Kiara meminta ijin pada Nina untuk pulang sebentar, selain berpamitan pada ibunyajuga untuk mengambil barang-barang kebutuhannya. Ada laptop, buku-buku, dan baju ganti. Nina menginjinkan, akan menjaga Orley secara langsung sampai Kiara kembali. Orley yang tidak ingin ditinggal, menangis ingin ikut dan membuat Kiara
tidak tega meninggalkannya.
“Bagaimana kalau aku bawa saja, Bu. Rumahku nggak jauh dari sini, bisa naik motor.”
Nina terperanjang ngeri. “Kamu mau bawa Orley naik motor?”
Kiara mengangguk. “Iya, Bu. Boleh nggak?”
“Tapi—”
“Kakak, mau ikuut. Orley mau ikuutt!”
Pertama kalinya Orley menangis, membuat Nina menjadi tidak tega. Dengan berat hati membiarkan Kiara membawa Orley pulang.
“Jangan naik motor, biar diantar sopir.”
“Nggak ada tempat parkir, Bu.”
“Sopir biar pulang saja setelah antar. Datang lagi kalau kamu sudah selesai.”
“Siap, Bu!” ucap Kiara antusias. Menggandeng Orley dan membawanya ke mobil. “Kita jalan-jalan, yuk!”
Orley mengangguk gembira, menggenggam tangan Kiara seakan takut ditinggal. Jarak antara rumah Emilio dan Kiara tidak jauh, masih satu wilayah hanya saja beda komplek. Diperhatikan dengan seksama, rupanya rumah Emilio berada di blok yang sama dengan rumah tinggalnya dulu.
“Apakah Mama pernah bertemu Papa saat bekerja?” tanya Kiara dalam hati. Ia tidak yakin kalau papanya akan memperhatikan detil seperti itu. Seandainya bertemu dengan sang mama di jalan pun tidak ada mengenali. “Sungguh ironi, mantan nyonya kaya raya kini hidup dalam kemiskinan dan menjadi pembantu di rumah orang lain.”
Tiba di rumahnya, Kiara mengajak Orley masuk. Saat melihat gadis kecil itu Naura terbelalak gembira,
“Anak cantik, sini sama nenek. Beberapa bulan nggak lihat kamu, sepertinya makin cantik dan tambah tinggi.”
“Maa, gimana semalam? Aku nggak bisa pulang karena Orley nggak mau ditinggal.”
Naura menggeleng dengan jemari mengusap rambut Orley. “Orang yang semalam menemani mama bercerita tentang apa yang terjadi pada Orley. Kalau memang begitu, sudah semestinya kamu bekerja di sana, Kiara. Menetap di rumah Pak Emilio untuk merawat Orley yang cantik ini.”
Kiara mendesah. “Aku, sih, mau saja. Tapi Mama sendirian di sini. Aku nggak tega.”
“Kata siapa mama sendirian? Gadis yang semalam menemani mama, katanya dapat bonus dari Pak Emilio untuk tidur di sini selama satu bulan. Selain itu, dia bebas menonton teve dan tidur lebih awal. Mama nggak masalah kamu di sana, pulang saja setiap tiga hari sekali.”
Kiara membuka satu bungkus roti, membagi dua untuk Orley dan sang mama. Memikirkan jalan keluar yang baik untuk masalah ini. Meskipun mendapat uang, ia tidak akan tega meninggalkan sang mama sendirian terus menerus.
“Maa, kalau nanti aku naik gaji. Kita pindah ke rumah yang lebih dekat dari rumah Pak Emilio. Kayaknya kos-kosan milik keluarga Hansen cukup dekat. Nggak akan segede dan seluas ini tapi kita akan berdekatan, Ma.”
Naura mengangguk tanpa banyak berpikir. “Mama setuju kalau gitu. Jangan bulan ini, tanggung udah bayar sewa. Untuk bulan depan aja.”
“Iya, Ma! Nitip Orley dulu, aku mau rapiin barang-barang sekalian ke warung untuk beli beras, Ma.”
“Sana pergi, biar mama jaga Orley.”
Naura duduk di kursi plastik, mengajak Orley mengobrol. Selama bekerja di rumah Emilio, jarang bersama Orley karena anak kecil ini sangat tertutup dan tidak diijinkan ke atas untuk bermain. Siapa sangka malah dekat dengan Kiara.
“Mau minum, Orley?”
Orley menggeleng. “Di tas ada minum.”
“Kakak Kiara bawain kamu minum?”
“Iya.”
Naura mengambil botol berisi air minum dan memberikan pada Orley yang menyedotnya dengan segera. Ia terperanjat saat terdengar teriakan dari halaman. Siapa yang siang-siang begini datang untuk mengacau? Seingatnya Naura tidak punya hutang pada orang. Ia berjalan perlahan ke teras yang kecil dengan Orley mengikutinya. Terkejut saat melihat sosok Winda dan Yoel. Ada apakah keduanya datang ke kontrakannya yang kecil ini? Tidak biasanya terjadi.
“Dik Winda, kenapa datang kemari? Ada urusan apa?” tanya Naura dengan suara lirih.
Winda menyahut keras serta lantang sambil berkacak pinggang. “Jangan sok akrab. Aku bukan adikmu!”
Yoel mengangkat dagu, menatap Naura dengan sinis. “Perempuan tua sepertimu, masih tanya kami datang untuk apa? Tentu saja untuk memperingatkanmu agar nggak ganggu keluarga kami lagi!”
Sikap Yoel yang tanpa sopan santun membuat Naura terbelalak. Ia terbatuk kecil, mencengkeram tangan Orley agar tidak pergi. Semua hal bisa ditanggungnya, termasuk kemarahan Yoel dan Winda tapi tidak dengan kehilangan Orley. Anak kecil yang ketakutan bisa lari sembarangan.
“Aku nggak tahu kalian bicara apa, tapi tolong pakai suara yang sopan. Ada anak kecil di sini.” Naura bicara dengan sedikit tersengal. “Jangan sampai suara kalian membuatnya ketakutan.”
Winda mendengkus, menatap Orley dengan tidak peduli. “Apa urusan kami dengan anak itu? Bodo amat dia mau takut atau lari. Aku hanya ingin memperingatkanmu, Naura. Jangan lagi merecoki keluargaku, terutama suamiku. Kalian bukan lagi suami istri, Limantara bukan lagi pasanganmu tapi kenapa kamu nggak sadarjuga. Masih berharap dicintai dan dikasihani? Masih ingin kembali ke rumah besar kami? Naura, mimpi kamuu!”
Naura menggeleng, ingin menyahut tapi lagi-lagi batuk menyerangnya. Ia marah pada diri sendiri karena sangat lemah. Di saat seperti ini rasa sakit menyerangnya membabi buta.
“Orang tua dan penyakitan sepertimu harusnya sadar diri. Lebih banyak beribadah dan mendekat pada Tuhan. Siapa tahu bisa dipanggil ke akirat setiap saat. Bukannya malah memikirkan suami orang lain!” ucap Yoel sambil berkacak pinggang.
“Bisa-bisanya kamu mengharap belas kasihan suamiku? Meminta uang pengobatan? Gara-gara kamu suamiku mengirim orang untuk membantumu membeli obat. Perempuan sialan!” maki Winda.
Beberapa tetangga muncul dari balik pintu dan jendela, ingin tahu kekisruhan apa yang sedang terjadi. Teriakan Winda dan Yoel bersahut-sahutan dengan kencang, menarik minat orang-orang. Kiara yang baru saja kembali dari warung terbelalak saat melihat mamanya dan Orley dimaki-maki Winda. Ia berlari mendekati mamanya, bertanya kuatir.
“Maa, nggak apa-apa? Kenapa keluar?”
Naura terbatuk hebat. “Nggak apa-apa. Kamu bawa Orley masuk. Takut dia ketularan mama.”
Kiara menggeleng. “Mama yang masuk. Minum air hangat dan baringan di ranjang biar aku yang hadapi mereka.”
“Kiara, jangan begitu.”
“Tenang, Ma. Aku nggak akan bikin ribut, hanya ingin mengusir mereka.”
Naura yang tidak tahan lagi berdiri terlalu lama memutuskan untuk masuk. Winda berteriak memanggilnya.
“Mau kemana kamu? Aku belum selesai bicara!”
Kiara mengambil headset di dalam kantongnya, menyalakan musik lewat ponsel dan memakaikan alat itu di telinga Orley.
“Sayang, dengerin musik, ya, biar nggak berisik.”
Orley mengangguk, tidak menolak saat Kiara menggendongnya di punggung. Kiara terpaksa melakukannya, karena tidak ingin Orley kabur ke jalanan tanpa sepengetahuannya. Siapa sangka kepulangannya ke rumah ini membuatnya bertemu Winda dan Yoel. Ia berdiri menegakkan tubuh menghadap keduanya dengan Orley berada di punggungnya.
“Kalian marah-marah kayak orang nggak berpendidikan,” tegur Kiara, menatap bergantian pada ibu dan anak di hadapannya. “Tante marah karena Papa mengirim obat untuk mamaku? Kenapa emangnya? Itu hanya bentuk kepedulian mantan suami pada mantan istrinya.”
“Omong kosong!” sergah Winda cepat. “Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kalian rencanakan? Dengan berpura-pura sakit, mamamu ingin mendapatkan perhatian suamiku!”
Kiara memutar bola mata, menahan jengkel karena menganggap tuduhan Winda sungguh tidak masuk akal.
“Mana ada orang berpura-pura sakit hanya demi perhatian laki-laki? Mamaku nggak akan melakukan trik murahan seperti itu. Jangan samakan mamaku dengan kamu, ya, Tante!”
“Gadis b******k!” maki Yoel geram. Wajah cantik yang dipoles make-up tebal, memerah selain karena panas juga karena amarah. “Tentu saja mama lo yang tua, penyakitan dan buruk rupa itu nggak sepadan sama mama gue yang masih muda dan cantik. Ditambah punya anak kayak lo yang juga sama buruk rupanya. Ngaaca, Kiara! Tolong, ya, lebih tahu diri kalau orang miskin macam kalian, jangan banyak tingkah!”
Kiara menyipit, menolak untuk mengalah pada Yoel dan Winda. “Seingat gue, orang yang lo anggap buruk rupa ini berhasil mendapatkan perhatian dari cowok idola kampus tanpa susah payah. Sedangkan lo ngejar Krisna sampai jungkir balik dan nggak dapat. Kasihan sekali lo!”
“Apaa?”
“Satu lagi, orang kaya itu seharusnya gue dan mama. Bukan kalian! Apalagi Tante yang dulunya penyanyi di bar miskin! Kalau bukan karena Tante ngerayu dan ngerebut papa, kami nggak akan jadi miskin!” teriak Kiara jengkel.
“Anak sialan! Udah merasa hebat? Emang harus dikasih pelajaran. Biar bisa jaga mulutnya. Hidup aja masih morat-marit, masih mengharapkan bantuan kita tapi sombong bukan kepalang. Yoel, pegangi dia. Biar mama hajar mulutnya!”
Yoel bersiap untuk mencengkeram lengan Kiara, Orley kebingungan menatapnya. Terdengar teriakan, disusul suara derap langkah berlari. Hansen dan Tiffany muncul sambil tersengal.
“Ka—lau kalian main hakim sendiri, aku akan lapor polisi!” ancam Tiffany dengan ponsel menyala di tangan. “Siap merekam apa pun yang terjadi. Coba aja kalau mau viral?”