BAB 5

1503 Kata
Tanpa terasa Kiara sudah bekerja selama dua minggu di rumah ini. Keadaan sang mama sudah membaik tapi ia belum mengijinkan untuk bekerja. Lebih baik kalau dirinya dulu yang bersusah payah sampai sang mama benar-benar sehat. Selama ini juga Kiara sama sekali belum pernah bertemu nyonya rumah. Ia dibuat penasaran karenanya. Kalau Emilio, beberapa kali ketemu saat laki-laki itu hendak berangkat kerja. Ia menyapa sopan dan Emilio menanyakan keadaan kaki serta wajahnya. Tidak ada percakapan lain, hanya basa-basi biasa. Seperti biasa, hati Kiara berdebar keras setiap kali melihat Emilio. Laki-laki tampan itu seolah menganggu kesadarannya, padahal ia sudah diingatkan oleh Cila dan Baskara untuk tidak jatuh cinta pada suami orang. Gadis kecil di rumah ini pun ia hanya bertemu sebentar saat turun untuk makan siang. Menurut Kiara, gadis itu terlalu pendiam dan terlalu penurut. Lebih mirip robot dari pada anak kecil. Diam-diam ia mengamati bagaimana si suster lebih sering berkaca dan menjaga penampilan dari pada menyuapi makan Orley. Tidak tega melihat bocah sekecil itu duduk ketakutan di depan susternya sendiri tapi ia tidak punya keberanian untuk menegur. Selain bukan urusannya juga karena sikap si suster yang berbeda kalau ada orang lain. Terutama di hadapan Nina. “Orley, Cantik. Maem yang banyak, biar cepat gede!” Kiki akan melayani Orley makan dengan sungguh-sungguh kalau ada Nina atau pelayan lain. Selebihnya hanya terdiam tidak peduli, sibuk dengan kaca atau ponselnya. Saat Orley tidur siang, Kiki akan ke atas untuk menyerahkan pakaian kotor pada Kiara. “Cuci yang bersih!” Kiki melemparkan dua pasang kaos kaki dan rok milik Orley ke atas bak cuci di depan Kiara yang sedang mengucek kemeja. “Lo kalau kerja yang rajin dikit napa? Kemarin gue lihat ada noda di baju Orley.” Kiara meraih kaos kaki, mengambil ember terpisah dan merendamnya. “Baju yang mana?” “Mana lagi? Baju putihlah!” “Kemarin Orley nggak pakai baju putih.” “Dua hari lalu!” “Kemarin Orley pakai baju merah, biru, sama setelan denim. Dua hari lalu perasaan kaos sama blus cantik kembang-kembang. Kagak ada warna putih.” Bantahan Kiara membuat Kiki melotot kesal. “Bantah terus lo, ya? Merasa hebat karena selalu disapa Pak Emilio? Asal lo tahu Pak Emilio itu ramah sama semua pelayan di sini. Nggak cuma sama lo. Jangan geer, deh!” Kiara tetap mencuci dengan tenang dan tidak mengindahkan omelan Kiki. Gadis ini sedang kalah saing, merasa paling hebat, dan ingin merendahkannya. Persis seperti saudara tirinya Yoel. Bedanya Yoel itu gadis kaya dan manja, sedangkan Kiki hanya pelayan biasa tapi merasa kaya. Lebih baik kalau tidak berurusan dengan keduanya. Membuang waktunya yang berharga hanya untuk berdebat. Melihat Kiara hanya terdiam, Kiki merasa sangat kesal. “Heh, budeg lo ye!” Kiara dengan sengaja mencipratkan air dan berteriak. “Aduh, mata gue perih kena busa.” “Dasar!” Kiki berderap menjauh, menuruni tangga sambil mengomel. Kiara mendesah, menenangkan diri dengan bersenandung. Ia tidak akan membairkan kecemburuan Kiki mempengaruhi posisi kerjanya di rumah ini. Tanpa gaji dari Emilio, mamanya tidak akan bisa makan dan beli obat. Ia tidak sanggup lagi menahan makian dan hinaan dari papanya dan Winda hanya karena uang. Lebih baik banting tulang, demi keberlangsungan hidup dari pada menjadi bahan ejekan. Sering kali ia berpikir, seandainya waktu bisa diputar ulang akan lebih menyenangkan kalau Winda tidak muncul dalam kehidupannya dan merenggut semua kebahagiaan. Pasti ia menjalani hari dengan tenang, sekolah di tempat yang bagus, punya banyak barang branded serta kemana-mana membawa mobil seperti Yoel. Sayangnya, waktu tidak pernah bisa diputar ulang. Jeda istirahat sebelum membersihkan kamar, Kiara mengambil wafer dan makan di kursi kecil dekat tangga pendek menuju lantai tiga. Ada teriakan di bawah, sepertinya Kiki sedang mencari Orley. Entah kemana perginya bocah itu sampai satu rumah mencarinya. Kiara merobek bungkus wafer dan memakannya, aroma cokelat menguar di udara. Ia menoleh saat terdengar suara isakan lirih. Penasaran, ia mencari arah suara dan menemukan Orley berada di bawah tangga. Meringkuk dengan wajah menunduk. “Orley, kamu ngapaian di sini? Kiki cari kamu.” Orley menggeleng cepat tanpa kata, wajahnya menunjukkan ketakutan dan rasa panik. Bangkit untuk lari tapi kepalanya terantuk tangga dan kembali duduk sambil menangis. “Aduh, Sayang. Pasti sakit. Udah-udah, nggak apa-apa kamu di sini. Aku nggak akan kasih tahu Kiki.” Dengan lembut Kiara mengusap-usap kepala Orley yang terantuk. Menunggu gadis kecil itu tenang sebelum duduk di sampingnya dan memberikan wafer cokelat. “Mau nggak?” Orley menatap penuh harap tapi tidak ada kata-kata keluar. “Nggak apa-apa sesekali makan wafer. Enak lagi. Mau?” Orley mengambil malu-malu dan menggigitnya. Di bawah suara Kiki terdengar nyaring memanggil nama Orley. Sedangkan gadis kecil yang dicari sedang mengunyah wafer. “Kamu nggak mau ketemu Kiki?” tanya Kiara. Orley terbelalak lalu mengangguk. “Oke, aku akan menyembunyikanmu di sini. Masih banyak wafer yang harus kita habiskan.” Terdengar langkah kaki menaiki tangga. Kiara bergegas bangkit, menutupi tubuh Orley dengan ember air dan berdiri merapikan jemuran. Kiki muncul dengan wajah panik dan keringat menetes ke wajah dan tubuh. “Heh, lo lihat Orley nggak?” Kiara menatap sekilas lalu menggeleng. “Jawab! Lo lihat Orley kagak?” “Emangnya lo pernah bawa Orley kemari? Nggak mungkin dia naik ke sini kalau nggak pernah datang.” Kiki melotot kesal. “Dasar! Bilang dari tadi kek. Orleeeey, Sayang! Kamu di mana Orleey? Udahan dong main petak umpetnya!” Setelah Kiki turun, Kiara menghampiri Orley dan menyodorkan air putih di botol. “Minum dulu biar nggak seret.” Orley meneguk air dalam jumlah besar dan kembali makan wafer dengan lahap. Kiara hanya menyentuh satu batang saja, sisanya dihabiskan oleh Orley. Ia tidak masalah, karena menyenangkan melihat gadis kecil makan dengan lahap. Kenapa Orley bisa terlihat sangat kelaparan? Ada banyak makanan di atas meja dan juga cemilan, kenapa Orley seolah belum pernah makan wafer. “Terima kasih.” Ucapan terima kasih yang lirih dari Orley membuat Kiara terkejut. “Waah, ternyata kamu bisa ngomong. Keren, Orley.” Orley mengusap kaos dan rok yang basah oleh air dan keringat. Kiara mengambil sepasang baju tidur yang baru saja kering dan diseterika milik Orley. “Sini, Kakak bantu ganti bajunya. Yang ini basah.” Orley menggeleng, tapi Kiara memaksa. “Baju basah nggak boleh dipakai, Sayang. Nanti masuk angin.” Kiara dengan lembut membuka kaos dan rok Orley. Terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Ada bilur merah kebiruan di bahu, punggung, dan paling banyak area pinggang. Ia meraba dan memeriksi seluruh tubuh Orley dengan jari gemetar. “Sayang, apa ini? Kiki memukulmu?” Orley terdiam, tetap menunduk dengan wajah takut. “Bukan memukul, ini mencubit.” Kiara meraih dagu Orley dan menatap matanya lekat-lekat. “Jawab Kakak, apa benar Kiki mencubitmu?” Awalnya Orley tidak menjawab, matanya berkaca-kaca dan terlihat sangat sedih. Akhirnya, sebuah anggukan lemah membuat Kiara memeluknya erat. “Ya Tuhan, perempuan kejam itu ternyata menyiksamu. Orleey.” Selesai mengganti pakaian Orley, Kiki bangkit. Menggendong gadis kecil itu di pinggang dan membawanya turun. Orley memberontak tapi Kiara berusaha menenangkannya. “Tenang, Sayang. Ada kakak di sini. Perempuan jahat itu harus dihukum!” Kiara mengusap rambut Orley dengan lembut, berusaha untuk tidak menyentuh tubuhnya yang penuh luka karena takut menyakiti. Tiba di ruang tengah, semua pelayan berkumpul di sana, termasuk Nina yang sedang marah. “Kalian ini nggak becus kerja. Cari anak kecil aja nggak ketemu!” Saat melihat Kiara muncul dengan Orley di gendongan, Kiki menjerit. “Orleeey, syukurlah kamu ketemu, Nak. Bikin aku kuatir saja.” Nina mendekati Kiara. “Kenapa kamu diam saja padahal Orley ada di atas.” Kiki mengulurkan tangan ingin meraih Orley tapi Kiara menepisnya. “Jangan pegang!” “Hei, apa-apan lo. Sini, kasih Orley ke aku.” “Gue bilang jangan pegang-pegang!” Orley mengalungkan tangannya yang mungil di leher Kiara. Menyembunyikan wajah di lekukan bahu. Nina mendekat, bertanya heran. “Kiara, kamu kenapa? Berikan Orley pada Kiki.” “Nggak! Bu Nina nggak tahu apa yang dilakukan perempuan busuk ini pada Orley. Dia menyiksa Orley, Bu!” “Apa katamu?” “Bohong! Fitnah. Aku nggak gitu. Kiara, lo jangan macam-macam. Bilang aja lo iri dan pingin gantiin posisi gue di rumah ini. Bener 'kan?” teriak Kiki histeris. Mengulurkan tangan untuk merebut Orley. “Sini, balikin Orley!” “Perempuan iblis! Jangan coba-coba sentuh Orley. Bisa-bisanya lo cubit Orley sampai seluruh badannya biru-biru. Lo cubit di bagian badan yang nggak kelihatan dari Iuar. Hati lo terbuat dari apa? Tega sama anak kecil!” Nina terdiam sesaat, menatap Kiki yang menggeleng panik lalu pada Orley yang memeluk Kiara dengan erat. Maju ke arah Kiara dan menarik kaos Orley ke atas. “Ya Tuhan—” Nina seketika shock, melihat apa yang terjadi. “Lebih banyak lagi di pinggang, Bu. Perempuan j*****m ini harus dipenjara!” teriak Kiara dengan emosi. “Nggak, itu bukan aku, itu ka—rena Orley nakal. Su—ka lari-lari dan jatuh,” ucap Kiki gugup. “Siapa yang ingin kamu bohongi, Kiki.” Emilio muncul, bertanya penuh dengan kemarahan dan ancaman. “Kalau terbukti kamu menyiksa anakku, jangan harap kamu bisa lolos begitu saja dari rumah ini!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN