Kiara memang meminta kedua sahabatnya untuk ke rumah, ingin memberitahu masalah pekerjaan barunya di rumah Emilio. Siapa sangka kedatangan mereka justru menyelamatkannya dari ancaman kekerasan Yoel dan Winda. Gertakan Tiffany berhasil, Yoel mundur dan berkacak pinggang dengan wajah geram.
“b******k kalian! Memang sengaja bikin gue marah!”
Tiffany berdecak. “Buat apa gue sengaja bikin lo marah, Yoel? Di kampus udah eneg ketemu lo, yakali di luar juga mau bikin masalah sama lo? Bosan juga guenya.”
Winda menunjuk Kiara, Tiffany, dan Hansen bergantian. “Anak-anak muda kurang ajar macam kalian, nggak akan punya masa depan bagus. Pegang ucapanku!”
Hansen mendesah mendengar ancaman Winda. “Terserah Tante mau gimana? Aku memang nggak punya cita-cita selain jaga toko. Kalau Tante dan Yoel udah selesai ngamuknya, silakan pergi. Berisik! Bikin malu aja!”
Yoel dan Winda marah karena diusir tapi memang banyak orang kini melihat pertengkaran mereka. Tidak ingin menodai reputasi mereka sebagai orang kaya dan berpendidikan, Winda mengajak anaknya pergi.
“Yoel, kita pergi sekarang. Lingkungan di sini nggak sehat buat kita. Bikin gulit gatal-gatal!”
“Iya, Ma. Polusinya tebal, setebal muka mereka sampai nggak ada rasa malu!”
“Hush! Hush! Hush!” Tiffany melambaikan tangan, mengusir ibu dan anak itu. “Bikin rusuh aja!”
Kiara bernapas lega, menurunkan Orley dari punggung dan mengernyit. “Pegel banget. Gue nggak tahu gimana jadinya kalau kalian nggak datang. Kasihan aja sama Orley. Ayo, masuk! Di sini panas.”
Mereka bicara dengan suara rendah di ruang tamu karena sang mama terlelap di kamar. Hansen memuji wajah Orley yang cantik dan menggemaskan. Mengusap-usap pipinya dengan lembut.
“Cantikanya Orley. Pasti papanya tampan dan mamanya juga cantik, makanya anaknya seimut ini.”
Tiffany menunjuk Orley. “Kiara, dia anak majikan lo?”
Kiara mengangguk. “Iye, bener. Gue bawa kemari karena mau ambil barang. Nggak tahunya malah ada perusuh.”
“Emangnya sekarang lo jaga anak?” tanya Hansen. “Nggak jadi tukang cuci lagi.”
“Panjang ceritanya tapi sekarang gue jadi pengasuh Orley. Harus tinggal di sana dua puluh empat jam. Sedangkan gue juga kuatir sama mama.”
“Jadinya gimana, dong?” tanya Tiffany ikut bingung.
“Gue yakin jaga anak gaji lo lebih gede tapi mama sendirian.”
“Itu dia, makanya mau pindah. Bas, kosan dekat rumah Pak Emilio masih ada yang kosong 'kan?”
“Masih, bulan ini dua kamar kosong. Penghuninya pindah. Lo mau pindahin Mama ke sana?”
Kiara mengangguk. “Hooh, minta bantuannya.”
“Siip, ntar gue sisain satu kamar buat mama. Menurut gue itu solusi pas, sih. Bukan apa-apa, kalau dekat sama rumah majikan lo juga enak kalau mau bolak-balik.”
“Selain itu juga jauh dari pelakor dan anaknya itu!” sungut Tiffany. “Masih kesal gue kalau ingat mereka. Bisa-bisanya mereka melabrak mama? Untung lo lagi di rumah. Kalau nggak, kasihan mama sendirian!”
Perkataan Tiffany menguatkan tekat Kiara untuk pindah tempat. Tetap di sini sama saja masuk ke dalam masalah. Ia tidak akan membiarkan sang mama menanggung hujatan dan makian dari Winda dan Yoel.
Kiara tidak tahu kenapa hanya soal obat saja Winda mengamuk. Padahal hal wajar kalau sang papa memperhatikan mamanya. Bagaimana pun mereka pernah punya hubungan di masa lalu, meskipun sekarang sudah menjadi orang asing. Satu resep obat sudah membuat Winda menggila, bayangkan bagaimana perasaan sang mama saat dulu suaminya direbut dan ditendang dengan paksa dari rumah yang dibangun serta dihuni dari awal menikah. Rasa sakitnya sungguh tidak terbayang.
Kiara membiarkan Orley bermain dengan Hansen dan Tiffany sementara dirinya merapikan rumah serta barang-barang yang akan dibawa. Ia tidak ada niatan memanggil sopir karena Hansen akan mengantarnya dan Orley.
“Selamat siang!”
Suara bariton dan maskulin terdengar di pintu tak lama Orley menyahut.
“Papii!”
“Anak papi lagi apa? Main, ya, Nak?”
“Iya, main sama kakak.”
Saat Emilio berdiri, Tiffany ternganga dan Hansen juga kehilangan kata. Tidak menyangka kalau ternyata papa Orley masih sangat muda dan juga tampan rupawan. Emilio tersenyum pada keduanya.
“Kalian siapa?”
“Kami temannya Kiara, Pak,” sahut Tiffany dengan cepat. Meraih tangan Emilio, menjabat dengan antusias. “Bukan hanya teman tapi juga sahabat. Nama saya Tiffany.”
“Tiffany, senang bertemu denganmu,” sapa Emilio.
“Percayalah, Pak. Saya juga senang!”
Hansen mengeluarkan kartu nama dari dompetnya dan membungkuk ke arah Emilio. “Perkenalkan, nama saya Hansen dan saya punya beberapa toko elektronik. Kalau Anda memerlukan sesuatu, tolong jangan segan menghubungi saya.”
Emilio menerima kartu nama sambil tersenyum. “Oke.”
“Eh, Hansen. Dagang melulu lo!” kritik Kiara keluar dari kamar dengan dua tas berisi laptop serta barang-barang. “Lengah dikit lo buka lapak.”
“Namanya juga usaha!” jawab Hansen sambil menyeringai malu-malu.
Kiara menghampiri Emilio dengan heran. “Pak, kok bisa ada di rumah saya?”
Emilio menyimpan kartu nama Hansen ke dalam saku jasnya. “Sekalian maujemput kamu dan Orley. Kita harus ke kantor polisi sekarang. Bertemu pengacara di sana.”
“Baik, Pak. Saya pamitan dulu sama Mama.”
Kiara bergegas ke kamar sang mama dan berpamitan dengan lirih. Menolak saat sang mama ingin bangun dan mengantarnya pergi. Emilio mendengar batuk Naura tanpa henti dan menyimpan rasa iba.
“Pak, Mama minta maaf nggak bisa keluar.”
Emilio menggeleng. “Nggak apa-apa. Mamamu sakit. Kita pergi sekarang?”
“Iya, Pak.”
Emilio menggendong Orley, berjalan di depan sedangkan Kiara, Hansen, dan Tiffany beriringan di belakang. Hansen menenteng tas Kiara bersama Tiffany.
“Kok lo nggak bilang kalau majikan lo setampan Wu Lei,” bisik Hansen.
Kiara menoleh heran. “Wu Lei siapa?”
“Aktor Tiongkok.”
“Oh, perasaan udah pernah bilang kalau majikan gue emang cakep.”
“Tapi nggak nyangka secakep ini,” sergah Tiffany. “Kalau majikannya cakep dan punya anak satu, gue juga mau. Biarpun jadi pelakor atau istri kedua.”
“Ngomong apa, sih lo?” sergah Kiara. “Pak Emilio duda?
“Kesempatan bagus, Kiara!” ucap Hansen memberi semangat. “Jangan sia-siakan!”
“Apaan, sih”
“Njir, pesona duda muda emang ngalahin cowok single. Aduh, kenapa gue nggak dapet duda juga?”
Kiara terus mendesiskan peringatan pada dua sahabatnya, takut-takut kalau Emilio akan mendengarnya. Sampai di mobil Emilio yang terparkir di pinggir jalan, Hansen menyimpan tas Kiara ke bagasi lalu mengucapkan selamat tinggal pada Orley.
“Daah, cantik. Kapan-kapan main sama kakak lagi, ya?” ucap Hansen.
“Daah, Kakak!” sahut Orley dengan wajah berbinar.
“Kok kakak, sih, harusnya lo dipanggil om,” ledek Tiffany.
“Yee, lo dipanggil Tante,” Hansen meledek balik.
“Nggak apa-apa, demi Orley aku siap jadi tante.”
Kiara memutar bola mata, mendengar perdebatan dua temannya. Tiffany melemparkan ciuman jarak jauh pada Tiffany. Emilio menyalakan mesin, membuka jendela dan berseru pada Tiffany serta Hansen.
“Kapan-kapan kalian bisa main ke rumah. Kita bisa makan dan main kartu!”
“Waah, beneran, Pak? Mau banget,” jawab Tiffany dengan semangat.
Hansen tidak kalah semangat menerima ajakan Emilio. Keduanya melambaikan tangan hingga mobil yang dikendarai Emilio melaju dijalan raya.
“Maafkan kedua teman saya yang norak-norak itu, Pak.”
Kiara duduk dijok depan, sementara Orley dijok belakang. Gadis itu bersandar dan tak lama berbaring di kursi dan terlelap.
“Nggak apa-apa, Kiara. Temanmu seru-seru dan lucu. Kalian sudah lama temenan?”
“Dari SMU, Pak. Saya dan Tiffany satu kampus tapi Hansen yang orang tuanya juragan kaya raya itu menolak untuk melanjutkan pendidikan dan memilih jaga toko hape.”
“Wah, usaha yang bagus itu. Kalau jadi Hansen aku akan melakukan hal yang sama, terlebih punya orang tua yang kaya raya. Benar nggak?”
Kiara teringat nasibnya dan mengangguk. “Benar, Pak. Kalau kita punya orang tua kaya harusnya sebuah keistimewaan.”
“Seandainya orang tuamu kaya raya, apa yang ingin kamu lakukan?”
Kiara tertawa lirih, mengibaskan rambutnya malu-malu. “Saya nggak akan minta apa-apa, hanya berharap semoga Papa nggak jatuh cinta pada perempuan lain. Jadi saya bisa kuliah di tempat bagus, tanpa keteteran cari uang.” Setelah bicara begitu, Kiara tertawa lirih. “Maaf, saya berkhayal, Pak.”
Emilio tidak menganggap kalau perkataan Kiara adalah sebuah khayalan. Ia yakin ada kebenaran dari cerita gadis di sampingnya, hanya saja tidak ingin tahu kalau Kiara tidak bercerita dengan sendirinya.
“Kiara—”
“Iya, Pak.”
“Kamu sudah pikirkan gimana tempat tinggal mamamu nanti. Kasihan dia sedang sakit dan sendirian. Bisa pindah ke kamar atas kalau mau.”
Kiara menggeleng. “Mama nggak mau ngerepotin, Pak. Tapi sudah sepakat mau pindah ke kosan dekat sama rumah Pak Emilio.”
“Kenapa malah di kosan? Padahal rumahku banyak kamar.”
“Kosan itu milik keluarga Hansen, Pak. Nggak jauh dari ujung jalan rumah Pak Emilio.”
“Kapan pindah?”
“Bulan depan, Pak. Nunggu sewa rumah sekarang habis.”
Emilio berdecak dari balik kemudi, merasa rencana Kiara dan Naura tidak sesuai dengan isi hatinya. Ia merasa pindah ke kosan terlalu riskan, terutama dilakukan dalam waktu yang masi berjeda cukup lama. Sedangkan Naura terlihat sakit parah.
“Jangan nunggu bulan depan. Besok pindah.”
“Tapii—”
“Aku yang akan bayar sewa untuk tiga bulan ke depan. Kalau mamamu dekat, kamu juga akan kerja dengan tenang.”
Kiara menghela napas panjang dan menatap Emilio dengan pandangan berbinar penuh syukur.
“Pak, terima kasih untuk bantuannya.”
“Nggak masalah Kiara. Apa, sih yang nggak buat kamu?”
“Pak, gombal.”
“Kiara, satu hal yang aku mau tanya.”
“Apa, Pak?”
“Kapan kamu pindah dan menempati hatiku? Kiara, hatiku terlalu lama kosong. Siap dihuni dan dijajah sama kamu, Kiara.”
“Astagaa! Pak Emilio, sadar Pak. Sadaaar!”
Emilio terbahak-bahak hingga bahunya berguncang. Menggoda Kiara benar-benar menaikkan rasa bahagia dalam dirinya.