BAB 8

1534 Kata
Yoel keluar dari mobil, perjalanan panjang dari kampus, ke rumah teman lalu pulang membuatnya kelelahan. Ia bergegas masuk, ingin segera mandi lalu tidur. Langkahnya terhenti saat melihat sang mama duduk melamun di ruang tengah menghadap televisi yang menyala. Entah apa yang ada dalam pikiran sang mama sampai melamun dengan pandangan kosong. Yoel menghenyakkan diri di samping sang mama dan mengerling. “Ma, kenapa melamun?” Winda menghela napas panjang. “Kamu udah pulang? Kenapa malam sekali?” “Oh, ke rumah Anita tadi. Kenapa Mama melamun? Ada apa? Masalah sama Papa?” “Ya, namanya juga rumah tangga. Masalah apa lagi kalau nggak sama pasangan. Mama heran sekali sama papamu itu, udah jelas-jelas perempuan itu penyakitan, burik lagi, masih aja perhatian.” Yoel mengibaskan rambut ke belakang. Mengamati kukunya yang baru saja dihias rapi dengan kuku palsu bunga-bunga. “Bukannya kemarin minta uang udah ditolak.” “Memang, tapi kamu tahu nggak kalau papamu malah beliin obat dan minta sopir ngirim ke rumah mereka. Kesal nggak kamujadi mama? Udah capek-capek ngelarang anaknya kemari, malah disamperin ke sana. Heran, apa yang ada di otak papamu itu.” “Masih cinta kali sama perempuan itu?” “Mana mungkin?” tukas Winda cepat. “Itu jelas nggak mungkin. Kalau memang masih cinta, papamu nggak akan ngebiarin perempuan itu hidup kekurangan! Lagian, dia juga istilahnya hanya mantan istri!” Yoel terdiam, mengamati sang mama. Pertikaian dan perseteruan antara istri pertama dan kedua seolah menjadi sandiwara yang tidak ada habisnya di keluarga ini. Ia ingat dari semenjak kecil, persaingan antara sang mama dan perempuan tua itu sudah dimulai, ditambah dengan kelahirannya dan Kiara yang tidak jauh beda. Kalau bukan karena kepintaran sang mama dalam mengambil hati papanya, sudah pasti mereka tidak akan menempati rumah ini. “Ma, perempuan tua itu sakit-sakitan. Mana mungkin masih ada tenaga untuk ngerayu Papa. Dibandingkan sama Mama yang masih muda dan cantik, jelas jauh sekali perbedaannya.” “Memang, kalau soal penampilan mama penuh percaya diri. Tapi nggak percaya sama perempuan tua itu dan anaknya. Menurutmu kita harus bagaimana, Yoel? Kita nggak bisa diam saja‘kan?” Yoel memikirkan perkataan sang mama. Memang benar tidak bisa diam saja menghadapi Kiara dan mamanya yang penyakitan itu. Mereka menggunakan penderitaan untuk menarik perhatian sang papa dan itu tidak bisa dibiarkan. Bagaimana bisa seorang mantan istri masih merusuhi suami yang sudah bahagia dengan istri baru? “Sepertinya yang harus kita kasih pelajaran itu Kiara. Percuma kalau sama mamanya” Winda menggeleng. “Nggak bisa. Mamanya juga harus kita kasih pelajaran. Kiara itu bebal, tempo hari datang dihajar sama papamu, tetap aja nggak ada kapoknya. Darah tinggi ngadepin dia itu.” “Maa, perempuan tua dan penyakitan gitu, mau diapain? Emangnya Mama bisa terima konsekuensi kalau sampai dia kena serangan jantung dan mati?” “Kamu benar juga. Repot urusannya kalau soal penyakit. Sialan mereka itu! Bikin hidup kita runyam aja. Mana bisnis papamu lagi menurun. Bisa-bisanya mereka ngerecokin kita melulu. Mama takut kalau jatah untuk kamu ke salon dan ke mall bakalan berkurang buat mereka!” Kali ini Yoel ikut merasa takut, kalau benar jatah belanjanya dikurangi. la tidak mau kalah saing dengan teman-temannya yang Iain. Mereka punya tas, sepatu, baju, atau barang elektronik terbaru, ia juga harus punya. Sebagai salah satu cewek paling populer di kampus, Yoel tidak akan membiarkan dirinya kalah. “Kiara itu sebenarnya bukan siapa-siapa, cuma gadis t***l yang kampungan. Di kampus, dia juga jadi bahan bulian karena meskipun otaknya pintar tapi gembel. Kalau bukan karena temannya yang selalu ngebela, udah dimasukin ke got dan diinjek-injek dia itu.” Winda bersedekap, otaknya berpikir keras. Tidak bisa diam saja menghadapi kelakukan suaminya. Jika terus menerus memberi bantuan, meskipun bibir mengatakan tidak ada lagi rasa cinta tapi nyatanya tetap perhatian. Winda mendesah, dari awal menikah dengan Limantara sampai sekarang, tidak pernah merasa tenang. Selalu ada ganjalan dalam dadanya, entah tentang Kiara atau pun Naura. Dengan susah payah bisa tinggal di rumah besar ini, ia tidak ingin Naura kembali kemari. “Yoel, kapan kamu |ibur?” “Kenapa, Ma? Mau kemana kita?” “Kemana Iagi? Ke rumah perempuan penyakitan itu. Kita akan labrak mereka, biar lebih tahu diri!” Yoel tersenyum, bangkit dari sofa dan menepuk-nepuk permukaan roknya. “Tentu saja, Mama. Begitu aku libur dan Papa lagi nggak ada, kita samperin rumah mereka. Kita kasih pelajaran biar lebih tahu diri. Orang sudah miskin, nggak tahu diri pula!” Winda mengangguk ke arah anaknya yang bicara dengan menggebu-gebu. Sama seperti dirinya, Yoel juga tidak suka dengan Naura dan Kiara. Kebencian memang harus ditanam dari dini. Biar keluarganya tahu, siapa istri sah dan penguasa di rumah ini. Selain dirinya, tidak boleh ada orang lain yang dipanggil Nyonya Limantara. *** Kiara yang tidak pernah mengasuh anak kecil, dibuat kebingungan bagaimana mengatasi Orley. Berbeda dengan Kiki yang pernah mendapatkan pelatihan untuk merawat anak, Kiara justru tidak punya. Mengandalkan insting dan kasih sayang dalam hatinya, ia mengajak Orley mengobrol. Berusaha membuat gadis kecil itu mau bercerita. Sangat sulit karena Orley sepertinya tidak terbiasa berceloteh. Padahal anak seusianya biasanya sangat/ cerewet. Kiara membantu Orley mandi, mengolesi kulitnya dengan salep, dan memberi segelas s**u. Ia melakukan semuanya berdasarkan kebiasaan Orley. Sedikit mengubah di bagian menjelang tidur. “Orley, mau dengar cerita? Kakak bacain dongeng mau?” Orley mengangguk, Kiara mengambil buku cerita dan duduk bersandar di sampingnya. Satu tangan membolak-balik buku, sedangkan tangan yang lain mengusap bahu Orley agar cepat pulas. Saat melihat mata Orley sudah tertutup sepenuhnya, Kiara menarik selimut hingga ke dagu. Ia berniat ke loteng mengambil beberapa barang yang tertinggal di sana. Saat turun mendapati Nina sedang duduk terpekur di ruang makan dengan mug berisi air hangat yang tidak tersentuh. “Bu Nina?” Nina tersenyum kecil, menunjuk kursi kosong di sebelahnya. “Duduklah sebentar. Orley sudah tidur?” Kiara menuruti perintah Nina, menarik kursi dan duduk dengan totebag di sampingnya. “Kenapa, Bu? Kelihatan murung?” Kiara bekerja belum lama, tidak terlalu akrab dengan Nina dan tidak pernah ada niat untuk terlalu dekat. Ia selalu berpikiran kalau bekerja di sini hanya sementara, tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Bertegur sapa dengan Nina pun hanya sekedarnya saja. Siapa sangka kini masalah Orley ada di depan mereka. “Tadi aku nengok Orley di kamarnya. Terlihat sangat polos dan pulas. Kiara, sepertinya dia nyaman bersamamu.” Nina memutar gelas di tangannya. “Selama ini aku merasa sudah bekerja dengan baik, mengatur semuanya sesuai dengan peraturan yang aku buat. Siapa sangka justru aku menjadi orang yang paling dibodohi oleh Kiki. Bayi majikanku disiksa tepat di bawah hidungku dan aku sama sekali nggak tahu? Malah kamu yang orang baru, bisa tahu lebih dulu.” “Bu, saya tahu karena kebetulan Orley pergi ke atas.” “Itu dia, kenapa Orley ke atas? Karena dia merasa di bawah nggak aman buat dia. Begini banyak orang nggak satu pun bisa bikin dia tentram. Kiki menganiaya, aku nggak cukup peduli, dan pelayan lain sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Padahal tugas utama kami adalah memastikan kebahagian Orley.” Kiara mendengarkan curahan hati Nina dengan bingung. Ia sendiri tidak berharap akan menerima pujian untuk hal yang menurutnya secara kebetulan terjadi padanya. “Aku berharap Pak Emilio menghukumku, memarahi dan memaki. Tapi nyatanya tidak. Pak Emilio justru memohon agar aku lebih perhatian lagi pada Orley. Pekerjaan di rumah ini bukan hal paling penting lagi sekarang.” Nina meraih jemari Kiara dan menggengamnya dengan lembut. “Kiara, aku minta tolong kerja samanya dalam mengasuh Orley. Mulai sekarang jangan segan-segan untuk bicara dan mengobrol denganku kalau ada masalah atau kamu butuh bantuan.” “Iya, Bu.” “Untuk sementara kamu satu ranjang dengan Orley. Pak Emilio sudah memintaku membeli ranjang lipat untukmu.” “Bu, saya lebih suka tidur di bawah. Boleh nggak jangan ranjang lipat tapi karpet bulu atau kasur lantai?” “Oh, ya sudah. Besok aku beliin kasur gulung saja.” Kiara tidak bisa tidur, di malam pertama menemani Orley. Anak perempuan yang ringkih dan polos, sepertinya sering mimpi buruk. Berkali-kali terbangun, menangis, dan berteriak. Kiara akan memeluk dan menenangkannya. Ia memeluk Orley dengan posisi setengah berbaring sambil mengusap-usap punggunya. “Sayangku, bobo yang manis. Nggak usah takut, ada kakak di sini.” Setengah mengantuk, Kiara menggumamkan penghiburan untuk Orley. Tanpa sadar kepalanya terkulai di bantal dalam posisi masih memeluk. Ia menggeliat, antara sadar dan tidak saat sepasang lengan yang kokoh membantu memperbaiki posisi. Dengan begitu bisa tertidur di atas bantal dalam posisi yang lebih nyaman sambil memeluk Orley. “Kenapa tidur sambil nyanyi? Kamu menghibur Orley? Gadis aneh.” Kiara tidak tahu kalau orang yang merapikan posisi tidurnya adalah Emilio. Terduduk di pinggir ranjang, ia mengusap rambut Orley dengan lembut. “Kamu mimpi buruk lagi, Sayang?” Orley tidak menjawab pertanyaan sang papa, memejam dengan napas yang berangsur normal. “Sekarang kamu punya orang yang akan selalu menjagamu selagi papa nggak bisa melakukannya.” Jemari Emilio berpindah dari Orley ke pipi Kiara. Gadis muda yang mungil dan nmenggemaskan, sama sekali tidak sexy seperti banyak perempuan yang sudah ditemuinya. Entah kenapa Emilio justru sangat menyukai Kiara. Pertama kalinya setelah sekian lama, Emilio menaruh hati pada seorang perempuan. Tadinya ia berpikir tidak akan jatuh cinta lagi setelah istrinya meninggal. Rupanya ia salah karena kini perhatiannya tertuju pada Kiara. “Aku akan membuatmu terpesona padaku, Kiara.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN