Malam ini sebenarnya Emilio ada rapat, tapi panggilan dari Nina membuatnya bergegas pulang. Anaknya sudah berjam-jam tidak ditemukan, hilang entah kemana. Seluruh pelayan sudah mencari ke sekeliling rumah tapi tidak ada jejak. Emilio makin panik saat mendengar sayup-sayup tangisan Kiki, si pengasuh anaknya. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa gadis sekecil Orley hilang begitu saja tanpa ada yang tahu.
“Batalkan semua pertemua hari ini. Aku harus pulang sekarang,” perintah Emilio pada Ricko.
“Pak, terjadi sesuatu?” tanya si sekretaris.
“Orley hilang, satu rumah sedang panik.”
“Ya Tuhan.”
Selesai mengemas tas, Emilio bergegas keluar dari ruangannya. Saat di lobi, teleponnya berdering. Menatap Iayar ponsel di tangan dan mengeluh dalam hati. Setelah Meliana yang datang berkunjung, kini mantan mertuanya yang menelepon. Ia sedang kalut dan tidak ingin menjawab tapi ponsel tidak berhenti berdering.
“Iya, Ma.”
Suara mantan mertuanya yang bernama Diah terdengar dari seberang telepon. “Emilio, apa kabar, Nak?”
“Kabar baik, Ma.”
“Syukurlah. Bagaimana kabar cucu mama?”
“Orley baik-baik juga, Ma.”
“Kapan kalian main? Bulan depan papa ulang tahun, katanya kangen pingin ketemu cucu. Bisa kamu bawa Orley datang?”
“Baiklah, Ma. Berikan saja tanggal pestanya. Nanti aku kosongkan jadwal.”
“Nanti mama atur dulu dengan Meliana. Ngomong-ngomong, sesekali ajak adikmu itu jalan-jalan. Meliana sangat suka sama anak-anak, terutama dengan Orley.”
Emilio masuk ke dalam mobil, duduk di belakang kemudi dan memakai sabuk pengaman. Memindahkan ponsel ke telinga kiri dan menjepitnya di bahu.
“Maa, bisa kita omongin masalah ini nanti aja. Aku harus buru-buru.”
“Oh, ya, lupa kalau masih jam kerja. Mama tungguh kabar kamu, ya? Salam untuk Orley.”
Emilio mematikan sambungan dengan pikiran berkecamuk. Sejujurnya ia tidak tertarik untuk berkumpul bersama keluarga besar almarhum istrinya. Ada banyak masalah yang terjadi dari saat istrinya masih hidup. Meliani adalah perempuan lembut tapi juga giat dalam bekerja. Bersama dirinya, membangun rumah tangga bahagia. Saat hamil, keluarga Meliani menginginkan cucu laki-laki. Alasannya sebagai kebanggaan keluarga.
Emilio masih tidak percaya dijaman sekarang orang masih membedakan gender. Ternyata saat di USG dan bayinya perempuan, mertua laki-lakinya menunjukkan kekecewaan mendalam.
“Aku punya dua anak perempuan, memangnya kalian nggak bisa ngasih aku cucu laki-laki?”
Kekecewaan itulah yang mendasari mereka tidak bisa menerima Orley sepenuhnya, bahkan setelah menjadi piatu. Setahun belakangan Meliana sangat aktif merayunya, entah apa yang diinginkan oleh adik iparnya selain ingin dinikahi. Emilio tidak berminat kembali pada keluarga itu. Tidak ingin anaknya menderita perbedaan perlakuan hanya karena berkelamin perempuan.
Tiba di rumah, ia mendengar pertengkaran di ruang tengah. Mengernyit heran karena para pelayan justru berdebat di saat anaknya hilang. Emilio melangkah tanpa suara dan melihat Orley meringkuk di pelukan Kiara. Menghindari ajakan pengasuhnya.
“Bisa-bisanya lo ngumpetin Orley? Gila lo, ya!” teriak Kiki.
Kiara mendesis kesal. “Ssst, ada anak kecil. Bisa-bisanya ngumpat sembarangan.”
“Lepasin Orley.”
“Gue bilang jangan pegang-pegang!”
Kiara mempererat gendongannya pada tubuh Orley yang mungil. Seolah takut kalau anak kecil yang rapuh ini akan disakiti. Menatap Kiki penuh kebencian karena sudah menyiksa anak kecil. Meskipun tidak pernah suka dengan sikap Kiki yang kurang ajar, tapi Kiara tidak pernah mempermasalahkannya. Sesama pelayan, apa salahnya saling menjaga dan berkerja sama. Tapi ternyata Kiki memang sebusuk ucapannya.
“Kiara, kamu kenapa? Berikan Orley pada Kiki.” Nina mendekat, bertanya dengan penuh rasa heran.
“Kamu tahu nggak dari tadi kami cari-cari Orley. Kenapa kamu diam saja padahal Orley ada sama kamu?”
“Karena dia memang niat menculik, Bu!” sela Kiki dengan nyaring.
Kiara mendengkus keras mendengar tuduhan Kiki. “Apaan, sih. Nggak masuk akal.”
“Kalau gitu kenapa kamu nggak serahin Orley?” tanya Nina.
Kiara kali ini menatap Nina lekat-lekat dan menggeleng perlahan. “Nggak! Karena Bu Nina nggak tahu apa yang dilakukan perempuan busuk ini pada Orley. Dia menyiksa Orley, Bu!”
“Apa katamu? Siapa yang menyiksa Orley?”
“Bohong! Fitnah! Aku nggak gitu. Kiara, lo jangan macam-macam. Bilang aja lo iri dan pingin gantiin posisi gue di rumah ini. Bener ’kan?” sergah Kiki histeris. Tidak memberikan kesempatan pada Kiara untuk menjelaskan semua. Kiki mengulurkan tangan untuk merebut Orley dari pelukan Kiara. “Sini, balikin Orley!”
Kiara menghindar, menutupi kepala Orley dengan satu tangan. “Perempuan iblis! Jangan coba-coba sentuh Orley. Bisa-bisanya lo cubit Orley sampai seluruh badannya biru-biru. Lo cubit di bagian badan yang nggak kelihatan dari luar. Hati lo terbuat dari apa? Tega sama anak kecil!”
Nina terdiam sesaat, menatap Kiki yang menggeleng panik lalu pada Orley yang memeluk Kiara dengan erat. “Kiara? Kamu yakin?” tanyanya.
Kiara mengangguk. “Bu Nina bisa periksa sendiri badan Orley.”
Kiki terbelalak ngeri saat Nina mendekati Kiara. Kali ini tidak ada penolakan dari Kiara. Nina menarik kaos Orley ke atas dan melihat bilur-bilur di beberapa bagian tubuh.
“Ya Tuhan—” Nina seketika shock, melihat apa yang terjadi, mundur dan menutup mulut karena ngeri.
“Lebih banyak lagi di pinggang, Bu. Perempuan j*****m ini harus dipenjara!” teriak Kiara dengan emosi. “Orley ketakutan, bersembunyi di atas dan juga dalam keadaan lapar. Kikiiii, apa yang ada di otak lo sampai tega nyiksa bocah nggak berdosa ini?”
“Nggak, itu bukan aku, itu ka—rena Orley nakal. Su—ka lari-lari dan jatuh,” ucap Kiki gugup. Meremas kedua tangan di depan tubuh. “Bukan nggak nga—sih makan. Ta—pi Orley susah makan.”
“Kata siapa? Di atas Orley makan wafer sampai lahap. Cemilan dia banyak, kenapa sampai begitu? Karena makanannya lo habisin!”
“Kiaraaa, sumpah. Bu—kan aku. Orley yang su—lit diasuh.”
“Siapa yang ingin kamu bohongi, Kiki.” Emilio muncul, bertanya penuh dengan kemarahan dan ancaman. “Kalau terbukti kamu menyiksa anakku, jangan harap kamu bisa lolos begitu saja dari rumah ini!”
Sedari tadi terdiam di dekat pintu, ia ingin mendengar cerita secara keseluruhan. Setelah mendengar penjelasan Kiara, kemarahan Emilio berkobar. Ia mendekati Kiara lalu mengusap rambut Orley dengan lembut.
“Sayang, kamu ikut Bu Nina ke kamar untuk periksa badan.”
Orley menatap sang papa dengan matanya yang ketakutan. “Maunya sama Kakak Kiara.”
“Oh, baiklah. Kamu sama Kakak Kiara dan Bu Nina ke kamar.”
“Iya, Papi.”
Emilio menatap Kiara lekat-lekat. “Periksa dan foto, jangan sampai ada yang ketinggalan. Kamu bantu Orley ganti pakaian, ikut aku ke rumah sakit untuk visum.”
Kiara mengangguk. “Baik, Pak.”
Emilio menatap kepala rumah tangganya. “Bu Nina.”
Nina memejam lalu mengangguk. “Semua ini salah saya, Pak. Karena kurang memperhatikan. Saya siap menanggung hukuman karena tidak becus bekerja.”
“Kita akan bicarakan hukumanmu nanti. Tolong dulu, Orley.”
“Iya, Pak.” Nina menghampiri Kiara dan membimbingnya menuju kamar Orley. Emilio mengalihkan pandangan pada Kiki yang bersimpuh gemetar di lantai. Ia menarik kursi dan duduk sambil menyilangkan kaki dan berteriak memberi perintah. “Semua pelayan dan penjaga kumpul di sini. Kunci gerbang!”
Emilio menunggu Kiara dan Nina selesai memeriksa anaknya, menatap Kiki tajam dengan pandangan membunuh. Langkah kaki terdengar dari berbagai arah dan tak lama semua pelayan serta penjaga keamanan berdiri tegap di dekat dinding. Ia menghela napas panjang, berusaha untuk tetap tenang setelah tahu apa yang terjadi dengan anaknya.
Dalam hal ini bukan hanya Nina yang merasa bersalah, ia pun sama. Sebagai orang tua tidak peka dan tidak cukup perhatian dengan anak sendiri. Terlalu sibuk bekerja sampai lupa dengan keadaan darah dagingnya sendiri.
Kiki menggigil di tempatnya bersimpuh, tidak berani membalas tatapan Emilio. Keduanya tangannya saling bertaut di depan tubuh dengan mata sembab dan tubuh berkeringat. Saat ini Emilio terlihat sangat mengerikan karena marah. Kiki hanya berharap bisa keluar dari sini hidup-hidup.
“Aku sengaja mengumpulkan kalian di sini. Untuk memberitahu apa yang akan terjadi kalau sampai kalian berani menyakiti anakku. Seperti halnya perempuan laknat ini. Aku memberinya makan, tempat tinggal, dan gaji. Yang aku inginkan dia menjaga anakku baik-baik tapi malah mencelakainya. Kalau sampai terbukti, aku nggak
akan ngasih kamu kesempatan untuk lolos Kiki.”
Kiki menggeleng Iemah dan ketakutan. “Pak, sa—ya, itu—”
“Tutup mulut! Nggak ada hak kamu bicara di sini!”
Para pelayan dan penjaga yang berkumpul semuanya menunduk. Ketakutan dengan apa yang akan terjadi. Tidak ada yang berani bersuara apalagi membantah. Dalam hati memaki perbuatan Kiki. Gara-gara gadis itu semua orang jadi terkena imbasnya.
Nina dan Kiara muncul. Orley sudah berpakaian rapi dan sama seperti tadi, meringkuk dalam gendongan Kiara. Emilio mengkat wajah, Nina memberi laporan dengan wajah murung.
“Pak, banyak sekali bilur bekas cubitan di badan Orley.”
Emilio memejam, mengepalkan dan ingin mengayunkannya sekeras mungkin ke tubuh dan wajah Kiki. Agar Kiki tahu bagaimana rasanya disakiti.
“Kiki, aku nggak akan membiarkanmu lepas. Biarkan hukum yang mengadilimu. Sudah semestinya kamu membusuk di penjara!”
“Paaak, saya minta maaf. Saya mohon ampun!” Kiki menelungkup di atas lantai, meraung dan menangis. Meminta maaf bertubi-tubi pada Emilio.
Jijik dengan Kiki, Emilio memberi perintah pada penjaga gerbang. “Kurung perempuan itu di kamar atas. Tidak ada yang boleh mengeluarkannya sampai polisi datang.”
“Baik, Pak!”
Lengan Kiki ditarik dua penjaga, tidak peduli meski meraung dan memohon ampun, hati Emilio sudah membeku melihatnya. Ia merangkul bahu Kiara dan membimbingnya ke garasi.
“Bu Nina, aku akan bawa Kiara dan Orley ke rumah sakit.”
Nina memangguk. “Iya, Pak.”
“Awasi Kiki.”
“Baik, Pak!”
Nina berderap ke atas, mengikuti langkah dua pengawal yang membawa Kiki. Berniat menebus sedikit kelalainnya dengan mengawasi Kiki agar tidak kabur.
“Kiara, kita bawa Orley ke rumah sakit.”
Kiara mengangguk tanpa kata, menggendong Orley di pinggang dengan lengan Emilio melingkari bahunya. Ia tidak peduli dengan apa pun saat ini, yang terpenting adalah membawa Orley ke rumah sakit. Bilur-bilur yang ditemukan di sekujur tubuh Orley membuat Kiara tercekik dalam rasa sedih. Tidak mengerti ada seorang perempuan yang tega menyakiti anak kecil yang lucu, pendiam, dan menggemaskan.