Hebat makanya para pelakor itu. Berupaya sekuat tenaga merebut kebahagiaan orang lain.” Tiffany bersedekap, wajahnya yang cantik mengeras karena marah. “Gue hari ini ketemu Yoel. Seperti biasanya, petantang petenteng soal dirinya paling cantik di kampus. Padahal, kalau dibandingin sama lo, jauhlah!”
“Gue malas ketemu dia, bawaannya pingin ngajak berantem.”
“Emang, Yoel itu tipe cewek sok cantik.”
“Songong pula. Mulutnya ampuuun. Kalau lihat gue nggak bisa tuh nggak menghina. Padahal rumah yang sekarang dia tempat, itu dulu rumah guee!”
“Denger-denger dia pacaran sama siapa itu Jimmy? Anak fakultas teknik yang katanya terkenal paling tampan di kampus. Makin sombong dia.”
“Gue kenal Jimmy, dan menurut gue nggak secakep Pak Emilio.”
“Mulai, ingaat. Dia laki orang. Masih aja lo mau ngembat. Dibilangin susah amat!”
Hansen mendengarkan percakapan dua temannya dalam diam. Sibuk makan mi goreng yang baru saja diantar ke meja. Ia memang tidak mengenal Jimmy, tapi tahu siapa Yoel dan sepakat kalau gadis itu memang sombong. Banyak laki-laki yang menatap penuh minat pada Kiara dan Tiffany yang sedang mengobrol. Semua tertunduk saat Hansen melotot untuk memberi teguran secara halus. Selama ia ada, tidak akan membiarkan para laki-laki menggoda dua sahabatnya.