Selama pemeriksaan di rumah sakit, Orley tidak mau turun dari gendongan Kiara. Menolak juga saat Emilio ingin menggendongnya karena takut Kiara kelelahan. Nyatanya Orley yang masih trauma benar-benar ketakutan.
“Maafkan Orley, Kiara. Sepertinya dia nyaman sama kamu.”
Kiara tersenyum simpul. “Nggak apa-apa, Pak. Biar saya gendong.”
Kiara tidak merasa kelelahan menggendong Orley. Meskipun tubuh Orley sedikit berat tapi rasa iba di hatinya mengalahkan kelelahan itu. Ia sendiri seakan tidak ingin melepaskan gadis kecil ini dari pelukannya. Ingin menenangkan Orley kalau semuanya baik-baik saja.
Seorang suster menghampiri mereka dan berujar dengan senyum cemerlang. “Papa, Mama, dan Orley dipersilakan masuk ke ruangan dokter.”
Kiara tercengang, ingin mengoreksi panggilan suster kalau dirinya bukan mama dari Orley tapi Emilio sudah menjawab lebih dulu.
“Ayo, kita masuk, Mami.”
Kiara melongo, menatap Emilio dengan bingung. Ia merasa salah dengar karena Emilio memanggilnya 'mami' siapa yang menjadi mami di sini? Ia hanya pelayan tukang cuci, bukan mama apalagi mami.
Emilio yang melihat kebingungan Kiara menunduk dan berbisik lembut. “Nggak usah bicara banyak-banyak, Mami. Biarkan saja papi yang bicara. Mami cukup mendengarkan saja.”
“Paak, tolonglah,” rintih Kiara.
“Kenapa, Mi? Berat gendong Orley? Mau gantian?”
Kiara mendesah lalu mendesiskan protes. “Pak, apa-apaan, sih? Malu tahu?”
“Ya Tuhan, kamu malu punya suami seperti aku, Kiara?” ucap Emilio dengan mimik terluka.
“Bukan begitu, Pak. Tapi—”
“Oh, kamu nggak suka sama duda?”
Kiara menggertakkan gigi. “Pak, kalau godain terus saya gigit nih.”
“Nggak apa-apa, gigit aja di bagian mana yang kamu suka. Tapi nanti setelah urusan Orley selesai. Oke, Mami?” Emilio membuka pintu ruang dokter dan tersenyum. “Masuk, Mi.”
Kiara berusaha untuk tetap tenang, meskipun sedikit bingung dengan sikap Emilio. Bisa-bisanya di saat genting begini malah bergurau. Namun, semua tawa dan senyum Emilio lenyap begitu berhadapan dengan dokter. Mereka menyimak penjelas dari dokter, membawa surat hasil virum dan Emilio langsung menghubungi pengacara.
“Aku berharap, begitu sampai di rumah. Perempuan setan itu sudah tidak ada!”
Perintah Emilio dijalankan dengan cepat oleh pengacara. Setelah menutup telepon, Emilio bertanya pada anaknya. “Sayang, mau makan es krim dan kentang goreng?”
Orley mengangkat wajah dari bahu Kiara, menjawab dengan lirih. “Mau, Papi.”
“Kita makan es krim dan kentang yang banyak, ya? Ajak Kakak Kiara juga.”
Kiara tidak kuasa menolak keinginan Orley untuk makan es krim. Anak kecil ini memang membutuhkan banyak perhatian dan sedikit penghiburan setelah melalui peristiwa yang traumatis. Alih-alih mengajak ke restoran fast food Emilio justru membawa mereka ke restoran yang fancy. Tersedia beragam menu makanan termasuk
es krim dan kentang goreng.
“Kiara, waktunya makan malam. Kamu boleh pesan apa saja yang kamu mau.”
Kiara kebingungan menatap menu. “Bingung mau makan apa, Pak.”
“Mi atau nasi?”
“Keduanya boleh.”
“Kalau begitu kita pesan nasi bistik buat kamu. Buat Orley selain kentang dan es krim apa, ya?”
Kiara bertanya lembut pada Orley yang kini duduk di sampingnya. “Sayang, mau makan mi? Nanti kakak suapin.”
Orley mengangguk. “Mau.”
“Kalau begitu untuk Orley kita pesan mi ayam spesial saja.”
Restoran dipenuhi pengunjung yang ingin menikmati makan malam. Kiara duduk kikuk di samping Orley. Baru pertama kalinya ia berada di restoran dengan Emilio dan sedikit membuatnya canggung. Mereka tidak akrab sebelumnya, baru dua Minggu Kiara bekerja di rumah Emilio dan dibawa keluar makan malam. Kalau bukan karena Orley, tidak akan ada kesempatan seperti ini. Kiara diam-diam mengamati Emilio yang sedang menerima telepon. Sepertinya dari pengacara yang mengurus masalah Kiki. Menurut yang didengarnya, sepertinya Kiki sudah berhasil dibawa ke polisi. Orang kaya kalau bertindak memang sangat cepat.
“Kiara, jangan menatapku begitu? Rasanya aku jadi ge-er.”
Kiara mengedip bingung. “Pak, kebetulan saja Pak Emilio duduk di depan saya.”
“Jangan berkilah, Kiara. Aku tahu kalau aku tampan dan bikin kamu terpana 'kan?” Emilio mengedipkan sebelah mata dan terpingka-pingkal saat melihat wajah Kiki bersemu merah. “Nggak apa-apa loh kalau kamu mau jatuh cinta sama aku. Swear, aku senang-senang aja.”
Kiara menghela napas panjang, merasa sudah tertipu dengan penampilan Emilio. Laki-laki yang tadinya ia pikir sangat pendiam dan cool, ternyata justru sebaliknya. Punya selera humor receh yang membuatnya tercengang. Kiara mengusap rambut Orley untuk mengalihkan perhatiannya dari Emilio. Laki-Iaki tampan yang sedang tertawa, tidak aman untuk jantung.
Pramusaji mengantarkan pesanan, Kiara mengambil garpu dan mengaduk mie ayam milik Orley. Setelah sedikit mendingin, mengambil beberapa dan menyuapkan ke mulut Orley.
“Makan yang banyak, Sayang. Baru nanti makan es krim.”
Orley mengangguk, pipinya menggembung karena sedang mengunyah. Emilio mengamati anaknya yang sedang makan, baru kali ini melihat Orley makan dengan lahap. Biasanya Kiki selalu mengeluh anaknya sulit makan. Rupanya bukan Orley yang tidak suka makan, tapi Kiki yang tidak telaten merawat dan menyayangi.
“Kiara, aku ingin minta tolong satu hal sama kamu.”
Kiara mengangkat wajah dari piringnya. Menatap Emilio sambil mengunyah. “Iya, Pak?”
“Bisakah kamu malam ini menginap di rumah? Menemani Orley? Aku takut Orley mimpi buruk.”
Kiara terdiam, menguyah daging sambil berpikir perlahan. “Di rumah Mama sendirian, Pak. Saya nggak tega kalau Mama nggak ada teman saat malam. Tapi, saya juga kasihan sama Orley.”
Emilio mengangguk, mengaduk makanan di piringnya. “Berarti, kita akan cari cara gimana biar mamamu nggak sendirian dan kamu bisa temani Orley, paling nggak untuk malam ini.”
“Pak, saya nggak ada baju ganti.”
“Soal kecil itu. Kita bisa mampir ke toko untuk membeli pakaian buatmu.”
“Tapi—”
“Biar aku pikiran jalan keluar dulu. Kamu cukup makan dengan tenang dan suapi Orley sampai kenyang.”
Kiara tidak tahu jalan keluar bagaimana yang sedang dipikirkan Emilio. Ia makan nasi bistik dengan daging yang super lembut, mengunyah perlahan dan menikmati sensasi menyenangkan di mulutnya. Sembari menyuapi Orley dan mengajak gadis itu mengobrol. Selesai makan berat, mereka makan kudapan berupa es krim dan kentang
goreng. Saat pulang, Emilio benar-benar mengajak Kiara ke toko pakaian.
“Pilih beberapa yang cocok untukmu, Kiara. Baju tidur, baju harian, jangan cuma satu setel. Ah, itu juga dalem perlu beli juga.”
Kiara merintih dalam hati. Berhadapan dengan Emilio yang seorang duda memang membuat hatinya jungkir balik tidak karuan. Kata-kata Emilio tentang pakaian dalam, membuat dua pramuniaga perempuan tersenyum malu-malu.
“Kakak, suaminya tampan sekali.”
“Baik dan royal.”
Kiara menggeleng. “Bukan, dia itu—”
“Mami, pilih baju yang tenang. Aku bawa Orley ke depan.”
Kiara menggertakan gigi, pada candaan Emilio yang menurutnya sangat tidak lucu. Dua kali laki-laki itu memanggilnya ‘mami' dan memberi kesan seolah-olah mereka berpasangan.
“Oh, jadi aku istrimu? Oke, aku akan kuras uangmu, Pak Dudaa!”
Kiara bertekad dalam hati, mengambil beberapa setel pakaian sekaligus. Saat melihat harga ia tercengang. Terlalu mahal untuk ukuran baju tidur. Ia berniat mengembalikan semua tapi Emilio melihat apa yang diperbuatnya.
“Tolong ambil semua yang ada di tangan istriku dan totalkan!”
Kiara merasa kepalanya berdenyut menyakitkan. Ia hanya menolong Orley dari cengkeraman Kiki dan bukan menyelamatkan bumi, kenapa dalam satu hari ini mendadak mendapatkan suami? Tidak tanggung-tanggung, seorang duda genit yang mudah melontarkan candaan. Ia takut kalau hatinya terbawa perasana dan sakit kerena terlalu berharap.
“Aku sudah memberi perintah pada Nina, untuk mengirim satu pelayan ke rumahmu. Pelayan itu memang akrab sama mamamu dan akan menjadi teman tidur mamamu malam ini.”
“Berarti malam ini saya tidur bersama Orley?”
“Benar sekali, tapi kalau kamu merasa nggak nyaman tidur sama Orley. Bisa pindah ke ranjangku. Lebih lebar, lebih luas, dan lebih nyaman. Apalagi kalau tidurnya berpelukan.”
“Pak, jangan ngomong gitu?”
“Kenapa?”
“Karena saya masih sendiri dan kita bukan suami istri!”
Lagu-Iagi Emilio tergelak melihat Kiara menunduk sambil menutup muka. Entah kenapa ia sangat suka menggoda Kiara. Gadis yang duduk sambil memangku Orley, bukan tipe orang yang suka mengejar sesuatu yang dianggap gemerlap. Kiara sepertinya tidak terlalu silau dengan kekayaan yang dimiliknya. Gadis lain akan berusaha menggodanya, mendekati dan merayunya dengan berbagai cara untuk mendapatkan perhatiannya. Baru kali ini ada yang tidak tersentuh dengan godaannya.
Emilio melirik Orley yang tertidur di pangkuan Kiara. Sepanjang jalan, anaknya sangat tenang dan sama sekali tidak menangis. Melihat Orley gembira bersama Kiara, Emilio akan menggunakan segala upaya untuk membuat anaknya bahagia.
“Kiara, apa kamu mau ganti pekerjaan?” tanya Emilio saat kendaraan melaju kencang dijalan raya.
“Saya mau diganti di bagian apa, Pak?”
“Sekarang posisimu di rumah sebagai apa?”
“Tukang cuci dan gosok.”
“Aku akan minta Nina cari orang lain untuk posisi itu. Mulai malam ini kamu jaga Orley. Gaji akan ikut menyesuaikan. Semakin kamu membuat anakku bahagia, semakin besar bonus untukmu.”
Mata Kiara berbinar saat mendengar perkataan Emilio. “Benar, Pak? Saya bisa naik gaji?”
Emilio mengangguk. “Tentu saja, gajimu akan cukup untuk kamu kembali kuliah dan membiayai hidup mamamu.”
“Asyik. Saya mau, Pak. Dengan senang hati akan menjaga dan merawat Orley. Saya berjanji akan melakukannya dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa, Pak.”
“Kalau kamu kerja bagus, ada bonus besar menantimu. Ingin tahu apa bonusnya?”
Kiara menatap Emilio penuh harap. “Motor atau kulkas, Pak?”
“Bukan, bonus yang kamu dapat jauh lebih berharga dari barang-barang itu.”
“Wah, apa perhiasan?”
“Bukan juga.”
“Terus apaan, Pak?”
“Aku! Kiara, kamu merawat anak, bonusnya adalah sang papa yang duda ini. Bukankah ini penawaran yang bagus?”
Lagi-lagi Kiara dibuat tidak berdaya dengan kata-kata Emilio. Laki-laki itu mengucapkan rayuan seakan itu adalah hal yang lumrah, sedangkan bagi Kiara justru sebaliknya. Emilio tertawa di balik kemudi dengan Kiara menggumam pelan.
“Dasar duda genit!”