Kiara tidak menunggu waktu lama untuk memindahkan sang mama ke kosan milik keluarga Hansen. Dibantu dua sahabatnya dan seorang pelayan Emilio, mereka memindahkan barang-barang menggunakan mobil milik Hansen. Dalam dua kali angkut, barang-barang milik Kiara dari rumah lama sudah berpindah sepenuhnya. Kiara membuang barang-barang yang dirasa tidak lagi digunakan.
“Mama nggak usah repot-repot masak. Di kosan ada kantin jadi bisa pesan aja, tiap Minggu aku bayar.”
“Mana bisa gitu? Boros Kiara.”
“Maa, lebih boros mana sama biaya obat dan periksa?”
“Tapi—”
“Gimana kalau Mama masak nasi aja, lauk beli. Jadi nggak terlalu repot. Ya, Ma?”
Naura menimbang perkataan anaknya dan mengangguk. Lebih baik tidak membiarkan Kiara terlalu kuatir, dengan begitu anaknya bisa bekerja dengan tenang.
“Tante, di sini banyak teman mengobrol.”
Hansen menunjuk deretan pintu yang sebagian terbuka. “Beberapa juga pasangan berumah tangga. Kalau ada apa-apa, bisa lapor ke pengurusan kosan.”
Naura tersenyum penuh terima kasih pada Hansen. “Kosan kalian bagus sekali dan bersih.”
“Memang, selalu dirawat biar para penghuni betah.”
“Terima kasih ya, Nak. Udah ngasih tante tinggal di sini.” Naura menepuk tangan Hansen dengan gembira. “Rasanya tante juga akan betah di sini.”
“Syukurlah, Tante. Aku juga sering kemari, bisa sekalian main.”
Kiara membereskan kosan yang ditempati sang mama dengan cermat. Tidak hanya dirinya yang bekerja, Tiffany dan seorang pembantu pun kerja. Tidak ketinggalan, si kecil Orley yang mengekor kemana pun Kiara pergi. Seperti bayangan yang tidak terpisahkan. Selesai semua Hansen memesan nasi di kantin, khusus untuk Orley membelikan bubur ayam yang beraroma lezat.
“Sayang, kakak suapin, ya?” Kiara menawari Orley.
Gadis kecil menggeleng. “Mau makan sendiri.”
“Oh, pintarnyaa.” Kiara membuka bungkusan bubur, menuang ke piring dan meletakkan di atas meja pendek. “Orley duduk sini. Makan pelan-pelan biar nggak tumpah.”
Orley mengangguk, menyuap menggunakan sendok kecil. Kiara membantu mengipasi agar bubur cepat dingin. Tiffany mencolek Kiara, berbisik di telingannya. “Bapaknya nggak apa-apa anaknya lo bawa-bawa gitu?”
Kiara mengangguk. “Nggak apa-apa, malah nyuruh gue buat selalu deket sama anaknya. Kenapa emangnya?”
“Yee, biasanya orang kaya kayak punya aturan gitu buat ngasuh anaknya. Nggak boleh gini dan gitu.”
“Bisa jadi karena ulah perawat yang lama bikin Orley luka-luka, makanya Pak Emilio merasa gue cocok buat jaga anaknya. Dibebasin buat kemana aja berdua, asalkan Orley senang.”
“Benar juga, orang tua di mana pun pastinya senang kalau anak mereka senang.”
“Orley cantik, ya?”
“Emang, cantik banget.”
Selesai makan, Kiara menggelar kasur dan membiarkan sang mama beristirahat. Orley yang kelelahan juga ikut tertidur. Pelayan yang membantu mereka berpamitan pulang. Kiara menyalakan pendingin ruangan, menutup pintu dan duduk di teras bersama Tiffany dan Hansen. Kosan sepi saat siang begini, para penghuninya kebanyakan bekerja atau istirahat di dalam kamar.
Hansen menyulut rokok, mengembuskannya ke udara. Tiffany dan Kiara makan rujak buah sambil minum es teh manis. Menikmati udara siang yang membara sambil mengobrol untuk menghilangkan lelah setelah berkerja mengangkat-angkat barang.
“Kayaknya gue nggak jadi ambil cuti, deh.”
Tiffany mencolek irisan nanas dengan sambal lalu menguyahnya. “Baguslah, belum setor ke TU 'kan?”
Kiara menggeleng. “Belum, niatnya semester ini mau cuti tapi kok sayang, ya? Menurut kalian kalau gue tetap kuliah sambil bawa Orley ke kampus bisa nggak?”
“Boleh aja, siapa yang ngelarang. Kita punya beberapa temen yang bisa digunakan buat jaga Orley kalau lo lagi ada kelas.”
“Masalanya papanya setuju kagak anaknya lo bawa-bawa?” Hansen menyela percakapan duamcewek itu. “Bukan apa-apa, kalau lo bawa ke kosan pasti nggak masalah. Secara jaraknya juga deket tapi ke kampus itu jauh. Masa lo mau bawa Orley naik bis?”
Kiara termenung, mendengar perkataan Hansen.
“Bener juga, ya? Pak Emilio belum tentu setuju.”
Tiffany menyenggol lengan Kiara sambil mengedipkan sebelah mata. “Coba aja dulu. Tanya sama Pak Emilio, kali aja dia setuju. Kalau misalnya dia nggak setuju lo bisa rayu dia. Pakai tubuh lo itu.”
Kiara tersedak sambel mendengar sara Tiffany yang sangat kurang ajar. Terbatuk-batuk tidak karuan dengan tenggorokan terasa pedas. Buru-buru mengambil es teh dan meneguknya sampai rasa pedas hilang. Tiffany terkekeh, melihat wajah Kiara memerah.
“Napa lo? Maluu?”
“Apaa, sih?” sergah Kiara dengan bibir mendesiskan rasa pedas. “Saran aneh lo.”
Hansen berdecak keras. “Tiffany, lo ngasih saran yang bener, dong. Gimana Kiara mau ngerayu pakai tubuh, ciuman aja dia belum pernah.”
“Heii!”
Tiffany tergelak sekarang. “Gimana ciuman? Pacaran aja dia belum pernah. Aneh temen kita ini. Padahal dulu di sekolah dan di kampus banyak yang naksir tapi nggak ada satu pun dipacari.”
Kiara menghela napas panjang, mengunyah satu potong apel kali ini tanpa sambel. Termenung memikirkan hidupnya di masa lalu. Karena umurnya dengan Yoel yang terpaut beberapa bulan, keduanya berada di tingkatan yang sama saat sekolah. Dulu sewaktu di SMU, Kiara terkenal pintar sedangkan Yoel terkenal cantik.
Kiara yang fokus belajar lebih banyak berdiam diri di kelas atau perpustakaan. Menjadi langganan para guru untuk melakukan tugas-tugas sebagai ketua kelas. Kemana-mana selalu ditemani hanya oleh Hansen dan Tiffany. Berbeda dengan Yoel yang populer, ikut cheerleader, berpacaran dengan para cowok idola sekolah. Anehnya, mereka dirumorkan menyukai satu cowok yang sama.
Entah dari mana rumor bermula, saat itu Kiara didekati satu cowok dari kelas sebelah yang cukup tampan dan berprofesi sebagai model majalah. Kiara tidak pernah tertarik pacaran dengan siapa pun, tapi mengakui kalau cukup senang didekati cowok tampan dan terkenal. Sampai akhirnya Yoel juga ternyata suka sama cowok itu dan melabrak Kiara di perpustakaan.
“Jangan bila kalau lo suka sama Samuel. Dia itu cowok gue. Bisa-bisanya lo juga naksir dia. Ngaca lo!”
Kiara yang tidak terima dituduh sembarang, membalas makian Yoel. Bukan karena ia suka dengan Samuel, tapi bosan selalu dimusihi saudara tirinya sendiri.
“Emangnya Samuel punya lo? Siapa yang ngelarang gue suka sama Samuel, hah?”
Akibat pertengkaran itu, keduanya terkena hukuman dari penjaga perpustakaan. Rumor dan gosip dengan segera menjalar di antara para murid kalau dua bersaudara terlibat persaingan cinta. Setelah kejadian itu, Kiara tidak ingin bertemu Samuel. Selalu menghindar untuk bertatap muka, hingga akhirnya lulus pun keduanya tidak lagi saling bicara.
“Kalau kalian jadi gue, tiap deket cowok selalu direbut sama Yoel, pasti juga akan berbuat sama. Malas buat pacaran!” gumam Kiara pada diri sendiri.
“Nggak apa-apa nggak pacaran, langsung kawin lah!” sergah Hansen.
Tiffany bertepuk tangan dengan gembira. “Aduh, setuju banget gue. Makanya cari laki-laki yang serius, contohnya Pak Emilio. Biar pun duda tapi kaya raya dan masih muda. Kapan lagi didekati papa muda dengan pesona luar biasa?”
Kiara melotot. “Apa-apaan, sih? Malu tahu.”
“Ciee, kalau malu tandanya naksir beneran,” goda Hansen. “Nggak apa-apa kalau naksir, wajar dan normal.”
Kiara tidak pernah terpikir sampai sejauh itu menyangkut hubungannya dengan Emilio. Ia memang suka berdekatan dengan laki-laki itu. Saling menggoda, melemparkan candaan satu sama lain tapi hanya itu. Tidak ada pikiran untuk lebih dekat atau lebih akrab, Kiara tahu diri dan batasan. Meskipun Emilio kerap menggodanya dengan mesra, ia ingat kalau laki-laki memang suka bikin baper dan memilih untuk melindungi perasaannya.
Kiara mengernyit saat mendadak ingat sesuatu. “Bas, di sini ada penjaga gerbang 'kan?”
Hansen mengangguk. “Ada, kenapa emang?”
“Di gang sebelah rumah Pak Emilio. Di sebelahnya lagi rumah kami dulu. Jangan sampai Winda dan Yoel tahu kalau nyokap gue di sini.”
“Tenang aja, gue nggak akan biarin nyokap lo dilabrak kayak kemarin.”
“Siip, thank you.”
Mereka membubarkan diri menjelang sore. Kiara berpamitan pada sang mama untuk kembali ke rumah Emilio. Hansen mengantar Tiffany pulang, sedangkan Kiara menggendong Orley di punggung menyusuri gang yang sepi. Kiara berjalan sambil bernyanyi lagu anak-anak bersama Orley. Tiba di rumah, memandikan Orley lalu menyiapkan makan malamnya.
“Hari ini Orley makan apa, Kiara?” tanya Nina saat melihat Kiara menata piring kecil di meja.
“Bubur ayam, Bu. Banyak makannya, pakai sate segala macam. Mungkin dia cape karena nguli jadinya makan banyak,”jawab Kiara sambil tertawa geli.
Nina mengernyit. “Nguli? Maksudnya?”
“Kami tadi pindahan, Orley ikutan sibuk. Angkat-angkat barang, nyapu, habis makan langsung tepar, tidur sama mamaku.”
Nina mendengarkan cerita Kiara dengan rasa tidak percaya. Seorang anak kecil yang biasanya pendiam kini menjadi lebih aktif dan mudah tersenyum, semua karena pola asuh Kiara yang menyenangkan.
Orley datang, duduk di kursi dan makan dengan lahap apa pun yang diberikan Kiara. Nina makin senang melihatnya, Orley secara perlahan menemukan rona merah di pipi dan terlihat makin sehat serta menggemaskan. Nina memperhatikan kalau Kiara memperlakukan Orley bukan seperti anak majikan tapi seperti adik sendiri dan cara itu bagus untuk keduanya. Membuat hubungan mereka menjadi makin akrab.
“Bagaimana kabar Kiki waktu kalian ke kantor polisi Minggu lalu?”
Kiara mengangkat bahu. “Nggak tahu, Bu. Nggak lihat dia, cuma ketemu pengacara sama polisi aja.”
“Mudah-mudahan dihukum seberat-beratnya.”
“Amin paling kencang, Bu. Aku pun sangat kesal sama dia. Sampai sekarang kalau ingat bawaan pingin marah.”
Keduanya bercakap-cakap sambil menemani Orley makan. Tidak ada yang tahu Emilio pulang jam berapa, Kiara berniat makan di dapur bersama pelayan lain setelah Orley kenyang.
“Bu, kalau saya kembali kuliah. Kira-kira boleh nggak, ya?” tanya Kiara.
“Kuliah malam?”
Kiara menggeleng. “Nggak, kuliah siang.”
“Orley gimana?”
“Kira-kira Pak Emilio ngebolehin Orley saya bawa kuliah nggak, ya?”
“Mana bisa begitu. Pak Emilio pasti nggak akan ngijinin.”
“Ngijinin Kiara mau kemana?” Emilio muncul, menentang tas hitam dan meletakkan di kursi.
“Papii, makan!” sapa Orley.
“Makan yang banyak, Sayang.” Emilio menatap Kiara dan Nina yang berdiri bersisihan. “Tadi kalian bahas apa? Kenapa mendadak diam?”
Kiara menunduk, rasa takut dan segan menjalarinya. Memikirkan kalau idenya membawa Orley kuliah adalah hal paling mustahil yang bisa dilakukannya.